Sukses

Pembalut hingga Teh Celup, Ini 8 Benda Warisan Perang Dunia

Perang Dunia I mewariskan banyak penemuan Abad ke-20 yang terbukti berguna, bahkan populer hingga saat ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pembunuhan putra mahkota Austria-Hungaria Archduke Franz Ferdinand dan istrinya Sophie mengawali sebuah pertempuran global: Perang Dunia I.

Kala itu, kekuatan besar dunia, terbagi menjadi dua kubu. Pertama, Entente Powers -- Inggris, Prancis, Serbia, dan Kekaisaran Rusia (selanjutnya Italia, Yunani, Portugis, Rumania, dan Amerika Serikat ikut bergabung). Lawannya adalah Central Powers -- Jerman dan Austria-Hungaria (selanjutnya Turki Ottoman dan Bulgaria ikut bergabung).

Pertempuran tersebut menewaskan 9 juta tentara, serta melukai 21 juta serdadu. Tak sampai di situ, sedikitnya 5 juta warga sipil tewas akibat penyakit, kelaparan, atau menjadi korban di zona merah.

Empat dinasti -- Habsburg, Romanov, Ottoman, dan Hohenzollern, yang memiliki akar kekuasaan sejak zaman Perang Salib, seluruhnya jatuh setelah perang. 

Memori warga dunia tentang Perang Dunia I memang tak sekuat Perang Dunia II -- yang ditutup dengan tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki, juga kejatuhan Adolf Hitler yang bunuh diri di bunkernya.

Meski demikian, Perang Dunia I mewariskan banyak penemuan Abad ke-20 yang terbukti berguna, bahkan populer hingga saat ini.

Seperti dikutip dari situs The Vintage News, berikut 8 di antaranya:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 8 halaman

1. Lampu Ultraviolet

Pada masa perang, anak-anak di Jerman jatuh sakit. Penyebabnya adalah malnutrisi atau kurang gizi dan rakitis -- pelunakan tulang karena kekurangan atau gangguan metabolisme vitamin D, magnesium, fosfor atau kalsium.

Rakitis berpotensi menyebabkan patah tulang dan kelainan bentuk tulang.

Kala itu, makanan langka selama perang. Mereka yang miskin paling menderita. Namun, apa penyebab rakitis tak diketahui saat itu.

Ilustrasi kondisi anak-anak pada masa Perang Dunia I (Wikimedia Commons)

Karena anak-anak itu sangat pucat, Dr Kurt Huldschinsky memutuskan untuk menempatkan pasien-pasiennya di bawah cahaya lampu kuarsa merkuri yang memancarkan sinar ultraviolet.

Setelah beberapa lama, ia mengamati, tulang para bocah itu tumbuh makin kuat. Pada 1919, sekitar enam bulan menjalani perawatan, dia menyuruh anak-anak duduk di bawah sinar matahari selama beberapa jam di siang hari.

Eksperimen itu sukses dan keberhasilannya menyebar seantero Jerman juga Eropa. Para dokter akhirnya menyadari pentingnya sinar matahari untuk membantu tubuh menyerap Vitamin D.

3 dari 8 halaman

2. Sosis Vegetarian

 Jumlah dan pilihan makanan terbatas saat perang. Kelaparan pun jadi fenomena biasa.

Wali Kota Cologne Jerman, Konrad Adenauer kala itu memiliki ide untuk membuat roti jenis baru yang dibuat dari bahan tepung roti, barley atau jelai, dan tepung jagung (maizena) ala Romawi.

Ia kemudian juga menemukan bahwa kedelai juga bisa menjadi alternatif pengganti daging.

Ilustrasi menu tumis sosis dan sayuran.

Maka Friedenswurst atau sosis vegetarian pun lahir. Namun, Jerman tak mengajukan paten karena secara teknis makanan itu bukanlah sosis.

Namun, pada 1918, Raja Inggris George V memberikan hak paten itu pada Konrad Adenauer.

4 dari 8 halaman

3. Teh Celup

Pada awal Abad ke-20, teh diperjualbelikan dalam kuantitas besar, yang dibungkus dalam kotak-kotak kayu.

Untuk mengurangi biaya dan agar dagangannya cepat laku, pedagang teh asal Amerika Serikat, Thomas Sullivan membungkus teh di kantung kecil dari sutra pada 1908.

Para konsumen tak mengerti apa maksud pengemasan itu. Mereka langsung mencelupkan bungkusan itu ke ketel berisi air panas.

Inilah ulasan mengenai beberapa manfaat dari teh celup.

Karena teh mudah didapat dan kian terjangkau, kebiasaan minum teh jadi hal yang biasa di tengah perang.

