Sukses

Polusi Udara Bisa Memicu Bipolar dan Depresi

Tak hanya gangguan pernapasan, banyak efek negatif dari polusi udara. Apa saja?

Jakarta - Polusi udara seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Jakarta, memang tak bisa dianggap remeh. Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal PLOS Biology, menunjukkan kalau polusi udara berkontribusi terhadap perkembangan gangguan bipolar dan depresi.

Temuan itu pun menambah daftar masalah kesehatan terkait dengan polusi, seperti kanker paru-paru dan stroke. Peneliti menemukan bahwa di wilayah Amerika Serikat yang kualitas udaranya buruk, terdapat 27 persen lebih banyak kasus gangguan bipolar dan 6 persen untuk depresi.

Sedangkan studi terpisah lainnya di London, China dan Korea Selatan juga menunjukkan peningkatan kasus kesehatan mental di wilayah berpolusi.

Dilansir dari Medical Daily dan Antara, 21 Agustus 2019, para peneliti baru-baru ini mengumpulkan informasi dari asuransi kesehatan 151 juta orang yang melaporkan gangguan kejiwaan di AS dan Denmark.

Tim juga melihat data tentang kualitas udara, air, dan tanah di setiap negara bagian AS.  "Temuan ini menambah bukti saat ini dari studi sebelumnya tentang kemungkinan hubungan antara polusi udara dan gangguan kejiwaan," tutur Ioannis Bakolis, seorang ahli epidemiologi dari King’s College London, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Polusi udara juga dikaitkan dengan skizofrenia. Biasanya mereka yang punya masalah kesehatan mental adalah penghuni wilayah dengan tingkat polusi udara yang tinggi sejak mereka masih kanak-kanak.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Gangguan Mental dan Pernapasan

Menurut para peneliti, kualitas udara yang buruk dapat berkontribusi terhadap gangguan mental karena peradangan pada saluran pernapasan. Peradangan seperti itu menyebar ke seluruh tubuh dan juga mempengaruhi otak.

Penyebab potensial lainnya adalah beberapa polutan udara bisa masuk ke otak melalui hidung dan secara langsung menyebabkan peradangan dan kerusakan.

Diperlukan lebih banyak penelitian untuk mendukung hubungan antara polusi udara dan gangguan neurologis. Meski begitu, para peneliti mengatakan upaya di masa depan untuk mengkonfirmasi temuan mereka. Komunitas medis dapat mengubah cara memperlakukan dan mencegah masalah kesehatan mental.

"Tidak seperti kecenderungan genetik, lingkungan adalah sesuatu yang dapat kita ubah," ujar Andrey Rzhetsky, penulis studi dan ahli genetika di University of Chicago mengenai polusi udara.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.