Sukses

Terbukti Bunuh Anak Majikan, TKI Maryani Dipenjara 7 Tahun di Singapura

Maryani Usman Utar mengaku bersalah atas satu tuduhan penganiayaan berujung pembunuhan yang menjadi penyebab kematian Richelle Teo Yan Jia.

Liputan6.com, Singapura - Seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura dijatuhi vonis hukuman penjara tujuh tahun pada Kamis 22 November 2018. Maryani Usman Utar diberikan sanksi karena terbukti menyebabkan bocah perempuan berusia satu tahun meninggal dunia.

Seperti dikutip dari Channel News Asia, Kamis (22/11/2018), Maryani Usman Utar mengaku bersalah atas satu tuduhan penganiayaan berujung pembunuhan yang menjadi penyebab kematian Richelle Teo Yan Jia pada Mei 2016.

Keluarga Teo adalah majikan pertama Maryani di Singapura. Dia mulai bekerja untuk Teo Kok Eng, 46, dan istrinya pada Januari 2015. Prioritas utamanya dipekerjakan di sana adalah untuk merawat Richelle.

Tragedi itu bermula menjelang tengah malam pada 8 Mei 2016.

Saat Maryani akan tidur, tiba-tiba dia mendengar suara "berdebum" diikuti suara tangisan bayi 12 bulan yang tidur bersamanya. Maryani menunduk dan melihat si bayi dalam posisi menghadap ke lantai.

Dia lalu mengangkat dan menepuk-nepuk tubuhnya untuk menenangkannya sekitar setengah jam. Demikian menurut pengadilan.

Sekitar pukul 02.00 pagi, anak itu kembali menangis dan membangunkan Maryani yang kemudian memberinya susu. Namun tak lama kemudian si bayi muntah.

Pakaian Maryani dan si bayi pun kotor akibat muntahan tersebut.

Richelle pun mulai menangis setelah itu. Tangisannya semakin keras saat Maryani menepuknya lagi untuk menenangkannya.

"Upaya itu dilakukan Maryani cukup lama, tetapi tidak berhasil. Si bayi masih menangis," kata jaksa penuntut.

Maryani merasa "sangat marah karena dia sangat mengantuk", demikian penjelesan di pengadilan.

Maryani kemudian meninju anak itu di sisi kiri lehernya, dengan maksud menghentikan tangis Richelle dan melampiaskan kemarahannya atas situasi dan kemarahan yang dia rasakan terhadap ibu Richelle, Nyonya Teo.

Menurut pengacara pembela, Maryani sudah dua kali meminta agennya untuk pindah karena dia tak tahan dengan beban kerja di rumah keluarga Teo, tetapi tidak berhasil. Dia juga merasa stres karena bekerja untuk Nyonya Teo, yang selalu dengan ketat mengawasinya dan kerap memarahinya.

Setelah dipukul, ternyata Richelle menangis lebih keras. Maryani mencengkeram bagian belakang leher bayi itu sekitar setengah jam, sambil memukul sisi kanan leher Richelle.

Dia melakukan hal itu sampai Richelle berhenti menangis, lalu melepaskan cengkeramannya setelah Richelle menutup matanya.

Maryani kemudian meletakkan anak asuhannya itu  di tempat tidur dan mengganti pakaian Richelle, lantas mencuci yang terkena noda muntahan.

Ia lalu mengganti pakaiannya dan tidur tanpa memeriksa kondisi Richelle.

Kemudian esok paginya, 8 Mei 2016, Maryani meninggalkan rumah sekitar pukul 07.50 pagi karena saat itu hari liburnya dan ia hendak bertemu anggota keluarganya yang mengunjunginya pertama kali di Singapura.

Saat waktu sarapan tiba, bocah malang bernama Richelle Teo Yan Jia itu ditemukan tak sadarkan diri oleh ayahnya. Terdapat luka memar di leher, kaki, tangan dan kepalanya, serta bibirnya membiru.

Sang ayah kemudian mendapati putrinya sudah tak bernapas. Dalam kondisi panik, ia dan sang istri bergegas ke rumah sakit dan menghubungi polisi. Tapi nyawa Richelle tak tertolong, ia dinyatakan meninggal pada pukul 10.00.

Sekitar pukul 13.00 di hari yang sama, Maryani ditemukan di dekat Merlion Park dan kemudian ditangkap.

 

Saksikan juga video berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Laporan Psikiater

Laporan otopsi belum dapat memastikan penyebab kematian Richelle, tetapi menemukan bahwa kematiannya akibat penyebab yang tidak wajar seperti dampak kompresi pada leher.

Psikiatri dari konsultan Institute of Mental Health menemukan bahwa Maryani mengalami gangguan depresi dengan kategori sedang beberapa pekan dan bulan sebelum insiden tersebut.

Dia juga mengalami reaksi stres akut beberapa hari sebelum kejadian dan gejala klinis disosiasi pada saat insiden terjadi. Namun, ia dinilai tidak tidak waras dan dianggap pantas disidang.

