Sukses

Sri Mulyani Beri Warning, Ekonomi Indonesia 2023 Bisa Turun ke 4,7 Persen

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ada risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ada risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023. 

Hal itu disampaikan Sri Mulyani melalui unggahan di akun Instagram resminya @smindrawati.

Dalam unggahannya, terlihat Menkeu tampak memotong tumpeng dalam acara Malam Pemantapan dan Rapat Pimpinan Nasional IV DJP. Dia pun mengingatkan bahwa tantangan ekonomi RI di 2023 cukup berat.

"Tahun depan (2023), target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.718 Triliun- target yang dihitung dengan sangat berhati-hati dan mempertimbangkan koreksi harga komoditas dan juga perlambatan pertumbuhan perekonomian di angka 4.7 persen. Ini sebuah tantangan bagi @ditjenpajakri," tulis Sri Mulyani, dikutip Senin (26/12/2022). 

"Saya harap, seluruh insan @ditjenpajakri akan terus "walk the talk" (melakukan apa yang dikatakan) dalam menjalankan tugasnya dan terus mensinkronisasi dengan kondisi dan dinamika yang terus bergerak," tambah Sri Mulyani.

Sebelumnya, sejumlah badan dan lembaga internasional, salah satunya Bank Dunia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,8 persen di 2023.

Angka ini lebih rendah dari proyeksi 2022 sebesar 5,2 persen, menurut Laporan Bank Dunia: Indonesia Economist Prospect (IEP) 2022. 

Kemudian ada Bank Pembangunan Asia (ADB) yang meramalkan ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen dari sebelumnya 5,4 persen pada 2023 mendatang, dan OECD mengoreksi prediksi ekonomi Indonesia menjadi 4,7 persen dari sebelumnya 5,3 persen. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bank Indonesia Ramal Ekonomi Global Cuma Tumbuh 2,6 Persen di 2023

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan pertumbuhan ekonomi global menurun disertai dengan ketidakpastian yang masih tinggi.

Pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan akan menurun dari 2022, dengan risiko resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Hal itu disampaikan Perry dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Desember 2022, Kamis (22/12/2022).

"Perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, akibat ketegangan politik yang berlanjut serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif di negara maju," kata Perry.

Lebih lanjut, Bank Indonesia memperkirakan ekonomi dunia tumbuh sebesar 3 persen pada 2022, tetapi akan menurun menjadi 2,6 persen pada 2023.

Sementara itu, tekanan inflasi global masih tinggi meskipun mulai melandai dipengaruhi berlanjutnya gangguan rantai pasokan dan keketatan pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa.

Menurutnya, inflasi yang masih tinggi mendorong kebijakan moneter global tetap ketat. Bank sentral Amerika The Fed diperkirakan akan menaikkan suku kebijakan moneter mereka Fed Fund rate hingga awal tahun 2023 dengan siklus pengetatan moneter yang panjang (higher for longer). Meskipun dengan besaran yang lebih rendah dari perkiraan.

perkembangan ini mendorong tetap kuatnya mata uang dolar AS dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, yang kemudian berdampak belum kuatnya aliran modal masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Sementara itu di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi domestik Indonesia tetap baik, permintaan domestik tetap berdaya tahan dipengaruhi oleh daya beli masyarakat dan keyakinan pelaku ekonomi tetap terjaga.

"Perkembangan ini tercermin pada berbagai indikator bulan November 2022 dan hasil survei bank Indonesia terkini seperti keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Sederet Lembaga Ramal Ekonomi Indonesia Loyo di 2023, Ini Respons Pemerintah

Berbagai lembaga internasional mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan. Bank Pembangunan Asia (ADB) meramalkan ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen dari sebelumnya 5,4 persen di tahun 2023.

OECD mengoreksi prediksi ekonomi Indonesia menjadi tumbuh 4,7 persen dari sebelumnya 5,3 persen. Begitu juga dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang menurunkan proyeksinya menjadi 5 persen dari 5,3 persen di tahun 2023.

Meski begitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menilai proyeksi lembaga-lembaga tersebut masih dalam rentang 4,7 persen sampai 5 persen.

"Namun dalam semua koreksi masih 4,7 persen sampai dengan 5 persen," ungkap Airlangga dalam saat memberikan sambutan di acara Outlook Ekonomi Indonesia 2023 di Hotel Ritz Calton, Jakarta Selatan, Rabu (21/12).

