Sukses

China Menjustifikasi Penyerbuan pada Insiden Tiananmen 1989

China menjustifikasi tindakannya puluhan tahun lalu terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen Beijing 1989.

Liputan6.com, Singapura - China pada Minggu 2 Juni 2019, menjustifikasi tindakan kerasnya yang mematikan puluhan tahun lalu terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen Beijing 1989, dengan menyebutnya sebagai "kebijakan yang benar."

Menteri Pertahanan Wei Fenghe ketika menjawab pertanyaan yang diajukan pada konferensi di Singapura, mengatakan, "Ada kesimpulan untuk insiden itu. Ada gejolak politik yang perlu ditumpas oleh pemerintah pusat, pemerintah bertekad menghentikan gejolak, dan itu merupakan kebijakan yang benar," demikian seprti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (3/6/2019).

Justifikasi Wei terhadap perlakuan brutal pemerintah China terhadap para pengunjuk rasa adalah pengakuan yang jarang terjadi atas demonstrasi berujung pembantaian di Tiananmen pada 4 Juni 1989.

Peristiwa sebagai buntut atas demonstrasi selama tujuh pekan oleh mahasiswa dan pekerja yang menuntut perubahan demokrasi serta diakhirinya korupsi.

Tentara dan tank-tank pemerintah mengejar dan membunuh ratusan pengunjuk rasa, dengan korban tewas diperkirakan mencapai ratusan hingga lebih dari 1.000 orang, meskipun jumlah pasti masih belum diketahui.

Sejumlah aktivis juga ditangkap oleh otoritas pasca kejadian tersebut.

Menhan Wei Fenghe mempertanyakan mengapa para pengecam masih mengatakan bahwa China "tidak menangani insiden itu dengan semestinya".

"Selama 30 tahun China terbukti telah mengalami perubahan besar," tambahnya.

Wei mengatakan karena tanggapan Beijing pada saat itu, "China telah menikmati stabilitas dan pembangunan."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sensor Ketat

Namun di China, sensor online diterapkan dengan menghapuskan penyebutan Pembantaian Tiananmen dari media sosial, artikel, komentar dan gambar atau foto.

Yang disensor termasuk sebuah foto ikonik 'the Tank Man' yang dijepret oleh jurnalis Associated Press Jeff Widener pada 5 Juni 1989 --hari-hari puncak ketika pembantaian Tiananmen terjadi. Foto itu menangkap momen ketika seorang pria berpakaian sipil yang diduga bagian dari massa aksi, berdiri di tengah jalan raya alun-alun Tiananmen untuk menghadang empat tank tentara China.

Diskusi tentang penindakan atas demonsrasi 30 tahun yang lalu tersebut masih tabu di China dimana pihak berwenang memperingatkan dan mengumpulkan aktivis, pengacara dan jurnalis setiap tahun menjelang Demonstrasi Tiananmen 1989.

Beberapa pejabat atau pegawai pemerintahan juga cenderung menghindari diskusi tentang isu tersebut jika ditanya oleh pihak luar.

3 dari 3 halaman

Sekilas Insiden Tiananmen

Pembantaian Lapangan Tiananmen, yang biasa dikenal di China daratan sebagai Insiden Empat Juni (liùsì shìjiàn) atau Enam-Empat, adalah demonstrasi yang dipimpin mahasiswa di Beijing pada pertengahan 1989.

Secara lebih luas, itu merujuk pada gerakan nasional populer yang diilhami oleh protes Beijing selama periode itu, kadang-kadang disebut Gerakan Demokrasi '89 (bājiu mínyùn).

Protes direpresif secara paksa setelah pemerintah mengumumkan darurat militer dan mengirim tentara untuk menduduki Beijing.

Dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Pembantaian Lapangan Tiananmen, pasukan dengan senapan serbu dan tank menembaki para demonstran yang mencoba memblokir langkah militer menuju Lapangan Tiananmen. Perkiraan korban tewas bervariasi dari beberapa ratus hingga ribuan jiwa.

Sudut pandang lain pada foto ikonik 'Tank Man' yang diambil Stuart Franklin dari Magnum Photos (Stuart Franklin / Magnum Photos / public domain)

Berangkat dari kematian pemimpin Komunis pro-reformasi Hu Yaobang pada April 1989, di tengah latar belakang perkembangan ekonomi yang cepat dan perubahan sosial di China pasca-Mao Zedong, protes tersebut mencerminkan kekhawatiran tentang masa depan negara dalam kesadaran rakyat dan di kalangan elite politik.

Reformasi tahun 1980-an telah mengarah pada ekonomi pasar yang baru lahir namun berdampak pada kesenjangan ekonomi, dan sistem politik satu partai juga menghadapi tantangan legitimasi.

Keluhan umum pada saat itu termasuk inflasi, korupsi, kesiapan lulusan pendidikan yang terbatas untuk ekonomi baru, dan pembatasan partisipasi politik.

Gerakan siswa menyerukan demokrasi, akuntabilitas yang lebih besar, kebebasan pers, dan kebebasan berbicara, meskipun mereka menyusun aksi dengan tidak teratur dan tujuan mereka beragam.

Pada puncak protes, sekitar 1 juta orang berkumpul di Alun-alun Tiananmen.

Ketika protes berkembang, pihak berwenang merespons dengan taktik damai dan keras, yang memperlihatkan perpecahan yang mendalam di dalam kepemimpinan partai.

Pada Mei 1989, mogok makan yang dipimpin oleh mahasiswa menggalang dukungan untuk para demonstran di seluruh negeri, dan protes menyebar ke sekitar 400 kota.

Pada akhirnya, pemimpin tertinggi Tiongkok, Deng Xiaoping dan para sesepuh Partai Komunis lainnya percaya bahwa protes tersebut merupakan ancaman politik dan memutuskan untuk menggunakan kekuatan.

Dewan Negara mendeklarasikan darurat militer pada 20 Mei 1989 dan mengerahkan sebanyak 300.000 tentara ke Beijing.

Tentara maju ke tengah Beijing pada jalan utama kota pada dini hari 4 Juni 1989, menewaskan demonstran dan warga biasa dalam proses mereka untuk meredam demonstrasi.

Siswa demonstran di Tiananmen, 10 Mei 1989 mengenakan kain bertuliskan kami menginginkan kebebasan pers, berkumpul, dan mendukung World Economic Herald dan jurnalis yang adil (Sa8 / Chinese Wikipedia / creative commons)

Komunitas internasional, organisasi hak asasi manusia, dan analis politik mengecam pemerintah Tiongkok atas pembantaian tersebut. Negara-negara Barat memberlakukan embargo senjata ke China.

Pemerintah China melakukan penangkapan besar-besaran terhadap para demonstran dan para pendukungnya, menekan protes-protes lain di sekitar Tiongkok, mengusir wartawan asing, secara ketat mengontrol liputan peristiwa-peristiwa dalam pers domestik, memperkuat polisi dan pasukan keamanan internal, dan menurunkan pejabat yang dianggap simpatik kepada para demonstran.

Secara lebih luas, penindasan untuk sementara waktu menghentikan kebijakan liberalisasi pada 1980-an.

Demonstrasi berujung pembantaian di Tiananmen dianggap sebagai peristiwa penting, yang kemudian menjadi embrio pembatasan ekspresi politik di China hingga abad ke-21. Memori atas peristiwa itu secara luas dikaitkan dengan mempertanyakan legitimasi pemerintahan Partai Komunis dan tetap menjadi salah satu topik paling sensitif dan paling banyak disensor di Tiongkok, hingga hari ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.