Sukses

14 April 1935: Black Sunday, Saat Badai Debu Melumpuhkan Aktivitas Warga Amerika Serikat

Hari yang diawali dengan cuaca cerah berubah drastis ketika badai debu besar datang. Banyak warga terpaksa bertahan di tempat perlindungan darurat.

Liputan6.com, Boise City - Sejarah mencatat bahwa pada 14 April 1935, langit pagi membentang cerah di atas daratan luas Amerika Serikat. Setelah berminggu-minggu diterjang badai debu termasuk satu di akhir Maret yang menghancurkan sekitar lima juta hektare ladang gandum warga merasa lega akhirnya bisa melihat matahari kembali bersinar.

Hari itu, banyak yang keluar rumah untuk melakukan aktivitas seperti biasa. Ada yang mengerjakan pekerjaan harian, pergi ke gereja, bahkan piknik dan berjemur di bawah langit biru.

Namun, menjelang sore, suhu tiba-tiba menurun drastis. Burung-burung mulai bersuara gelisah. Tak lama kemudian, sebuah gumpalan awan hitam raksasa terlihat di cakrawala dan bergerak cepat mendekat.

Mereka yang sedang dalam perjalanan buru-buru pulang, berusaha menghindari terjangan badai. Sebagian terpaksa mencari perlindungan darurat. Seperti yang dialami pasangan Ed dan Ada Phillips dari Boise City bersama anak perempuan mereka yang baru berusia enam tahun. Dalam perjalanan, mereka berhenti dan berlindung di sebuah gubuk adobe tua yang telah lama ditinggalkan.

Di dalam bangunan sederhana berisi dua ruangan itu, mereka bergabung dengan sepuluh orang lainnya yang sudah lebih dulu berteduh. Selama empat jam mereka duduk dalam kegelapan, dicekam rasa takut akan tertimbun debu.

Melalui laporan yang diterbitkan pbs.org dan dikutip pada Senin (14/4/2025), terungkap kisah Raymond Ellsaesser merupakan seorang pedagang ternak, mengenang bagaimana ia hampir kehilangan istrinya saat badai datang. Mobil sang istri mendadak mogok karena gangguan listrik. Ia memutuskan berjalan kaki sejauh lebih dari satu kilometer untuk pulang. Putrinya lebih dulu lari ke rumah mencari bantuan, sementara sang ibu tersesat di tengah kabut debu yang menyelimuti jalanan. Beruntung, lampu mobil suaminya yang terus menyusuri jalan menjadi penanda arah hingga akhirnya ia ditemukan.

Badai debu pada hari itu, yang kemudian dikenal sebagai Black Sunday, menjadi badai besar terakhir di tahun 1935. Dampaknya tidak langsung terlihat, dan baru bisa dihitung dalam beberapa bulan setelahnya. Badai itu menghantam lebih keras dibanding badai-badai sebelumnya.

“Rasanya seperti satu sekop pasir halus yang dilemparkan ke wajah,”tulis Avis D. Carlson dalam sebuah artikel New Republic. "Orang-orang yang terjebak di halaman mereka sendiri meraba-raba pintu depan. Mobil-mobil berhenti, karena tidak ada cahaya di dunia yang dapat menembus kegelapan yang berputar-putar itu…. Mimpi buruk itu paling dalam selama badai. Namun pada hari-hari cerah sesekali dan hari-hari kelabu yang biasa, kita tidak dapat melepaskan diri darinya. Kita hidup dengan debu, memakannya, tidur dengannya, melihatnya merenggut harta benda kita dan harapan akan harta benda. Itu menjadi Kenyataan. Kebangkitan puitis musim semi memudar menjadi hantu masa lalu yang bertingkat. Mimpi buruk itu menjadi kehidupan."

 
Produksi Liputan6.com