Kebiasaan itu masih bertahan hingga kini. Bedanya, pada era modern, teh celup tidak dibungkus dengan sutra, namun menggunakan pembungkus kertas berserat -- yang ditemukan William Hermanson.

5 dari 8 halaman

4. Resleting

Gagasan resleting (zipper) sudah ada sejak tahun 1860, namun konsepnya tidak diterapkan ke pakaian.

Belakangan, Gideon Sundback, perancang Amerika Serikat keturunan Swedia, sekaligus kepala desainer Universal Fastener Company merancang apa yang ia sebut sebagai 'hookless fastener'. 

Foto : Purewow.com

 Pihak militer AS memperhatikan temuan anyar itu. Mereka kemudian menambahkan resleting ke seragam dan sepatu boot baru untuk para serdadu.

Ternyata pemakaiannya dianggao sukses, sehingga desainer pakaian sipil pun ikut-ikutan memasukkan ritsleting ke dalam desain mereka.

6 dari 8 halaman

5. Stainless Steel

Selama perang, militer Inggris mencari logam baru untuk senjata yang bisa menahan efek panas tembakan berulang-ulang.

Mereka kemudian meminta bantuan ahli logam Harry Brearley dari Sheffield -- yang kemudian memulai eksperimen dengan menambah unsur yang berbeda ke baja.

Awalnya, keberuntungan tak berpihak kepadanya. Banyak hasil eksperimennya yang berakhir jadi tumpukan rongsokan.

 

Hingga akhirnya, iklim lembab di Inggris memberinya petunjuk. Tak butuh waktu lama baginya untuk memperhatikan bahwa logam yang dihasilkan dengan menambahkan kromium, tak mudah berkarat daripada yang lain.

Ilustrasi stainless steel (Wikimedia Commons)

 Brearley pun menemukan baja tahan karat. Pada masa perang, material itu digunakan di mesin pesawat karena jauh lebih ringan dari baja biasa.

Setelah perang, stainless steel menjadi material yang umum digunakan dalam pembuatan peralatan makan, peralatan medis, perhiasan, peralatan masak, dan masih banyak lagi. 

7 dari 8 halaman

6. Pembalut Wanita

Suatu hari pada tahun 1914, kepala Riset Kimberly-Clark, Ernst Mahler berkunjung ke sejumlah perusahaan kertas di Austria dan Jerman.

Ia tak sendirian, bosnya, wakil direktur perusahaan, James Kimberly juga turut serta. Di tengah kunjungan, mereka melihat ada bahan yang lebih menyerap dan lebih murah dari katun.

Kedua pria itu kemudian membawa material tersebut ke AS dan mematenkannya sebagai Cellucotton.

Saat AS memasuki perang pada 1917, material tersebut digunakan sebagai perban, untuk membalut luka para serdadu di garis depan.

Para perawat yang kian terbiasa menggunakan Cellucotton menyadari, bahan itu punya fungsi lain, untuk mengatasi datang bulan atau menstruasi. Sebagai penampung. 

Setelah perang usai, Kimberly-Clark awalnya mengira, Cellucotton tak lagi dibutuhkan -- hingga praktik yang dilakukan para suster terdengar di telinga mereka.

Setelah dua tahun riset, pembalut wanita diperkenalkan pada tahun 1920. Julukannya, Kotex.

Semua wanita yang telah memasuki masa pubertas pasti mengalami datang bulan, atau biasa orang menyebutnya menstruasi.

Awalnya produk tersebut tak populer. Para wanita malu membelinya jika ada pria di sekitar mereka. 

Jika boleh memilih, kaum hawa lebih senang memasukkan uang dalam kotak daripada berinteraksi dengan pegawai pria. Namun, belakangan, produk tersebut menjadi lebih populer dan menjadi kebutuhan bulanan para wanita.

Kimberly-Clark tak berhenti begitu saja. Eksperimen terus dilakukan. Pada tahun 1924 saputangan kertas yang disebut Kleenex diciptakan.

8 dari 8 halaman

8. Mesin X-ray Portabel

Ketika Perang Dunia I dimulai, kebanyakan mesin medis yang ada berukuran besar dan berat.

Ilmuwan Marie Curie menyadari bahwa nyawa seorang tentara bisa diselamatkan jika dokter bisa melihat di mana persisnya peluru dan pecahan peluru bersarang.

Marie Curie, penemu polonium dan radium (Foto: mariecurie.org.uk)

 

Curie lalu mengumpulkan uang untuk mengembangkan mesin sinar-X yang lebih kecil, lalu memasangkannya di sejumnlah kendaraan militer Prancis.

Sang ilmuwan bahkan membawanya beberapa di antaranya ke garis depan, mendirikan pos pemeriksaan korban, untuk membantu dokter menemukan luka di tubuh tentara yang terluka.

Saksikan juga video menarik berikut ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.