Sukses

Jelang Rilis Film Joker, Kekhawatiran Atas Insiden Penembakan Massal Menghantui AS

Ada suasana khawatir dan rasa cemas bagi sejumlah kalangan jelang pemutaran perdana film Joker di Amerika Serikat pada 4 Oktober 2019.

Liputan6.com, Aurora - Ada suasana khawatir, hati-hati dan rasa cemas bagi sejumlah kalangan jelang pemutaran perdana film Joker di Amerika Serikat, yang akan ditayangkan di bioskop-bioskop Negeri Paman Sam pada 4 Oktober 2019.

Film besutan sutradara Todd Phillips dan dibintangi aktor kawakan Joaquin Phoenix itu disebut-sebut berpotensi membangkitkan memori tragedi penembakan massal di Aurora, Colorado pada 2012, serta dikhawatirkan akan menyulut insiden serupa tahun ini.

Film tersebut juga memicu tentara Amerika Serikat (US Army) mengeluarkan memo bagi para personelnya, perihal kemungkinan insiden kekerasan atau penembakan massal selama pemutaran film Joker di bioskop-bioskop. Memo itu juga dirilis ketika beredarnya pesan berantai di media sosial lokal, yang berisi potensi aktivitas ekstremisme selama pemutaran film, kata FBI, dikutip dari Gizmodo.

Dalam memo itu, US Army menyarankan personelnya untuk "lari, bersembunyi, atau melawan" --tergantung pada situasi dan kondisi.

Sebuah Kasus yang Membangkitkan Kembali Memori Pahit

Pada tangal 20 Juli 2012, seorang pria bersenjata melepaskan tembakan saat pemutaran perdana tengah malam film The Dark Knight Rises (sebuah film dalam waralaba sinema pahlawan super Batman dan DC Comics) di sebuah bioskop Cinemark di Aurora, Colorado.

Pelaku, bernama James Holmes, menewaskan 12 orang dan melukai 58 lainnya.

Pria tersebut bertindak seorang diri dan mengenakan pakaian pelindung, memasuki bioskop dan melepaskan granat taktis, kemudian menembak para penonton menggunakan sejumlah senjata api. Serangan tersebut diliput oleh media di seluruh dunia dan menjadi salah satu pembunuhan massal terparah dalam sejarah modern Amerika Serikat.

Holmes, yang dihukum karena 24 tuduhan pembunuhan tingkat pertama (berencana) dan kini menjalani hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, akan selamanya dikaitkan dengan film Batman.

Pada hari-hari setelah pembantaian, ia disandingkan dengan karakter Joker (pada prequel the Dark Knight Rises; The Dark Knight) karena ia memakai rambut berwarna cerah dan, menurut laporan yang sekarang telah dibantah, menyebut dirinya "Joker" ketika ia ditangkap. Daniel Oates, kepala polisi Aurora pada saat itu, menyatakan "tidak ada bukti" Holmes pernah mengatakan itu.

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Seruan Para Penyintas Tragedi Aurora 2012

Sekarang, ketika rumah produksi dan distributor Warner Bros bersiap untuk perilisan Joker di AS pada 4 Oktober --yang telah menarik perhatian karena kekerasannya yang realistis dan kasar; serta untuk nilai artistik dan performa Phoenix-- beberapa penyintas dan kerabat korban tragedi Aurora 2012 mengungkapkan kekhawatiran tentang film tersebut.

Mereka menilai, film Joker (yang sama-sama tergabung dalam waralaba sinema Batman dan DC Comics), akan menyulut insiden serupa tujuh tahun lalu, demikian seperti dikutip dari the Hollywood Reporter, Rabu (2/10/2019).

"Saya tidak perlu melihat filmnya; cukup melihat promo film (Joker) dan saya melihat gambaran si (calon) pembunuh (nanti)," kata Sandy Phillips, yang putrinya berusia 24 tahun, Jessica Ghawi, termasuk di antara mereka yang terbunuh dalam tragedi Aurora 2012.

Sandy Phillips (tidak ada hubungannya dengan sutradara film), yang bersama suaminya, Lonnie, menciptakan kelompok nirlaba Survivors Empowered, bekerja dengan Igor Volsky dari kelompok advokasi pengontrol senjata Guns Down America, mengajukan petisi yang ditandatangani oleh lima anggota keluarga korban kepada Warner Bros pada Selasa 24 September 2019 --10 hari jelang perilisan perdana Joker.

