Sukses

Lahan Potensial dan Cukup Luas Jadi Food Estate, Ini Kata Akademisi

Food estate adalah program strategis nasional yang mencakup keseluruhan tidak hanya menyangkut bantuan benih, tetapi juga tata air mikro dan makro, sehingga banyak kementerian ikut bergerak.

Liputan6.com, Kapuas Program food estate yang dicanangkan di Kalimantan Tengah pada 2020 dinilai sudah tepat sebagai upaya ketahanan pangan regional, nasional dan internasional. Demikian diungkapkan periset padi lahan rawa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Susilawati. 

Di berbagai daerah, kata Susilawati panen padi di lahan rawa masih rendah atau di bawah angka rata-rata nasional sebesar ,06 ton/ha. Penyebabnya karena minimnya pengetahuan petani terhadap sistem budidaya di lahan rawa. 

Bukan hanya itu saja, dia juga menilai kalau luas lahan rawa yang digunakan untuk pertanian masih sangat kecil atau hanya 23,8% dari luas total lahan sawah di Indonesia. Maka dari itu, dengan adanya program food estate yang diimplementasikan pemerintah, diharapkan dapat menambah Luas Tambah Tanam padi. 

"Kami sangat bersyukur ada pencanangan program food estate ini karena lahan-lahan ini cukup potensial dan cukup luas. Artinya, pilihan Kalimantan Tengah untuk food estate ini adalah pilihan yang tepat," ujar Susilawati, Senin (6/2).

Meski demikian, Susilawati mengakui terkait pengelolaan lahan rawa memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun melihat kondisi lahan pertanian di Indonesia yang semakin berkurang, pengelolaan lahan rawa menjadi solusi pangan masa depan yang tepat. 

"Memang tidak mudah mengelola lahan rawa. Ada persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Ini bagian dari investasi masa depan yang artinya food estate ini memang tepat dan harus ada," kata Susilawati. 

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa ada tiga jenis lahan rawa berdasarkan genangannya, yaitu lahan rawa pasang surut, lahan rawa lebak dan lahan rawa lebak peralihan. Sementara di Kalimantan Tengah didominasi lahan rawa pasang surut.

"Rawa pasang surut itu karena dipengaruhi pasang surutnya air laut, ada tipe a, b, c dan d. Rata-rata petani lokal sudah terbiasa dengan pengelolaan tersebut. Terutama yang paling banyak dimanfaatkan untuk usaha tani padi itu tipe a dan b yang bisa dua kali pertanaman dalam setahun. Sedangkan tipe c dan d lebih banyak dimanfaatkan untuk perkebunan karet dan buah-buahan," ujarnya. 

Dalam proses pengelolaannya, dia menegaskan hal yang paling penting dilakukan para petani lahan rawa adalah manajemen air. Hal tersebut yang menjadikan food estate tidak bisa berdiri sendiri, melainkan butuh sinergitas antar lembaga.

"Food estate ini mencakup keseluruhan. Tidak hanya menyangkut bantuan benih, tetapi juga tata air mikro dan makro. Karena food estate ini adalah program strategis nasional, sehingga banyak kementerian turut bergerak," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Proses Kelola Lahan Rawa Butuh Waktu

Untuk diketahui, program food estate ini baru berjalan tiga tahun. Dia menilai, terlalu dini bila mengharapkan hasil maksimal dari lahan rawa yang belum terpenuhi secara optimal prasarana dan sarana pertaniannya.

"Kalau mau tiga tahun langsung berhasil mungkin bisa di lahan optimal bukan di lahan bukaan baru di rawa. Tetapi kalau di lahan rawa kita memang perlu proses lebih lama untuk menata lahan-lahan sesuai peruntukannya," ujarnya. 

Susilawati pun mengungkapkan pengalamannya mendampingi masyarakat transmigrasi bertani di lahan rawa di Kalteng. Dulu masyarakat lokal ketika mengolah lahan rawa pasang surut dengan cara-cara tradisional dan ditanami dengan padi lokal. 

