Sukses

Taliban Keluhkan Pelarangan Perjalanan, Bikin Proses Damai ke Negara Lain Jadi Sulit

Taliban Afghanistan, Kamis (25/8) menyerukan diakhirinya larangan perjalanan terhadap beberapa pemimpin mereka untuk membantu memajukan diplomasi.

Liputan6.com, Kabul - Taliban Afghanistan, Kamis (25/8) menyerukan diakhirinya larangan perjalanan terhadap beberapa pemimpin mereka untuk membantu memajukan diplomasi. Sementara itu Dewan Keamanan PBB masih berselisih pendapat mengenai apakah akan mengabulkan pengecualian untuk itu.

Pengecualian dari Dewan Keamanan yang mengizinkan 13 pemimpin Taliban, termasuk Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi, bepergian ke luar negeri berakhir pada Jumat pekan lalu, setelah negara-negara anggota gagal bersepakat mengenai perpanjangan pengecualian itu.

“Larangan perjalanan ini sama artinya dengan penutupan pintu dialog dan pembicaraan. Ini menjadi penghalang bagi penyelesaian isu-isu melalui cara-cara damai,” kata Suhai Shaheen, yang memimpin kantor politik Taliban di Qatar kepada VOA.

Seluruhnya ada 135 pejabat Taliban yang dikenai sanksi, yang mencakup pembekuan aset dan larangan perjalanan, berdasarkan resolusi Dewan Keamanan tahun 2011, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (26/8/2022).

Namun 13 pejabat di antaranya mendapatkan pengecualian dari larangan perjalanan agar mereka dapat melakukan pembicaraan perdamaian dengan para pejabat dari negara-negara lain, termasuk AS. Dewan Keamanan secara rutin memperbarui pengecualian itu.

Pengecualian tersebut berakhir Jumat lalu setelah muncul keberatan dari negara-negara Barat mengenai perpanjangan otomatis.

Mereka menyebut alasan kegagalan Taliban dalam menjunjung komitmen mereka bahwa mereka akan menghormati HAM semua warga Afghanistan, termasuk perempuan, membentuk pemerintah yang inklusif, dan memerangi terorisme.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Posisi Amerika Serikat

AS dan negara-negara sekutu telah mengusulkan pemberian pengecualian larangan perjalanan itu ke para pejabat Taliban dalam jumlah yang lebih sedikit dan membatasi perjalanan mereka hanya ke Qatar, di mana para pejabat AS secara rutin mengadakan pembicaraan dengan delegasi Taliban pimpinan Muttaqi dalma beberapa bulan ini.

Namun China dan Rusia menganjurkan agar seluruh 13 pejabat dari kelompok Islamis yang merebut kekuasaan di Afghanistan setahun silam itu diizinkan terus melakukan perjalanan. Para pejabat China mengemukakan tentangan mengaitkan HAM dengan masalah perjalanan, karena menganggap itu “kontraproduktif.”

Sebelum para anggota Dewan Keamanan mencapai kesepakatan, tidak seorang pun pejabat Taliban dalam daftar sanksi yang dapat bepergian ke luar negeri.

Sementara itu, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai apakah akan memperpanjang pengecualian larangan perjalanan, seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS di Washington menekankan tentang pentingnya dialog dengan Taliban.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Taliban Dianggap Tak Buktikan Komitmen pada Kebebasan Pers

Satu tahun setelah Taliban merebut kekuasaan, media Afghanistan menghadapi sensor, kekerasan dan kesulitan ekonomi, dan suara perempuan sebagian besar dibungkam.

Ketika peringatan pengambilalihann kekuasaan semakin dekat, para jurnalis dan kelompok kebebasan media termasuk Wartawan Tanpa Batas atau Reporters Without Borders (RSF) dan Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) memberikan penilaian tentang situasi media yang pernah berkembang pesat di negara itu.

Secara terpisah, wartawan yang berbicara dengan VOA menggambarkan arahan yang membatasi. Sedangkan mereka yang berada di provinsi terpencil mengatakan kondisinya lebih keras, termasuk media harus meminta izin sebelum menerbitkan berita, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (14/8/2022).

Jurnalis perempuan dilarang bekerja di outlet media yang dikelola pemerintah. Mereka yang berada di sektor swasta dapat muncul di TV hanya jika wajah mereka ditutupi. Yang lain mengatakan mereka diintimidasi agar berhenti bekerja.

Karena media tidak lagi dapat menyiarkan musik atau sinetron populer dan program hiburan, dan sumber pendapatan iklan terputus, banyak outlet terpaksa berhenti beroperasi.

Aturan Taliban membatasi kebebasan pers dan membuka jalan bagi “penindasan dan penganiayaan,” kata pemantau media RSF dalam sebuah laporan baru.

Taliban “tidak menunjukkan komitmen sama sekali pada kebebasan pers,” kata Pauline Ades-Mevel, juru bicara RSF yang berbasis di Paris, kepada VOA.

4 dari 4 halaman

Wartawan Berjuang Hidup

“Mereka telah mengambil beberapa tindakan yang sangat keras terhadap jurnalis.”

CPJ yang berbasis di New York secara terpisah mendapati wartawan Afghanistan “berjuang untuk bertahan hidup” di bawah sensor, penangkapan, serangan dan pembatasan terhadap perempuan.

Hasilnya adalah ketakutan dan penyensoran diri, kata pemantau lokal di Afghanistan.

Wartawan “takut akan konsekuensi meliput berita,” kata seorang anggota pengawas media Afghanistan kepada VOA.

Dia menambahkan bahwa jurnalis “tidak merasa aman” bekerja di bawah Taliban. “Media tidak dapat beroperasi secara bebas jika tidak ada kebebasan berpendapat.”

Aktivis yang berbasis di Kabul itu meminta agar nama dia maupun organisasinya tidak disebut karena takut akan pembalasan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.