Sukses

Kisah Remaja Korea Selatan Kecanduan Gawai hingga Masuk 'Kamp Detoksifikasi'

Jam menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu lokal ketika Yoo Chae-rin yang berusia 16 tahun menyadari bahwa dia telah menggunakan telepon selama 13 jam pada suatu hari.

Liputan6.com, Seoul - Jam menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu Korea Selatan, ketika Yoo Chae-rin yang berusia 16 tahun menyadari dia telah menggunakan telepon selama 13 jam berturut-turut dalam satu hari. Ia kaget, karena dalam waktu kurang dari tiga jam, dia harus bangun untuk sekolah.

Siswa sekolah menengah Korea Selatan itu tahu dia punya masalah, jadi dia mendaftarkan diri ke kamp yang dikelola pemerintah untuk remaja yang tidak bisa lepas dari telepon pintar dan gawai mereka.

"Bahkan ketika aku tahu di kepalaku aku harus berhenti menggunakan ponsel pintar, aku terus melakukannya," kata Yoo seperti dilansir CNN, Senin (21/10/2019).

"Aku tidak bisa berhenti, jadi aku akan menggunakannya sampai subuh."

Korea Selatan memiliki salah satu kepemilikan smartphone tertinggi di dunia. Lebih dari 98% remaja Korea Selatan memilikinya pada tahun 2018, menurut angka pemerintah --dan banyak di antaranya menunjukkan tanda-tanda kecanduan.

Tahun lalu, sekitar 30% anak-anak Korea Selatan berusia 10 hingga 19 tahun digolongkan "kecanduan" pada ponsel mereka, menurut Kementerian Sains dan Teknologi Informasi dan Komunikasi Korea (MSIT). Itu berarti mereka mengalami "konsekuensi serius" karena penggunaan smartphone mereka, termasuk penurunan kontrol diri.

Anak-anak itu --seperti Yoo-- memenuhi syarat untuk mendapat tempat di kamp yang dikelola pemerintah untuk mengobati kecanduan internet.

Program ini dimulai pada 2007 dan diperluas pada 2015 untuk memasukkan smartphone sebagai salah satu kriteria kecanduan.

Tahun ini, Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga Korea Selatan mendirikan 16 kamp di seluruh negeri untuk sekitar 400 siswa sekolah menengah pertama dan atas. Bagi beberapa orang tua, masuk ke sana adalah pilihan terakhir.

"Saya pikir mereka mengirim anak-anak ke sini karena keinginan putus asa mereka untuk mendapatkan bantuan ahli," kata Yoo Soon-duk, Direktur Pusat Konseling & Kesejahteraan Pemuda Gyeonggi-do, yang mengelola sebuah kamp untuk remaja di provinsi Gyeonggi utara.

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Menggulir Terus

Yoo Chae-rin adalah siswa biasa di sebuah sekolah menengah di Korea Selatan, tetapi di kelasnya, dia telah tenggelam ke peringkat bawah. Dia sering begadang, menggulir (scrolling) umpan (feed) Facebook-nya, bermain dengan aplikasi kamera Korea Selatan Snow dan berbicara dengan teman-teman di layanan pesan instan KakaoTalk.

"Aku merasa kesadaran realitasku mulai memudar," kata Yoo. "Bahkan ketika saya memiliki hari yang menyenangkan dan produktif (dengan teman-teman saya), rasanya seperti mimpi."

Ayahnya, Yoo Jae-ho, semakin khawatir tentang dia. "Tidak banyak percakapan di antara keluarga," katanya. "Jika aku berbicara dengannya tentang teleponnya, akan ada pertengkaran."

Ayahnya menetapkan batas waktu dua jam sehari untuk penggunaan smartphone, tetapi putrinya masih menemukan cara untuk mengakali peraturan sang ayah.

Yoo Chae-rin akhirnya tersadar. Ia memutuskan sendiri untuk bergabung dengan kamp detoksifikasi itu pada Juli 2019. Di gerbang, dia menyerahkan teleponnya untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun dan memulai detoksifikasi selama 12 hari.

3 dari 5 halaman

'Kamp' Detoksifikasi Gawai Korea Selatan

Kamp internet Korea Selatan berbiaya gratis, kecuali biaya makan seharga 100.000 won (US$ 84). Anak laki-laki dan perempuan dikirim ke kamp yang terpisah, dan masing-masing melayani sekitar 25 siswa.

Di kamp, ​​para remaja didorong untuk berpartisipasi dalam menjalani aktivitas 'kembali ke alam', seperti berburu, kegiatan seni dan kerajinan, dan acara olahraga. Mereka juga harus menghadiri sesi konseling individual, kelompok dan keluarga untuk membahas penggunaan telepon mereka. Kemudian, selama 30 menit sebelum tidur, para peserta diwajibkan bermeditasi.

