Sukses

Pakar PBB: 75 Anak Tewas dan 1.000 ditahan Sejak Kudeta Myanmar

Kudeta Myanmar yang terjadi pada Febuari 2021 diperparah dengan pandemi Covid-19

Liputan6.com, Myanmar - Puluhan anak telah terbunuh dan ratusan lainnya ditahan secara semena-mena di Myanmar sejak kudeta lebih dari 5 bulan lalu. Pakar Hak Asasi Manusia (HAM ) mengatakan gejolak politik terjadi di negara itu di tengah darurat kesehatan yang disebabkan pandemi Covid-19.

Komite hak anak PBB melaporkan pada hari jumat bahwa mereka telah menerima informasi dari yang dapat dipercaya bahwa 75 anak telah dibunuh dan sekitar 1000 anak ditangkap di Myanmar sejak 1 Febuari, demikian dikutip dari laman Aljazeera, Sabtu (17/7/2021) .

“Anak-anak di Myanmar banyak yang dibawah pengepungan dan kehilangan nyawa akibat kudeta militer,” ujar ketua komite, Mikiko Otani.

Penduduk Myanmar telah mengambil bagian dalam protes massal. Namun, mendapat tanggapaan yang brutal oleh militer sejak kudeta menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

“Anak-anak mendapatkan kekerasan tanpa pandang bulu, penembakkan asal, dan penangkapan sewenang-wenang setiap hari,” lanjut Otani.

“Mereka ditodongkan pistol dan melihat hal yang sama terjadi pada orangtua dan saudara mereka.”

Komite tersebut terdiri dari 18 ahli independen yang bertugas memantau pelaksanaan Konvensi Hak Anak yang ditanda tangani Myanmar pada 1991.

Para ahli mengatakan mereka sangat mengutuk pembunuhan anak-anak oleh junta dan polisi. Menunjukkan bahwa beberapa korban dibunuh di rumah mereka sendiri.

Anak-anak itu termasuk seorang gadis 6 tahun di kota Mandalay yang ditembak polisi di perut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Anak-Anak sebagai Sandera

Para ahli juga mengecam penahanan yang semena-mena terhadap banyak anak-anak di kantor polisi, penjara, dan pusat penahanan militer.

Mereka merujuk pada otoritas militer yang dilaporkan menyandera anak-anak ketika tidak dapat menangkap orangtua anak tersebut. Termasuk seorang gadis 5 tahun di wilayah Mandalay yang ayahnya membantu mengorganisir protes anti-militer.

Pada hari Jumat, situs berita Myanmar Now juga melaporklan bahwa 2 anak bawah umur, berusia 12 dan 15 tahun termasuk di antara 7 penduduk kota kecil Sintgaing, Mandalay, yang ditahan dan didakwa memiliki bahan peledak.

Para ahli juga mengaungkan keprihatian mendalam mereka tentang gangguan yang cukup besar dalam perawatan medis yang penting dan sekolah pendidikan di seluruh negeri.

Akses air minum dan makanan yang aman untuk anak-anak di pedesaan juga terganggu, tambah mereka.

Mereka meluruskan bahwa kantor hak asasi PBB telah menerima laporan yang terpercaya bahwa petugas keamanan telah menduduki rumah sakit, sekolah, dan lembaga keagamaan secara paksa yang kemudian dirusak dengan aksi militer.

Mereka menyoroti angka dari PBB UNICEF anak yang menunjukkan bahwa 1 juta anak di seluruh Myanmar kehilangan kesempatan vaksin utama. Sementara lebih dari 40.000 anak tidak lagi menerima perawatan yang mereka karena kekurangan gizi akut yang parah.

“Jika krisis ini berlanjut, seluruh generasi anak-anak di sana beresiko mengalami penderitaan yang teramat secara fisik, psikologi, emnosional, pendidikan, dan ekonomi yang membuat mereka kehilangan masa depan yang sehat dan produktif,” Otani memperingatkan.

Pada hari Jumat, pemantau hak asasi manusia, Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) di Myanmar melaporkan bahwa sejak kudeta pada bulan Febuari, setidaknya 912 orang telah tewas, 6.770 telah ditangkap, dan 5.277 saat ini sedang ditahan atau dihukum. Sementara 1.963 menjadi buronan pasukan keamanan.

3 dari 3 halaman

Lonjakan Covid-19

Media Myanmar melaporkan bahwa Win Htein, pemimpin senior yang dhihormati dari National League for Democracy (NLD), pimpinan Aung San Suu Kyi, telah dijatuhi didakwan karena penghasutan oleh pemerintah militer dan diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Pimpinan 79 tahun itu ditahan di ibu kota Myanmar, Naypyidaw sejak Febuari dan mengaku tidak bersalah atas tuduhan tersebut, ujar pengacaranya yang dikutip dari laman Myanmar Now.

Tindakan keras itu dilaterbelakangi oleh keadaan darurat akibat pandemi Covid-19 yang merusak sistem perawatan kesehatan Myanmar.

Yangon, kota terbesar di negara itu melaporkan bahwa rumah sakit telah kehabisan pasokan oksigen. Orang-orang berusaha untuk menyelamatkan keluarga mereka dari penyakit tersebut. Ada pun laporan peti mati yang terjual habis karena lonjakan kematian akibat Covid-19.

Menurut laporan, lebih dari 200.000 orang telah terjangkit virus Covid-19 di Myanmar dan angka kematian mencapai 4.300 jiwa. Para ahli media mengatakan bahwa angka yang sebenarnya jauh lebih tinggi.

 

Reporter: Ielyfia Prasetio

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.