Sukses

Pengusaha Lebih Takut Suku Bunga Naik Ketimbang Rupiah Ambrol, Ini Alasannya

Himpunan dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menilai dampak kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) jauh lebih memberatkan ketimbang pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Himpunan dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, menilai dampak kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) jauh lebih memberatkan ketimbang pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Pernyataan ini merespons kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6,25 persen pada April 2024. 

"Jadi, dampak suku bunga menurut saya lebih besar dari dampak kenaikan dolar AS," kata Budi kepada awak media di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (2/5).

Budie menerangkan, kenaikan suku bunga oleh BI akan memberikan sederet dampak rambatan terhadap pelaku usaha ritel. Pertama, nilai bunga pinjaman dari perbankan akan mengalami kenaikan. 

Kedua, biaya sewa maupun cicilan di pusat perbelanjaan juga akan naik mengikuti penyesuaian suku bunga BI. Kondisi ini tentu akan memberangkatkan pelaku usaha di tengah tren ancaman ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

"kalau trafic (penjualan) bagus dan ramai mungkin gal terlalu kena (dampak)karena masih bisa diserap dari mixed margin. Tapi yang saya khawatir traficnya (penjualan) juga turun,"  bebernya.

Sebaliknya, dampak penguatan dolar AS sendiri tidak secara langsung dirasakan oleh pelaku usaha. Selain itu, penguatan dolar AS juga akan mendorong wisatawan asing untuk berkunjung dan berbelanja aneka produk UMKM di Indonesia.

"Hitung-hitungan (turis asing) daripada ke Vietnam mending ke Indonesia karena harga murah dan dolarnya lagi kuat ya," ucapnya.

Atas kondisi tersebut, pelaku usaha terus melakukan efisiensi terhadap pengeluaran kas perusahaan. Cara ini ditempuh untuk memastikan arus keuangan perusahaan tetap sehat.

"Kami juga melakukan pencarian suplier seperti ini, cari suplier baru yang lebih mudah kalau dulu mungkin belinya mahal, mungkin hari ini kita ketemu suplier baru jadi lebih murah. Jadi ada margin-margin tambahan," imbuhnya mengakhiri.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bank Indonesia

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan (BI rate) menjadi 6,25 persen. Selain itu, suku bunga Deposit naik sebesar 25 bps Facility sebesar 5,5 persen, dan suku bunga Lending Facility naik sebesar 25 bps jadi 7 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo, menjelaskan kenaikan suku bunga ini dilakukan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari kemungkinan menurunnya risiko global serta sebagai langkah pre-emptivae dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam target 2,51 persen pada tahun 2024 dan 2025. 

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

Pernyataan The Fed Bikin Rupiah Menguat Hari Ini 2 Mei 2024, Ini Alasannya

Pernyataan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell setelah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) menjadi sentimen pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis, (2/5/2024).

Mengutip Antara, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 34 poin atau 0,21 persen menjadi 16.225 per dolar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya 16.259 per dolar AS.

Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menuturkan, ada dua poin yang dapat diambil dari pernyataan Powell yakni the Fed tidak mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan AS pada 2024.

“Dan The Fed menunda pemangkasan karena belum yakin inflasi AS akan turun ke 2 persen saat ini,” kata dia kepada ANTARA.

Ia menambahkan, pernyataan soal tidak adanya kenaikan memberikan kelegaan ke pasar dan bisa memberikan sentimen positif ke aset berisiko. Sementara itu, indikasi penundaan pemangkasan suku bunga memberikan kekhawatiran di pasar The Fed bisa tak mengeluarkan keputusan tersebut pada 2024.

"Hasil The Fed ini mungkin bisa menahan pelemahan rupiah terhadap dolar AS, tapi penguatan mungkin tidak banyak,” ujar dia.

Data-data ekonomi AS yang dirilis semalam juga memberikan hasil yang beragam. Ada yang lebih bagus dari proyeksi seperti data Automatic Data Processing (ADP) Non Farm Payrolls sebesar 192 ribu dari prediksi 179 ribu. Ada pula yang di bawah prediksi seperti data Purchasing Manager’s Index (PMI) versi Institute of Supply Management (ISM) yang sebesar 49,2 dari perkiraan 50,0.

Meninjau faktor dari dalam negeri, data inflasi April dinilai mungkin bisa memberikan sentimen positif untuk rupiah bila hasilnya masih di kisaran 3,0 persen. "Hari ini, potensi penguatan ke arah Rp16.200 (per dolar AS) dengan potensi resisten ke arah Rp16.280-Rp16.300 per dolar AS,” tutur Arison.

4 dari 4 halaman

Pelemahan Rupiah Bakal Separah Krisis 1998 dan 2008? Ini Prediksi Bank Indonesia

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan usai Hari Raya Idul Fitri. Saat ini, rupiah berada di kisaran 16.200 per dolar AS dari sebelumnya stabil di 15.600 per dolar AS.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Juli Budi Winantya menjelaskan, pelemahan rupiah ini tak perlu ditakutkan. Ia memastikan bahwa pelemahan rupiah ini tidak seburuk krisis ekonomi 2008 maupun krisis moneter 1998.

Nilai tukar rupiah hanya terdepresiasi 5,07 persen secara year to date (ytd) per 23 April 2024. Sementara pada krisis ekonomi 2028 nilai tukar Rupiah melemah hingga 35 persen. Bahkan, pada krisis moneter tahun 1998 nilai tukar Rupiah melemah hingga 197 persen.

"Sekarang depresiasi (eupiah) hanya 5,07 persen, dibandingkan krisis-krisis sebelumnya yang pelemahan Rupiah lebih dalam," kata Juli dalam acara Pelatihan Wartawan di Pulau Samosir, Sumatra Utara, ditulis Minggu (28/4).

Selain itu, laju inflasi di tengah tren pelemahan nilai tukar Rupiah juga masih terjaga. BI mencatat, laju inflasi mencapai level 3,05 persen secara year on year (yoy) per Maret 2024.

Adapun, pada krisis ekonomi 2008 laju inflasi melonjak hingga 12,1 persen. Bahkan, laju inflasi di era krisis moneter pada 1998 silam mencapai 82,4 persen.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.