Sukses

Setop Stigma, HAM Pasien TB Harus Ditegakkan

Banyak pasien TB urung sembuh dari penyakitnya akibat banyaknya stigma atau persepsi negatif dari masyarakat bahkan keluarga di Indonesia.

Liputan6.com, Bandung Hak Asasi Manusia (HAM) pasien penyakit tuberkulosis (TB) harus ditegakkan. Pasalnya, banyak pasien urung sembuh dari penyakitnya akibat banyaknya stigma atau persepsi negatif dari masyarakat bahkan keluarga di Indonesia.

Itu merupakan salah satu temuan dalam penelitian TB Stigma Assesment yang dilakukan Lembaga Sinergantara, Bandung, bekerja sama dengan Konsorsium Penabulu - STPI.

"Stigma terhadap orang dengan TB sering menyebabkan diskriminasi yang pada akhirnya menciptakan hambatan dalam mengakses layanan, keterlambatan pengobatan, hingga berhentinya orang dengan TB untuk berobat. Akibatnya, terjadi pelanggaran atas hak kesehatan orang dengan TB berkenaan dengan berbagai perlakuan diskriminatif tersebut," kata peneliti Sinergantara, Siti Fatimah, ditulis Bandung, Sabtu, 23 Juli 2022.

Siti mengatakan tingginya stigma terhadap orang dengan TB merupakan persoalan serius karena menghambat eliminasi TB.

Stigma TB muncul dalam bentuk penghinaan, ejekan, diskriminasi, sampai dengan pengucilan dan isolasi sosial.

Siti bersama timnya menemukan, menjaga jarak merupakan skala stigma yang mendapatkan respons tertinggi dalam asesmen ini.

"Sebanyak 44,6 persen responden menyatakan perlu menjaga jarak sebagai bentuk rasa tanggung jawab untuk mencegah penularan," kata Siti.

Skala stigma dengan respons tertinggi kedua adalah ketakutan orang dengan TB untuk berterus terang kepada keluarganya mengenai penyakit yang diidapnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pasien TB Takut Dikucilkan

Stigma menurut Siti, berdampak negatif pula terhadap upaya pencegahan, prosedur pelayanan, dan kebijakan yang berkaitan dengan eliminasi TB.

Sebagai contoh, orang dengan TB enggan berobat karena takut akan dikucilkan. Mereka menyembunyikan penyakitnya, sehingga tidak mendapatkan dukungan untuk berobat.

"Pelanggaran atas hak kesehatan tersebut sama artinya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM," tukas Siti.

Panduan Kerangka Kerja HAM untuk Pencegahan TB (Human Rights Framework to Prevent TB) yang dikeluarkan WHO menyatakan, dukungan untuk menurunkan tingkat kerentanan orang dengan TB membutuhkan pemenuhan sejumlah hak asasi.

Pemenuhan HAM dalam panduan tersebut juga akan mendukung peningkatan akses terhadap diagnosis, pengobatan, dan perawatan TB, serta dukungan-dukungan lainnya yang diperlukan orang dengan TB.

 

3 dari 3 halaman

Kesalahan Informasi tentang Penyakit TB

Stigma terutama ditimbulkan oleh kesalahan informasi tentang penyebab TB, bagaimana penyakit ini ditransmisikan, dan apakah penyakit ini bisa disembuhkan atau tidak.

Siti mencontohkan, hingga hari ini, masih banyak masyarakat yang menduga TB merupakan penyakit yang diakibatkan perilaku tidak bermoral dan dianggap tidak bisa disembuhkan.

"Faktor yang mempengaruhi stigma sendiri adalah ketakutan irasional dan kurangnya pengetahuan tentang TB," jelas Siti.

TB Stigma Assesment dilakukan antara September 2021 hingga Mei 2022 terhadap 3200 responden dari 40 kota dan kabupaten di 8 provinsi dengan jumlah kasus TB tertinggi di Indonesia, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung.

Responden TB Stigma Assesment terdiri atas empat kelompok, yakni orang dengan TB, anggota keluarganya, tetangganya, dan tenaga kesehatan.

Jumlah responden dari kelompok orang dengan TB sendiri adalah 1.280 orang atau 40 persen dari total responden.

"Sebanyak 35 persen dari orang dengan TB menyatakan mengalami stigma dan karenanya menghambat mereka mencari dan mengakses layanan kesehatan untuk mengobati TB," tukas Siti.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.