Sukses

Minta Bantuan Donald Trump, Demonstran Hong Kong Nyanyikan Lagu Kebangsaan AS

Demonstran meminta Presiden AS Donald Trump untuk "membebaskan" Hong Kong yang dikuasai China.

Liputan6.com, Hong Kong - Demonstrasi anti-pemerintah di Hong Kong belum mereda. Ribuan pengunjuk rasa masih turun ke jalan-jalan di Hong Kong pada Minggu (8/9/2019).

Tak seperti biasanya, kali ini para demonstran menyanyikan lagu kebangsaan Amerika Serikat, The Star Spangled Banner, dan meminta Presiden AS Donald Trump untuk "membebaskan" kota yang dikuasai China itu.

"Berjuanglah untuk kebebasan, berdirilah bersama Hong Kong," teriak mereka sebelum menyerahkan petisi di Konsulat AS. "Tolak Beijing, bebaskan Hong Kong."

Seperti dilansir VOA Indonesia, Menteri Pertahanan AS Mark Esper pada Sabtu 7 September mendesak China untuk menahan diri di Hong Kong. Hong Kong adalah bekas koloni Inggris yang kembali ke pemerintahan China pada 1997.

Esper memberikan komentar di Paris ketika polisi di Hong Kong mencegah para pengunjuk rasa menghalangi akses ke bandara. Polisi menembakkan gas air mata di distrik padat penduduk Mong Kok.

Bulan lalu Trump menyarankan China untuk "secara manusiawi" menyelesaikan masalah di Hong Kong sebelum kesepakatan perdagangan dicapai dengan Washington. Sebelumnya Trump menyebut protes itu sebagai "kerusuhan", masalah yang harus dihadapi China.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Protes Berlangsung Damai

Polisi antihuru-hara membersihkan stasiun MTR Pusat, dekat tempat demonstrasi pada Minggu di mana beberapa pengunjuk rasa ditahan, dan staf mengumumkannya sebagai "insiden serius".

"Dengan AS terkunci dalam perang dagang dengan China pada saat ini, ini adalah kesempatan baik bagi kami untuk menunjukkan (Amerika Serikat) bagaimana kelompok-kelompok pro-China juga melanggar hak asasi manusia di Hong Kong dan memungkinkan kebrutalan polisi," kata Cherry, 26, yang bekerja di industri keuangan, ketika pengunjuk rasa berbaris menuju Konsulat AS terdekat.

"Kami ingin pemerintah AS membantu melindungi hak asasi manusia di Hong Kong," katanya.

Hong Kong kembali ke China di bawah formula "satu negara, dua sistem" yang menjamin kebebasan yang tidak dinikmati di daratan. Banyak warga Hong Kong takut Beijing mengikis otonomi itu. 

3 dari 3 halaman

Taktik Baru Polisi

Sabtu 7 September, polisi Hong Kong mencegah pengunjuk rasa beraksi ke bandara. Dengan ketat, polisi memeriksa tiket dan paspor untuk memastikan hanya penumpang pesawat yang dapat ke bandara.

Polisi berupaya menghindari kekacauan seperti yang terjadi akhir pekan lalu, ketika para aktivis memblokir jalan, melemparkan puing-puing ke jalur kereta api, dan menghancurkan stasiun kereta bawah tanah MTR di kota baru terdekat Tung Chung.

Para pengunjuk rasa juga sempat menduduki terminal kedatangan Bandara Internasional Hong Kong pada bulan lalu, menghentikan dan menunda penerbangan, di tengah serangkaian bentrokan dengan polisi.

Rencana demonstran kembali menduduki bandara kali ini digagalkan polisi. Pengunjuk rasa anti-pemerintah sedianya akan memblokir akses ke bandara internasional, tetapi polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan aksi mereka.

Gangguan bandara yang direncanakan pada Sabtu kemarin adalah mobilisasi massa pertama para demonstran sejak pemimpin wilayah semi-otonomi itu membuat konsesi kejutan awal pekan ini. Tapi kali ini, polisi Hong Kong sudah bersiap menghalau aksi.

Seperti dilansir Al Jazeera, Minggu (8/9/2019), upaya para demonstran terhenti karena pihak berwenang membatasi layanan transportasi, meningkatkan keamanan di stasiun kereta api, dan membuat penghalang jalan di sepanjang jalan tol utama menuju fasilitas. Selain itu, juga karena polisi mengerahkan jumlah personel dalam jumlah yang jauh lebih besar di daerah sekitar bandara. 

"Ada perubahan nyata dalam taktik polisi; mereka jauh lebih proaktif sekarang, mereka menghentikan orang yang mereka curigai sebagai pengunjuk rasa, yang tentu saja menimbulkan sejumlah masalah hak asasi manusia. Taktik ini akan didukung oleh beberapa sektor dari masyarakat Hong Kong tetapi, tentu saja, mereka akan dikutuk oleh banyak orang lain," ungkap Adrian Brown dari Al Jazeera yang melaporkan di Hong Kong.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.