Sukses

Titik Terang Laporan Mahfud MD soal Transaksi Gelap Pegawai Kemenkeu Rp 35 Triliun

Liputan6.com, Jakarta Perkara dugaan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan kini menemui titik terang. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengakui data yang disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD terkait dugaan transaksi gelap pegawai Kemenkeu sebesar Rp 35 triliun.

Hal itu disampaikan Suahasil Nazara dalam Media Briefing: Perkembangan Isu Kemenkeu Terkini, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Anak buah Sri Mulyani ini menjelaskan, terdapat dua klasifikasi surat PPATK mengenai transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu. Pertama, surat yang dikirimkan ke Kemenkeu berjumlah 135 surat, yang melibatkan 363 ASN/PNS Kemenkeu dengan nilai Rp 22,04 triliun.

Kedua, sebanyak 64 surat dikirimkan PPATK ke aparat penegak hukum (APH) yang melibatkan 103 PNS Kemenkeu dengan nominal Rp 13,07 triliun.

“Yang oranye itu adalah surat PPATK yang dikirimkan kepada APH, Kemenkeu nggak terima. Kalau surat dikirim ke APH, Kemenkeu tidak terima, yang terima APH. Karena itu di Komisi XI kita menguraikan yang Rp 22 triliun terkait korporasi dan pegawai Kemenkeu isinya dari Rp 22 triliun, Rp 18,7 triliun adalah korporasi A,B,C,D,E, Rp 3,3 triliun yang memang transaksi pegawai,” jelasnnya.

Sementara, transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dengan nilai sekitar Rp 53 triliun. PPATK hanya mengirim 2 surat ke aparat penegak hukum yang isinya melibatkan 23 pegawai Kemenkeu dan pihak lain sebesar Rp 47,0 triliun.

Selanjutnya, transaksi keuangan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan tindak pencucian uang yang belum diperoleh data sebesar Rp 260-an triliun. Dari jumlah tersebut, PPATK mengirimkan 65 surat ke Kemenkeu yang melibatkan perusahaan senilai Rp 253,5 triliun, sedangkan 34 surat lainnya PPATK mengirimkan ke aparat penegak hukum yang melibatkan perusahaan senilai Rp 14,1 triliun.

Maka jika ditotal jumlah transaksi mencurigakan di lingkungan pegawai Kemenkeu mencapai Rp 349,8 triliun. Menurutnya, adanya perbedaan data yang terjadi selama ini lantaran Kemenkeu tidak menerima semua surat yang dikirimkan PPATK.

"Datanya itu klasifikasinya aja yang beda. Begitu klasifikasi disetel, sama. Jumlah surat PPATK 300 surat, sama. Total nominalnya Rp 349,8 triliun, sama, informasi yang sama, tapi cara menunjukkannnya kita pakai pie chart yang tadi," jelasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kata Mahfud MD

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menerangkan, kalau keterangan lengkap mengenai laporan itu belum sampai ke tangan Sri Mulyani. Dia juga menduga ada kesengajaan menghalangi informasi ke Sri Mulyani yang dilakukan pejabat dibawa Kemenkeu.

Menanggapi hal tersebut, Suahasil menegaskan tidak ada yang ditutup-tutupi kepada Menteri Keuangan. Segala laporan apapun dari DJP, DJBC, dan Inspektorat Jenderal semua tersedia di dalam sistem Kementerian Keuangan, sehingga bisa dilakukan pemantauan satu per satu.

"Hubungan dengan PPATK kalau kita lihat kasus kita lakukan dengan detail, rapat-rapat dengan PPATK kita lakukan dengan sangat terstruktur, ada notulennya, ada yang hadir, komplit. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari Menteri Keuangan," pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Wamenkeu Buka Suara soal Dugaan Pencucian Uang Rp 189 Triliun di Bea Cukai

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara buka suara soal adanya transaksi janggal berupa manipulasi keterangan soal impor emas batangan di Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu yang nilainya mencapai Rp 189 triliun.

Suahasil menjelaskan kronologis pencegahan ekspor emas batangan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai (KPU BC) Soekarno-Hatta.

Pada Januari 2016, pegawai Bea Cukai memang melakukan pencegahan ekspor logam mulia berupa perhiasan. Ternyata setelah diselidiki bukan ekspor perhiasan melainkan ingot emas atau emas batangan.

"Ekspor apa yang dicegah? ekspor logam mulia, karena dikatakan ekspor perhiasan tapi ternyata isinya bukan perhiasan, tapi isinya ingot emas dan itu di stop oleh bea cukai. Kemudian didalami dan ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti dengan penelitian, penyidikan, bahkan sampai ke pengadilan," jelas Wamenkeu dalam Media Briefing: Perkembangan Isu Kemenkeu Terkini, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Bea Cukai KalahSetelah dilakukan penghentian ekspor emas batangan tersebut, kemudian ditindaklanjuti hingga ke pengadilan dalam kurun waktu selama 3 tahun yakni 2017-2019. Dalam prosesnya, Bea Cukai kalah, dan mengajukan kasasi. Lalu Bea Cukai menang kasasi.

Selanjutnya, pada 2019 dilakukan penelitian dan pemeriksaan kembali atas permintaan terlapor. Akhirnya Bea Cukai kalah lagi, sehingga dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanan dalam peninjauan terakhir.

Kata Suahasil, tindak pidana pencucian uang selalu terkait tindak pidana asalnya. Ketika tindak pidana asalnya ada maka TPPU-nya bisa mengikuti, namun jika tindak pidana asalnya tidak terbukti oleh pengadilan maka TPPU nya tidak bisa diusut atau dihentikan.

"Dalam periode 2016-2019 inilah ada berbagai macam pertukaran data yang termasuk yang dikatakan diskusi diskusi rapat-rapat yang dilakukan antara kementerian keuangan dengan PPATK yang ada nama Pak Heru disebut menerima data," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.