Sukses

Meski Dibatalkan, Begini Dampak Kebijakan Donald Trump pada Anak Imigran Ilegal

Kebijakan yang sempat diterapkan Donald Trump pada imigran ilegal di Amerika serikat bisa membuat anak-anak terkena trauma

Liputan6.com, Jakarta Trauma pada anak-anak imigran yang terpisah di perbatasan Amerika Serikat akibat kebijakan presiden Donald Trump tidak akan mudah hilang sekalipun mereka telah kembali bersama dengan orangtuanya.

Walaupun pada hari Rabu waktu setempat, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk menjaga keluarga imigran tetap bersama, tidak membuat masalah selesai begitu saja. Para ahli memperingatkan adanya dampak psikologis yang membutuhkan perawatan oleh petugas kesehatan mental.

"Ini tidak seperti tempat perbaikan body mobil yang memperbaiki penyok dan semuanya tampak seperti baru. Kita bicara tentang pikiran anak-anak," ujar Luis H. Zayas, profesor pekerjaan sosial dan psikiatri di University of Texas di Austin, AS seperti dikutip dari The Washington Post pada Kamis (21/6/2018).

"Pemerintah kita harus membayar untuk ini. Kita melukai mereka, kita harus bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan. Namun hal yang menyedihkan bagi sebagian besar anak-anak ini adalah trauma yang cenderung tidak tertangani," tambahnya Zayas. 

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ketakutan akan Perpisahan

Menurut para ahli dan psikolog, anak-anak yang mengalami perpisahan traumatis menjadi lebih tergantung pada orangtua mereka setelah bersatu kembali dan sulit untuk keluar dari pengawasan. Beberapa diantaranya menderita kecemasan akan perpisahan, menangis, dan sulit tidur karena mimpi buruk yang terulang.

Tidak hanya itu, mereka juga bisa mengembangkan gangguan pola makan, masalah kepercayaan, dan rasa marah yang tidak terselesaikan--yang dalam beberapa kasus--pada orangtua mereka.

"Anda melihat beberapa anak bahkan menyerang orangtua. Mereka tidak selalu mengerti mengapa orangtua menelantarkan mereka dan terkadang menyalahkannya. Jadi mereka kesulitan untuk terhubung kembali," kata Zayas.

 

3 dari 3 halaman

Gadis 8 Tahun

Zayas sendiri mencontohkan salah seorang gadis berusia 8 tahun yang berada dalam konselingnya, setelah pihak berwenang memisahkannya dari orangtuanya yang tidak memiliki dokumen selama beberapa hari sembari keduanya menunggu keputusan negara.

Bahkan, Zayas mengatakan gadis tersebut tak bisa tenang setelah dua tahun dia dipersatukan kembali ketika deportasi orangtuanya dibatalkan.

"Dia tidak bisa melepaskan mereka selamanya. Dia bermimpi buruk dan akan merasa takut setiap kali dia melihat kendaraan polisi. Dia hidup dalam ketakutan yang ekstrem bahwa orangtuanya akan melakukan kesalahan dan dibawa lagi, itu menetap dalam dirinya," kata Zayas.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.