Petisi itu berisi salah satunya desakan agar Warner Bros mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah preventif jelang pemutaran perdana Joker kepada para calon penonton.

Surat yang ditujukan kepada CEO Warner Bros yang baru, Ann Sarnoff, tidak berusaha untuk menghentikan perilisan film tersebut atau untuk menyulut kelompok anti-senjata di AS untuk memboikotnya.

Sebaliknya, petisi meminta studio untuk "mengakhiri kontribusi politik kepada kandidat yang mengambil uang dari National Rifle Association (NRA --kelompok pro-senpi di AS) dan memilih menentang reformasi (Undang-undang yang pro) senjata."

Petisi juga menyerukan agar Warner Bros "menggunakan pengaruh politik Anda di Kongres AS (Parlemen Amerika) untuk secara aktif melobi reformasi senjata. Menjaga keamanan dan keselamatan semua orang harus menjadi prioritas top untuk Warner Brothers (Bros). "

Sandy Phillips mengatakan bahwa Joker, karakter antihero/penjahat super yang terisolasi dan sakit mental yang menjadi musuh utama Batman, adalah "seperti tamparan di wajah."

Perempuan itu mengaku khawatir tentang audiens yang terhubung dengan film dan bahkan meniru protagonis film, untuk kemudian mencontohnya --di tengah iklim budaya AS di mana penembakan massal telah menjadi hal biasa.

"Kekhawatiran saya adalah bahwa satu orang di luar sana --atau bahkan lebih dari satu orang-- yang berada di (hidupnya) di ujung tanduk, (tiba-tiba) ingin menjadi penembak massal. Mereka-mereka itu mungkin bisa termotivasi oleh film ini. Dan itu menakutkan saya," kata Sandy.

Teater di Aurora yang menjadi lokasi penembakan 2012, Century Aurora dan XD, dikabarkan tidak akan menampilkan Joker --the Hollywood Reporter melaporkan. Mereka tidak memberikan komentar, kata the Reporter, sementara tidak ada jadwal tayang untuk film Joker di kedua bioskop itu --termasuk yang dijadwalkan secara online.

Daniel Oates, kepala polisi Aurora pada tragedi 2012, mengatakan kepada the Hollywood Reporter tahun ini:

"Setiap kali ada penembakan massal atau, dalam budaya media kolektif, penggambaran penembakan massal atau karakter jahat yang terlibat dalam pembunuhan orang tak berdosa yang dilakukan secara sembarangan, acak, dan tidak masuk akal --kita semua akan mengalami trauma lagi."

3 dari 4 halaman

Kata Pihak Studio, Sutradara dan Joaquin Phoenix

Menyikapi petisi penyintas dan kerabat penyintas Tragedi Aurora 2012, Warner Bros merilis pernyataan berikut pada Selasa 24 September 2019:

"Kekerasan senjata di masyarakat kita (AS) adalah masalah kritis, dan kami memperpanjang simpati terdalam kami untuk semua korban dan keluarga yang terkena dampak tragedi ini.

"Perusahaan kami memiliki sejarah panjang dalam menyumbang kepada para korban kekerasan, termasuk Aurora, dan dalam beberapa minggu terakhir, perusahaan induk kami bergabung dengan para pemimpin bisnis lainnya untuk meminta para pembuat kebijakan untuk memberlakukan undang-undang bipartisan untuk mengatasi epidemi ini.

"Pada saat yang sama, Warner Bros percaya bahwa salah satu fungsi mendongeng adalah untuk memancing (mengarusutamakan) percakapan yang sulit (di angkat ke permukaan) seputar masalah-masalah yang kompleks.

"Jangan salah: baik karakter fiksi Joker, maupun film, bukanlah suatu bentuk dukungan dari kekerasan dunia nyata dalam bentuk apa pun. Bukanlah maksud dari film, pembuat film atau studio untuk mengangkat karakter ini sebagai seorang pahlawan."

Sedangkan, sutradara Todd Phillips menyampaikan pesan secara implisit bahwa film-nya tidak dibuat untuk bersimpatik kepada Joker atau pelaku penembakan massal:

"Film ini membuat pernyataan tentang kurangnya cinta, trauma masa kecil, kurangnya kasih sayang di dunia. Saya pikir orang-orang dapat menangani pesan itu."

Dia menambahkan, "Bagi saya, ini aneh, ketika orang berkata, 'Oh, baik, saya bisa mengatasinya. Tapi bayangkan jika Anda tidak bisa.' Itu membuat penilaian untuk orang lain. Dan saya bahkan tidak ingin membuka film di masa lalu yang mereka katakan tentang ini karena itu mengejutkan dan memalukan."