Wakil jaksa penuntut umum Bhajanvir Singh dan Kelly Ho meminta hukuman penjara setidaknya delapan tahun atas apa yang mereka sebut "pembunuhan tidak masuk akal seorang bayi yang tak berdaya", dengan menyebutkan tiga faktor yang memberatkan.

Pertama, kata Ho, serangan itu "ganas dan berkelanjutan", ditujukan pada bagian tubuh Richelle yang rentan. Tindakan itu "jelas tidak proporsional", mengingat betapa rentan dan rapuhnya seorang anak berumur satu tahun, tambah Ms Ho.

"Terdakwa tidak berhenti bahkan ketika Richelle berhenti menangis," katanya.

Kedua, serangan itu "tidak beralasan", karena semua yang Richelle lakukan "adalah hal yang biasa dilakukan bayi, yaitu menangis," tegas Ho.

Ketiga, Maryani mengeluarkan amarahnya atas situasinya sendiri dan kemarahannya terhadap ibu Richelle kepada Richelle.

"Kami menyampaikan bahwa dalam situasi apa pun para terdakwa berada dalam kondisi tidak diperlakukan kasar," kata Ho. "Orangtua almarhum tidak pernah memperlakukannya dengan buruk ... dia diberi makanan yang cukup. Dia sebenarnya mengancam akan pergi beberapa kali, tetapi atas kemauannya sendiri masih tinggal."

Mengatasi kondisi mental Maryani, Ho mengatakan bahwa "depresi, bahkan jika parah, tidak dapat menjadi lisensi untuk membunuh orang lain".

Minta Pindah Karena Tak Kuat dengan Beban Kerja

Pengacara Maryani, Mohamed Muzammil Mohamed awalnya meminta keringanan hukuman menjadi lima setengah hingga enam tahun. Namun hal tersebut tak disetujui.

Mohamed Muzammil Mohamed mengatakan Maryani mulai bekerja pada usia 15 untuk menambah penghasilan keluarganya. Dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan keluarga di Arab Saudi selama sekitar empat setengah tahun dari 2009.

"Dia senang bekerja di sana karena bisa menggunakan telepon dan diberi waktu yang cukup untuk beristirahat," kata pengacara pembela itu.

Ketika dia datang ke Singapura dari sebuah desa di Jawa Barat untuk bekerja pada tahun 2015, dia merawat kakak laki-laki Richelle yang berusia tiga tahun. Ketika Richelle lahir, dia juga melakukan pekerjaan rumah tangga.

Maryani bangun pukul 06.00 setiap pagi dan tidur di tengah malam, tetapi harus bangun lagi jam 02.00 sampai 03.00 dini hari untuk menyiapkan susu dan memberi makan Richelle.

"Pada Maret 2015, Maryani merasa tak tahan terus bekerja dengan keluarga Teo karena dia sering dimarahi oleh Nyonya Teo akibat hasil pekerjaannya yang tak sesuai dengan harapan," jelas pembela.

Setelah agensi pembantu menolak permintaannya untuk pindah, Maryani bertanya pada Nyonya Teo apakah dia bisa kembali ke Indonesia dan dibujuk untuk tetap tinggal.

Meskipun Maryani tidak pernah mengalami pelecehan fisik, Nyonya Teo dianggap bersikap kasar padanya. "Ia juga merasa di bawah pengawasan ketat Nyonya Teo jika dia membuat kesalahan", kata pembela itu.

Sekitar sebulan sebelum kejadian, Maryani merasa terhina setelah dimarahi oleh Nyonya Teo di sebuah pusat perbelanjaan. Gara-garanya ia lupa mengemas susu bubuk bayi sebelum pergi.

Sejak itu ia merasa amat tertekan.

Ketika majikan Saudi baik padanya, dia menemukan yang sebaliknya di sini, dan merasa "dirugikan oleh kurangnya kenyamanan dasar" oleh majikannya di Singapura.

Khususnya, dia tidak diizinkan menggunakan telepon seluler untuk menelepon keluarganya, dan ketika dia diam-diam berhasil mendapatkan telepon untuk digunakan untuk tujuan ini, ponselnya disita oleh Nyonya Teo, kata si pembelaan.

"Selama satu setengah tahun bekerja untuk keluarga Teo, menurut Maryani, dia hanya enam kali menelepon keluarga (melalui telepon rumah)," katanya. "Dia merasa tidak ada privasi ketika berbicara dengan ibunya karena sang majikan selalu ada."

Seminggu sebelum insiden itu, ibu Maryani memberitahunya bahwa bisnisnya, yang ia buat dengan uang yang dikirim kepadanya oleh Maryani, telah gagal. Ini membuatnya sedih dan depresi, papar si pembela.

Maryani merasa menyesal, imbuh si pembela, dan "kesalahan akan tetap bersamanya sepanjang hidupnya bahkan setelah dia kembali ke desanya".

Hakim Hoo Sheau Peng dalam memvonis hukuman Maryani mengatakan bahwa undang-undang mengakui perlunya melindungi anak-anak yang rentan terhadap kekerasan, dan mengatakan dia yakin hukuman itu harus cukup untuk dijadikan sebagai efek jera.

Dia mengizinkan Maryani beberapa waktu untuk berbicara dengan pejabat dari kedutaan Indonesia setelah sidang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.