Sukses

Soal Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS, Komisi IX DPR RI: Semoga Lulusannya Mau Mengabdi di Daerah Asal

Terobosan dan keberanian Kemenkes untuk menyelenggarakan hospital based dinilai bagus.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan telah meluncurkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) atau Hospital Based.

Terkait hal ini, Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto memberi tanggapan. Dirinya mengapresiasi program yang merupakan salah satu amanah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 209 Ayat 2.

”Terobosan dan keberanian Kemenkes untuk menyelenggarakan hospital based ini bagus,” kata Edy dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Senin (6/5/2024).

Meski begitu, Edy mengingatkan perlunya antisipasi terhadap hal-hal yang dapat merugikan. Misalnya, tidak boleh ada standar ganda dengan fakultas kedokteran yang selama ini menyelenggarakan program spesialis juga.

“Kurikulum, proses pendidikan, dan kualitas lulusan antara hospital based dengan university based harus sama. Pada hospital based, kolegium bertanggung jawab pada standar pendidikan. Tentu bekerja sama dengan Kemendikbud, Kemenkes, dan asosiasi rumah sakit tempat diselenggarakannya program hospital based,” jelas Edy.

Maka dari itu, dibutuhkan peraturan pemerintah untuk memayungi pelaksanaan pendidikan spesialis berbasis rumah sakit ini.

Legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini setuju jika peserta program dokter spesialis berbasis rumah sakit ini berasal dari daerah dan akan kembali ke asalnya.

Tersedianya dokter di daerah tertinggal, sulit, dan perbatasan memerlukan atensi. Ini didapatkan Edy dari berbagai keluhan masyarakat yang sulit mendapatkan layanan kesehatan karena tidak ada dokter. Setidaknya mereka harus keluar daerah dan akhirnya membutuhkan biaya yang mahal.

“Semoga lulusan hospital based ini adalah putra daerah dan mau mengabdi di daerah asalnya,” harap Edy.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Fokus ke Layanan Spesialis Dasar

Edy menambahkan, pada pilot project hospital based, ada enam rumah sakit yang melayani enam jenis pendidikan dokter spesialis.

Dia paham jika pembukaan program ini dilakukan bertahap dan menyarankan agar ke depan Kemenkes fokus ke layanan spesialis dasar.

“Kalau berdasar yang disampaikan Kemenkes melalui siaran persnya, per April 2024, 34 persen RSUD di Indonesia belum mencukupi tujuh jenis dokter spesialis dasar seperti dokter spesialis anak, obgyn, bedah, penyakit dalam, anestesi, radiologi, dan patologi klinik. Ini dulu yang dikejar,” tutur Edy.

3 dari 4 halaman

Beasiswa Perlu Diberikan Pula pada Perawat dan Apoteker Spesialis

Selain menambah jumlah dokter spesialis, Edy juga meminta agar Kemenkes menambah perawat dan apoteker spesialis.

“Sebab dalam UU 17/2023 menekankan pendidikan spesialis tidak hanya untuk dokter. Tenaga kesehatan yang memiliki level spesialis itu perawat dan apoteker. Termasuk juga psikolog klinis. Ke depan jangan eksklusif yang seolah program spesialis hanya untuk dokter,” ujarnya.

Pendidikan perawat spesialis sudah dilakukan di beberapa universitas. Spesialisnya meliputi spesialis anak, keperawatan bedah, jiwa, komunitas, maternitas, termasuk untuk onkologi dan kegawatan.

“Ini bisa didorong berbasis hospital. Beasiswa spesialis ini juga harus diberikan kepada perawat,” tuturnya. 

4 dari 4 halaman

Perawat dan Dokter Perlu Kepiawaian yang Sama

Menurutnya perawat adalah mitra dari dokter sehingga membutuhkan kepiawaian yang sama. Ada beberapa jenis spesialis pada perawat yang jumlahnya kurang. Misalnya saja perawat hemodialisa yang diperirakan jumlahnya kurang 10 ribu.

“Rasio dan distribusi perawat ini juga penting. Sebab dalam layanan kesehatan butuh sinergi antara dokter dan perawat. Jangan sampai jomplang,” kata politikus PDI Perjuangan ini.

Selanjutnya yang perlu dilakukan bersamaan dengan program hospital based ini adalah pemerataan alat kesehatan, sambung Edy.

Pemetaan ketersediaan alat kesehatan ini menurut Edy perlu dilakukan. Misalnya dalam satu provinsi, rumah sakit tipe A, B, C, dan D memiliki alat apa saja. Jika alat kesehatannya belum memenuhi, maka pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dalam penyediaannya. Hal ini menurutnya tidak hanya memberi manfaat bagi dokter atau tenaga medis, tapi masyarakat juga merasakan manfaat pemerataan layanan kesehatan.

“Diharapkan sistem rujukannya itu jalan di satu provinsi saja. Masyarakat tidak perlu ke luar provinsi karena alat kesehatan atau tenaga medisnya tidak ada,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.