Sementara, Joaquin Phoenix mengatakan, "Ya, saya pikir, bagi sebagian besar dari kita, atau Anda, bisa membedakan antara yang benar dan yang salah. Jadi saya tidak berpikir itu tanggung jawab pembuat film untuk mengajar moralitas audiens atau perbedaan antara benar atau salah. Maksudku, bagi saya, semua (batasan tentang mana yang benar dan salah) itu jelas."

4 dari 4 halaman

Kata Pengamat dan Analis

Ketakutan tentang trauma berulang seputar film Joker yang dirasakan oleh sejumlah orang adalah hal yang wajar, kata Dr. Debra Kaysen, seorang profesor di departemen psikiatri dan ilmu perilaku Universitas Stanford, seperti dikutip dari the Hollywood Reporter.

"Selama trauma, ada begitu banyak isyarat yang terjadi untuk kemudian mempekokoh trauma itu dalam memori sendiri. Bisa jadi jantung Anda berdetak kencang. Bisa jadi suara atau bau atau apa yang terjadi di ruang angkasa," kata Kaysen, yang berspesialisasi dalam studi gangguan stres pascatrauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).

"Jadi, itu pasti terjadi ketika orang-orang melalui peristiwa yang benar-benar mengerikan, seperti penembakan Aurora, baik untuk orang-orang yang ada di sana, tetapi juga orang-orang yang kehilangan orang yang dicintai."

Joker dapat "memicu" PTSD pada korban karena berbagai alasan, katanya.

"(Film) itu berhubungan dalam konteks topik. Itu ada di jagat semesta film buku komik yang sama. [Trauma] juga berhubungan dengan film yang berbagi jagat tersebut. Dan itu sama-sama film yang menjual alur cerita kekerasan. Jadi, Anda memiliki gabungan dari jaringan-jaringan itu, atau isyarat-isyarat (akan trauma) itu."

Di sisi lain, kritikus film dan kolumnis untuk surat kabar Inggris the Guardian, Charles Bramesco mengatakan, adalah hal wajar jika para penyintas atau keluarga penyintas merasa trauma berulang dari film Joker.

Namun, Bramesco, dalam kolom opini untuk the Guardian menjelaskan, "(akan tetapi) tidak ada kaitan langsung antara film sebagai penyebab seseorang melakukan kekerasan atau penembakan massal, sama seperti tak berkaitannya video gim atau musik metal berkontribusi pada kenakalan remaja."

"Itu tidak berkaitan, meski sebagus apapun film itu bertindak sebagai media penyampai pesan ... atau betapa film itu mengandung materi-materi yang tidak bertanggungjawab. Film tidak memiliki kontrol langsung atas perilaku manusia, termasuk untuk tindakan yang paling ditakuti sekalipun," lanjut Bramesco.

"Film, musik, atau apapun itu, mungkin dapat memberikan orang dengan kepribadian yang tidak stabil sebuah jalan yang dapat mereka ambil untuk mengalihkan kemarahan dan kebencian mereka yang sudah ada sebelumnya. Tetapi bahkan dalam kasus terburuk, dorongan untuk melakukan kejahatan telah dimulai jauh sebelum kredit pembukaan (film) dibuka."

Pun, tidak semua keluarga penyintas tragedi Aurora 2012 menentang Joker atau mengkhawatirkan adanya 'repetisi'.

Tom Sullivan, yang putranya yang berusia 27 tahun, Alex, tewas dalam pembantaian tujuh tahun lalu, mengatakan dia tidak percaya Joker akan "mempengaruhi seseorang" untuk melakukan tindakan kekerasan.

"Saya tidak berpikir bahwa melihat sesuatu adalah katalis untuk, 'OK, itulah yang akan saya mulai lakukan,'" kata Sullivan, sekarang seorang legislator Partai Demokrat untuk DPRD Negara Bagian Colorado serta aktivis anti-senjata api.

Politikus Demokrat itu rajin menyerukan aktivisme anti-senjata api dan kontrol regulasi pengetatan kepemilikan senjata.

Namun, Sullivan menganjurkan kepada Warner Bros agar menambahkan "uraian di akhir atau awal film mengenai pentingya memberikan pendampingan atau arahan (atau anjuran simpati) kepada publik ketika bertemu atau mengenal orang dengan gangguan jiwa atau masalah kepribadian, serta peran krusial lembaga kesehatan mental."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.