Sukses

Terjerat Kasus Korupsi, Eks Presiden Sudan Akan Diadili Pekan Depan

Mantan Presiden Sudan Omar al-Bashir yang telah dilengserkan beberapa waktu lalu, akan diadili pada pekan depan dalam kasus korupsi.

Liputan6.com, Khartoum - Mantan presiden Sudan Omar al-Bashir, yang dilengserkan beberapa waktu lalu, akan muncul di pengadilan setempat pada pekan depan atas tuduhan kasus korupsi, kata jaksa penuntut umum negara itu pada Sabtu 14 Juni.

Pengumuman sang jaksa, Alwaleed Sayed Ahmed datang dua bulan pasca-penggulingan paksa al-Bashir oleh militer, setelah rakyat Sudan memprotes 30 tahun masa pemerintahannya.

Ahmed tidak menyebutkan detail tanggal al-Bashir akan dituntut, demikian sebagaimana dikutip dariAl Jazeera pada Minggu (15/6/2019).

Dalam kesempatan yang sama, ia menambahkan bahwa 41 mantan pejabat Sudan lain sedang diselidiki karena korupsi. Tersangka lain tidak disebutkan, Ahmed hanya mengatakan sebagian besar dakwaan terkait dengan kepemilikan tanah.

Pengumuman Ahmed muncul beberapa hari setelah kantor berita resmi SUNA mengatakan al-Bashir menghadapi beberapa tuduhan, termasuk "memiliki dana asing, memperoleh kekayaan yang diduga ilegal," serta memerintahkan keadaan darurat sebagai tanggapan terhadap protes pada Februari.

Al-Bashir, yang tidak terlihat di depan umum sejak penangkapannya pada bulan April, telah didakwa bulan lalu dengan hasutan dan keterlibatan dalam pembunuhan demonstran.

Jaksa juga telah memerintahkan interogasinya atas dugaan pencucian uang dan pendanaan "terorisme".

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengalihan Isu?

Seorang pemrotes Sudan bernama Shams, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa penuntutan al-Bashir bertujuan untuk "mengalihkan perhatian" dari tindakan keras para jenderal berdarah baru-baru ini pada sebuah kamp protes di luar markas militer di ibukota negara itu, Khartoum.

Sebagaimana diketahui, para dokter mengatakan setidaknya 118 pengunjuk rasa telah tewas dalam serangan 3 Juni.

"Saya merasa bahwa ini adalah berita sampingan, mengalihkan perhatian dari masalah utama saat ini yaitu bagaimana protes duduk (sit-in) dibersihkan," kata Shams dari Khartoum.

"Kami ingin membahas masalah utama. Kami ingin negosiasi mencapai akhir dan kami ingin internet kami kembali sehingga kami dapat memiliki kebebasan untuk benar-benar melakukan protes di jalan-jalan dan membuat semua orang di seluruh dunia melihat kami dan mendengar kami."

Ia melanjutkan, para pengunjuk rasa ingin al-Bashir dituntut di bawah pemerintahan sipil.

 

3 dari 3 halaman

Kondisi Terkini: Perempuan Diduga Diperkosa Tentara Sudan

Sementara itu, satu unit pasukan keamanan Sudan dituduh memperkosa sejumlah perempuan ketika mereka membubarkan paksa para demonstran pro-demokrasi yang berkemah di luar markas militer 12 hari yang lalu, saksi mata mengatakan kepada BBC.

Demonstrasi itu merupakan bagian dari tekanan masyarakat yang mendesak dewan militer Sudan segera melakukan transisi kekuasaan kepada sipil, menyusul kudeta tentara terhadap Presiden Omar al-Bashir pada April 2019 lalu.

Militer menyangkal tuduhan pemerkosaan itu. Dewan Militer Transisi, yang sekarang mengakui telah memerintahkan tindakan keras kepada demonstran, membantah tuduhan kekerasan seksual.

"Informasi palsu yang disebarkan kepada orang-orang kami dan seluruh dunia dirancang untuk menyesatkan," kata juru bicara Letjen Shams el-Din Kabashi.

Tetapi seorang saksi mata bernama samaran 'Khalid' di lokasi kejadian mengatakan tentang kekerasan seksual yang ia saksikan pada hari penumpasan brutal terhadap demonstran, demikian seperti dilansir BBC.

Pria itu menjelaskan bahwa apa yang ia saksikan terjadi di tengah kekacauan besar pada 3 Juni 2019, ketika tentara membubarkan protes duduk (sit-in) di luar markas militer di ibukota, Khartoum, yang membentang ke kampus Universitas Khartoum dan utara ke Sungai Nil.

Ketika penembakan dimulai tak lama setelah sholat subuh, ia berlari mencari perlindungan dengan pengunjuk rasa lain ke sebuah gedung di dekatnya.

Tetapi saat dua pemuda yang ketakutan bersembunyi di sebuah kamar di lantai atas dari kekacauan di luar, mereka mendengar teriakan dan merangkak keluar untuk mengintip menuruni tangga untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"Kami melihat enam tentara yang memperkosa dua gadis," katanya kepada BBC di Sudan.

Ketika mereka berhasil mendekat, para tentara telah melarikan diri. Di lokasi tersebut, Khalid menemukan dua perempuan yang putus asa.

"Gadis-gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Mereka hanya menangis dan menjerit, menangis dan menjerit, menangis dan menjerit. Aku berusaha menenangkan mereka," kata Khalid.

"Saya mencoba membuat mereka merasa lebih baik, tetapi mereka tidak berhenti berteriak."

Mereka memutuskan untuk membawa para perempuan itu ke sebuah masjid di mana mereka akan lebih aman dan dirawat --dan dua pria kemudian mencoba untuk melihat apakah mereka dapat melarikan diri dari daerah itu, di mana letupan gas air mata dan penembakan berlanjut.

Ketika mereka meninggalkan masjid, Khalid ditangkap oleh sekelompok Janjaweed dan akhirnya menemukan dirinya berhadapan dengan salah satu dari enam orang yang sebelumnya telah memperkosa para wanita.

"Dia mendorongku ke lantai dan mengeluarkan sepotong baja panjang," kata Khalid, menjelaskan bahwa dia kembali ke gedung tempat perkosaan lain terjadi, di kantor lantai atas.

"Mereka mencoba membuka pakaian saya dan mencoba memperkosa saya. Saya berteriak-teriak di sekitar untuk membuat siapa pun datang.

"Setelah tiga atau empat menit, tembakan mulai terjadi di bawah kita. Mereka melihat-lihat kantor dan berkata, 'Lebih baik kita keluar.'"

Khalid lalu memanfaatkan kesempatan untuk berlari dan berhasil melarikan diri meskipun dia dipukuli oleh Janjaweed beberapa kali dalam perjalanan pulang. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.