Airlangga menuturkan Indonesia pernah menghadapi ketidaktahuan dan ketidakpastian, terutama pada saat penanganan Covid-19.

Namun Indonesia mampu melewati itu semua dan tetap bertahan hingga saat ini ditengah berbagai dampak terhadap kondisi ekonomi global. Tak terkecuali dampak geopolitik dunia.

"Namun Bapak Presiden dengan kepemimpinan dan leadership yang tangguh Indonesia menghadapi dengan adaptability dan juga melalui resiliensi," ungkapnya.

Selama masa ketidakpastian tersebut Pemerintah mengkoordinasikan sektor fiskal, moneter maupun sektor riil. Pengalaman menghadapi pandemi ini menjadi pembelajaran yang berharga untuk penanganan ketidakpastian berbagai resiko ke depan.

Di sisi lain dalam waktu bersamaan Indonesia juga berhasil memimpin Presidensi G20 selama 1 tahun. Selama keketuaan tersebut banyak proyek yang dihasilkan dalam forum internasional tersebut.

"Dapat kami laporkan dalam kepemimpinan Bapak Presiden di dalam G20 kita telah berhasil beberapa komitmen mendapatkan komitmen strategi secara global," katanya.

4 dari 4 halaman

Ekonomi Dunia 2023 Terancam Resesi, Bagaimana Nasib Indonesia?

Pemerintah Indonesia tengah melakukan mitigasi guna mencegah ekonomi Indonesia masuk ke jurang resesi pada 2023 mendatang. Lantas bagaimana nasib ekonomi Indonesia di 2023 mendatang?

CEO Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani mengatakan pihaknya masih melihat perkembangan yang cukup positif dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

"Kendati demikian, kita tetap harus mewaspadai dampak pandemi covid 19 dan sejumlah risiko yang dapat mempengaruhi perekonomian tanah air, seperti belum membaiknya kondisi geopolitik Rusia-Ukraina sehingga berimbas terhadap peningkatan inflasi di sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia," jelas dia dikutip Senin (19/12/2022).

Ekonom INDEF, Ariyo DP Irhamna yang mengatakan meskipun pertumbuhan ekonomi global akan mengalami perlambatan di tahun 2023 akibat kenaikan harga energi dan komoditas pangan, namun harus disyukuri karena ekonomi Indonesia masih tumbuh positif di kisaran 5 persen. Selain itu, neraca perdagangan juga bertahan dalam posisi surplus selama 29 bulan berturut-turut.

"Hal tersebut disebabkan karena kinerja ekspor dan impor Indonesia yang tidak terhubung erat dengan ekonomi global sehingga ancaman resesi global terhadap perekonomian Indonesia tidak akan terlalu terasa namun hanya akan melambat. Ditambah dengan ekonomi mitra dagang negara utama Indonesia seperti Tiongkok dan Amerika Serikat pada 2022 Triwulan-II yang tetap mengalami pertumbuhan," jelas Ariyo.

Berjuang di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif dan gejolak geopolitik global, perekonomian Indonesia masih menunjukkan tren positif di berbagai indikator. Meskipun demikian, menyambut tahun 2023, Indonesia tetap harus waspada dan mengantisipasi ancaman resesi 2023.

"Agar tetap berada dalam jalur pertumbuhan positif, pemerintah sebaiknya mengoptimalkan belanja negara untuk sektor yang lebih penting seperti pendidikan, kesehatan, dan juga energi. Saya lebih optimis menyambut tahun 2023 karena kita sudah melewati masa sulit tahun-tahun sebelumnya seperti pandemi covid-19 dan juga naiknya suku bunga global beberapa kali sehingga kita bisa lebih siap untuk memasuki tahun 2023," ungkap dia.

Beberapa poin-poin menarik mengenai tantangan ekonomi global dan domestik 2023, pertama, tantangan global seperti inflasi tinggi, pengetatan moneter (suku bunga tinggi), eskalasi perang Rusia-Ukraina, harga energi tinggi, likuiditas keuangan global yang ketat, dan capital outflow dari emerging market.

Kedua,tantangan domestik seperti pemilu, investor cenderung wait and see, inflasi tinggi membayangi, penurunan daya beli, peningkatan biaya produksi, depresiasi rupiah, inflasi pangan dan transportasi kemudian bayangan PHK yang kemungkinan akan berlanjut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.