Banyak kamp diadakan di pusat pelatihan pemuda, jauh dari kota, dalam lokasi yang hijau, rindang untuk membantu pecandu muda mematikan kebiasaannya yang buruk. Perkemahan yang dihadiri Yoo Chae-rin berlokasi di kota Cheonan di Pusat Pemuda Nasional Korea, yang memiliki kolam renang tertutup dan lapangan olahraga.

Direktur kamp di Cheonan, Yoo Soon-duk mengatakan selama beberapa hari pertama para remaja memiliki "raut menderita" di wajah mereka.

"Dari hari ketiga, kamu bisa melihat bagaimana mereka berubah," katanya.

"Mereka (mulai) senang bergaul dengan teman-teman."

Di dinding di kamp Cheonan, orang tua meninggalkan pesan di "pohon motivasi."

"Kami berharap kamp akan menjadi waktu untuk merenungkan diri sendiri dan mencintai diri sendiri," bunyi salah satu pesan.

Pesan lain --yang mungkin sedikit unik-- berbunyi: "Go Yong-joo! Jangan melarikan diri."

Sementara kamp ini untuk remaja, ada kamp terpisah untuk siswa sekolah dasar. Pusat Nasional untuk Perawatan Kecanduan Internet Korea Selatan juga menawarkan program selama satu semester untuk pecandu gawai yang kronik.

4 dari 5 halaman

Adiksi

Korea Selatan bukan satu-satunya negara di mana remaja adiksi dengan gawai. Kekhawatiran serupa turut bertumbuh perihal penggunaan smartphone yang berlebihan di seluruh dunia.

Pada 2015, 16% anak berusia 15 tahun di negara anggota The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menghabiskan lebih dari enam jam online setiap hari di luar jam sekolah, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada 2017. Pada akhir pekan, angkanya naik menjadi 26%.

Di Korea Selatan, tekanan masyarakat memperburuk masalah. Di sana, anak-anak menghadapi beban kerja akademis yang berat dan hanya memiliki sedikit cara untuk bersantai.

Pada akhir hari sekolah, banyak yang dikirim ke kelas yang membuat penat dan padat, menyisakan sedikit waktu untuk kegiatan lain.

Pada 2015, hanya 46,3% dari siswa Korea Selatan berusia 15 tahun melaporkan berolahraga atau berlatih olahraga sebelum atau setelah sekolah --persentase terendah dari semua 36 negara OECD.

Lee Woo-rin, seorang siswa berusia 16 tahun yang menghadiri kamp yang sama dengan Yoo Chae-rin, mengatakan ia menggunakan ponsel cerdasnya untuk menghilangkan stres dari sekolah.

"Aku untuk sementara melupakan stresku ketika sedang menggunakan telepon," kata Lee. "Tapi begitu aku berhenti menggunakannya, hal-hal yang membuatku kesal kembali ke pikiranku. Itu menjadi lingkaran setan."

Dr Lee Jae-won, seorang psikiater yang merawat kecanduan ponsel pintar, mengatakan bahwa siklus adalah gejala kecanduan. Ketika manusia stres, itu mengurangi dopamin di otak, mendorong mereka untuk mencari bentuk kepuasan lain. Karena remaja tidak memiliki cara lain untuk menghilangkan stres, mereka menggunakan smartphone mereka, katanya.

"Pada awalnya, smartphone menghibur mereka, tetapi mereka akhirnya berpikir bahwa smartphone cukup untuk membuat mereka bahagia," kata Dr. Lee. "Ini membuat mereka berhenti sekolah atau belajar."

5 dari 5 halaman

Berbahaya

Dalam jangka pendek, obsesi pada smartphone dapat berdampak pada nilai sekolah, tetapi perjuangan untuk meletakkan ponsel mereka juga dapat memiliki efek jangka panjang untuk remaja.

Seiring waktu, pecandu internet dapat menjadi terisolasi secara sosial dan menderita gejala penarikan diri termasuk "perasaan marah, tegang, cemas dan / atau depresi," menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Ada kemungkinan besar bahwa mereka akan hidup sendiri setelah kehilangan keluarga, pekerjaan dan teman," kata Dr Lee Jae-won, seorang psikiater Korea Selatan yang merawat kecanduan ponsel pintar.

Tidak menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman mereka bisa berarti mereka tidak mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan konflik antarpribadi, kata Direktur kamp detoksifikasi di Cheonan, Yoo Soon-duk. Dia mengingat, seorang peserta kamp remaja yang mengancam akan bunuh diri jika dia tidak bisa meninggalkan kamp.

"Baginya, smartphone adalah jembatan ke masyarakat," katanya.

Pemerintah Korea Selatan berharap bahwa penanganan kecanduan sejak dini dapat mencegah masalah di masa depan.

"Nanti, ketika (remaja ini) tumbuh dewasa dan mengalami kesulitan dalam menjalankan peran sosialnya, tidak hanya ada kerusakan pada seorang individu, tetapi juga sumber daya negara akan dihabiskan untuk mendukung mereka. Ini akan menjadi dua kali lipat merugikan, "kata Kim Seong-byeok, kepala departemen yang mengawasi kamp-kamp di Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga Korea Selatan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.