Dari proses pengolahan perlu waktu lama dalam satu tahun mungkin hanya sekali tanam itu pun hasilnya hanya 1 sampai 2 ton per hektar. Namun kondisi pertanian jauh lebih baik sejak adanya program food estate 

"Terutama dengan teknologi dan bibit unggul dengan adaptasi bagus hasilnya bisa mencapai 4 ton lebih," kata Susilawati.  

Dia melanjutkan, di daerah Belanti Siam, produksinya sudah hampir sama dengan daerah-daerah Jawa.  Dikarenakan lahan-lahan yang sudah bagus, banyak petani berani menggunakan benih varietas hibrida.

"Saat ini mungkin produksinya sudah di atas 5 ton itu hampir sama dengan rata-rata nasional kita, akhirnya tidak lagi di bawah 6-7 ton. Nah, kesulitannya kalau mau menanam hibrida seluas-luasnya itu petani harus modal besar. Bantuan yang diberikan Pemerintah produksi rata-rata mungkin ya 3-4 ton," ujar Susilawati.

Oleh karena itu Susilawati menyayangkan apabila pemerintah pusat menghentikan bantuan dalam pengembangan food estate. Bila bantuan itu dibarengi dengan infrastruktur dan penguatan SDM, hasilnya akan sangat jauh berbeda.

"Artinya harapan kita bahwa ini adalah investasi yang kita buat. Ini tentunya harus berani artinya petani petani yang meninggalkan lahannya bisa segera balik. Ayo kita bersama-sama dan harus kita dampingi," kata dia.

 

3 dari 3 halaman

Food Estate dan Keberlanjutan

Susilawati mengungkapkan, banyak investor asing yang berminat untuk menggarap lahan food estate di sini. Mereka siap datang dengan anggaran dan teknologi yang dibawa dari negaranya.

"Belum lama ini saya bertemu dengan investor dari Korea Selatan. Tak tanggung-tanggung, mereka ingin mengelola 10 ribu hektar dan mengaku sudah menghadap di Jakarta untuk mendapatkan HGU-nya. Saya berharap pemerintah tidak menyerahkan ini ke investor asing," ungkap Susilawati.

Di sisi lain, rasa optimis yang sama disampaikan Akademisi Universitas Palangkaraya (UPR) Kalimantan Tengah, Eka Nur Taufik. Dia menilai program food estate di wilayahnya memiliki dampak yang sangat besar dan positif terhadap kemajuan mahasiswa. Bahkan, tak sedikit lulusanya kini bergelut dan menjadi petani muda.

Kata Eka, banyak di antara mereka yang melakukan penelitian dan pengembangan diri pada lahan food estate yang diimplementasikan dalam bentuk tugas akhir atau skripsi. Oleh karena itu, kalimat gagal dalam program tersebut tidak memiliki dasar karena sampai saat ini program food estate masih berjalan dengan baik.

"Saya bingung kok masih dibilang gagal sebab program food estate masih berproaes. Banyak mahasiswa UPR yang melakukan penelitian di sana dan lulus dengan nilai bagus," ujar Eka.

Disisi lain, Eka mengatakan program food estate telah memberi dampak yang sangat besar terhadap peningkatan ekonomi petani dan masyarakat setempat. Sementara dari sisi produksi, rata-rata lahan sawahnya meningkat dari 2 ton menjadi 4 ton per ha.

"Namun yang pasti ada kenaikan yang cukup signifikan setelah adanya food estate ini. Dampak ke masyarakatnya juga sudah semakin terlihat. Misalnya dari sisi infrastruktur sudah bagus. Memang semua itu butuh proses. Tidak bisa secepat kilat," kata dia.

Jika melihat dari sisi produktivitas misalnya, kata Eka, food estate bisa bertambah 6-7 ton per hektar, apabila sarana produksi (benih, pupuk, obat-obatan pertanian) yang disediakan atau diberikan sesuai dengan ketentuan (tepat jumlah, jenis, waktu, dan mutu). Ditambah dengan progres pembangunan DAM di wilayah Dadahup Kapuas apabila sudah dioperasikan.

"Sekali lagi saya sampaikan food estate ini sangat penting sekali bagi kemajuan dan keberlanjutan pangan kita. Apalagi kalau DAM yang di Dadahup sudah berfungsi. Jadi kalau mau evaluasi nanti diakhiri saja jangan sekarang karena masih berproses," jelasnya.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini