Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mencatat harga pangan di pasaran cenderung berada di posisi tinggi. Kondisi ini yang disebut berkaitan dengan fenomena deflasi dalam 5 bulan beruntun.
Sekretaris Jenderal Ikappi, Reynaldi Sarijowan mengatakan harga pangan cenderung stagnan imbas produksi yang terus berjalan tapi cukup lambat diserap pasar.
Baca Juga
"Itu yang terjadi, faktanya hari ini beberapa komoditas bahan pokok tidak turun dan tidak naik, stabilnya stabil tinggi harganya," kata Reynaldi kepada Liputan6.com Selasa (8/10/2024).
Advertisement
Mengutip Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras premium tercatat sebesar Rp 150.310 per kilogram. Cabai rawit merah sebesar Rp 47.140 per kilogram.
Lalu, daging ayam ras Rp27.200, telur ayam Rp 29.650 per kilogram, serta Minyak Goreng kemasan sederhana Rp 18.590 per liter.
"Nah ini yang menurut kami indikator-indikator inilah yang mencerminkan deflasi kunjung tidak berhasil ditekan dan cukup dalam deflasinya," kata dia.
Reynaldi menyarankan perlu ada perbaikan dari sisi hulu ke hilir di beberapa komoditas pangan. Baik di tingkat produksi, distribusi, hingga di tingkat pedagang pasar.
"Tiga variabel ini penting untuk segera diatasi mengenai permasalahan deflasi ini," ucapnya.
Harga Naik Saat Pilkada-Nataru
Reynaldi juga memprediksi harga pangan akan mulai berubah dan cenderung naik menjelang Pilkada serentak pada November nanti. Puncaknya, akan terlihat menjelang momen Natal dan Tahun Baru 2025.
"Bayangan kami menjelang pemilu nanti akan mengalami perubahan sedikit, namun harga melonjak nanti akan terjadi pada saat Nataru," ujarnya.
Dia berharap ada upaya perbaikan yang bisa dilakukan pemerintah. Menurutnya, pedagang khawatir deflasi akan semakin dalam jika tak diatasi.
"Nah ini yang harus diwaspadai segera. 5 bulan berturut ini cukup dalam maka harus ada perbaikan agar tidak lebih dalam lagi deflasi yang kita alami," kata dia.
"Ini sinyal berbahaya dan harus segera diatasi oleh pemerintah baik pusat kemudian provinsi dan juga pemerintah kabupaten kota. Lebih lagi ini memasuki momentum-momentum pemilu di bulan November kedepan," pungkasnya.
Sri Mulyani: Deflasi Bukan Sinyal Negatif Bagi Ekonomi Indonesia
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut bukanlah sinyal negatif bagi perekonomian.
"Kalau di deflasi ini, 5 bulan terutama dikontribusikan oleh penurunan harga pangan, itu menurut saya merupakan suatu perkembangan yang positif," kata Sri Mulyani saat ditemui di Kantornya, Senin (7/10/2024).
Menkeu menjelaskan, bahwa faktor pendorong deflasi adalah penurunan terhadap komponen harga bergejolak (volatile price). Justru deflasi ini merupakan bukti keberhasilan Pemerintah mengendalikan harga pangan yang sebelumnya sempat bergejolak.
"Di satu sisi penurunan yang berasal dari volatile food, itu adalah memang hal yang kita harapkan bisa menciptakan level harga makanan di level yang stabil rendah, itu baik untuk konsumen di Indonesia yang terutama menengah bahwa mayoritas belanjanya adalah untuk makanan," ujarnya.
Sebagai informasi, deflasi adalah kebalikan dari inflasi, di mana terjadi penurunan harga barang dan jasa secara umum dalam suatu perekonomian. Ini berarti daya beli uang meningkat, karena dengan jumlah uang yang sama, konsumen dapat membeli lebih banyak barang dan jasa.
Walaupun sekilas terlihat menguntungkan bagi konsumen, deflasi sebenarnya dapat menimbulkan berbagai masalah ekonomi yang serius.
Deflasi sering diukur dengan indeks harga konsumen (IHK) atau indeks harga produsen (IHP). Ketika indeks ini menunjukkan penurunan yang konsisten, maka dapat dikatakan bahwa ekonomi sedang mengalami deflasi.
Advertisement
Indonesia Bisa Deflasi 7 Bulan Beruntun, Pilkada Bukan Jawaban
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, memperkirakan tren deflasi akan terus berlanjut hingga November 2024. Berarti, Indonesia diramal belum bakal mengalami inflasi secara bulanan (month to month) selama 7 bulan beruntun.
Menurut dia, tren deflasi baru akan teratasi ketika harga komoditas pangan semisal beras mulai kembali terangkat. Sementara saat ini suplai dan produksi ada, namun banyak masyarakat tidak mampu beli.
"Deflasi bisa terjadi sampai 7 bulan. Ketika beras katakan lah produksi mulai turun, biasanya itu mulai terjadi di Desember-Januari, akan ada perlambatan," ujar Tauhid kepada Liputan6.com, Senin (7/10/2024).
Di sisi lain, Tauhid sanksi jika gelaran Pilkada serentak pada November 2024 mendatang bakal memutus kelanjutan deflasi. Pasalnya, ia menilai Pilkada tidak mendorong daya beli masyarakat secara menyeluruh.
"Saya kira kalau Pilkada enggak. Karena kalau kita lihat tidak banyak pertumbuhan (ekonomi) di masyarakat, hanya spanduk-spanduk aja. Konsumsinya ternyata lebih kecil dari perkiraan," ungkap dia.
Tauhid percaya momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024 nanti bisa mendongkrak tingkat konsumsi masyarakat. Hanya saja, pertumbuhannya diramal tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
"Jadi hanya momentum Nataru saja, liburan, itu pasti ada. Tapi kalau kondisi begini, kenaikannya juga dikit. Karena masyarakat lagi enggak punya uang untuk Natal atau Tahun Baru. Sedikit yang bisa melakukan itu," kata Tauhid.
Konsumsi Rumah Tangga
"Situasinya berbeda dengan tahun lalu, masih agak lumayan. Kalau sekarang agak buruk. Tahun lalu kan deflasinya hanya satu bulan di Agustus, setelah itu inflasi lagi. Pasti Natal dan Tahun Baru ada pengaruh positif, tetapi tidak akan sebesar tahun lalu," urainya.
Lebih lanjut, Tauhid menyebut pertumbuhan konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) yang belum mencapai 5 persen jadi persoalan. Ia lantas membeberkan data yang jadi penyebab utama penurunan daya beli masyarakat, sehingga menyebabkan deflasi 5 bulan beruntun.
"Misalnya pada melemahnya kredit, kredit berkurang. Kemudian pembelian kendaraan roda dua (Agustus 2024), itu juga kan turun 4,1 persen. Kemudian simpanan, terutama yang dibawah Rp 100 juta di rekening-rekening itu malah jauh turun. Rekeningnya banyak tapi simpanan per rekeningnya jauh lebih rendah. Sudah mulai makan tabungan lah. Itu kan statemennya OJK," urainya.
"Saya kira fenomena itu yang menjelaskan kenapa deflasi 5 bulan berturut-turut ini berat. Saya kira di situ indikasi-indikasi, ada persoalan daya beli, meskipun di satu sisi suplai lagi baik, tapi bukan itu faktor utamanya," pungkas Tauhid.
Advertisement