Sukses

Kawal Perdagangan Karbon, Program Hilirisasi Indonesia Malah Kena Sundut

Kesepakatan harga perdagangan karbon antar sejumlah negara hingga kini masih menemui jalan buntu, termasuk antara Indonesia dan Eropa.

Liputan6.com, Jakarta Kesepakatan harga perdagangan karbon antar sejumlah negara hingga kini masih menemui jalan buntu, termasuk antara Indonesia dan Eropa.

Indikasi utamanya, negara-negara maju ditenggarai kesulitan melakukan penyerapan emisi karbon, imbas program hilirisasi industri di masa lampau, yang tengah digencarkan Pemerintah RI saat ini.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, perdebatan klausul harga perdagangan karbon antara Eropa dan Indonesia sengit sekali. Padahal, ia menganggap Eropa masih terus melakukan hilirisasi industri.

"Selama ini negara-negara itu tidak mengakui bahwa itu (program hilirisasi industri) merupakan bagian (dari kesepakatan perdagangan karbon)," tegas Bahlil, seperti dikutip Rabu (26/10/2022).

Di sisi lain, sejumlah negara maju justru menuntut Indonesia yang kini gencar melakukan hilirisasi industri. Sebagai contoh, program hilirisasi nikel yang digugat hingga ke Organisasi Perdagangan Internasional (WTO).

Padahal, Bahlil menambahkan, Indonesia tetap melakukan ekspor produk nikel dan berupaya melakukan proses penambangan sesuai aturan yang telah disepakati saat ini.

"Saya katakan kepada mereka, yang salah itu kalau hasil produk hilirisasi kami tidak kita ekspor, itu kami salah. Tapi kalau produk hilirisasinya kami ekspor kepada kalian, kemudian kita melakukan penambangan berdasarkan bagaimana aturan lingkungan kita patuhi, dan ini kita menggunakan energi baru terbarukan, dimananya harus kalian protes kami?" keluhnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hilirisasi

Bahlil lantas coba menengok ke belakang, kala negara-negara maju memulai langkah hilirisasi di era revolusi industri.

"Di abad ke 16 itu inggris waktu itu belum negara maju, masih berkembang, dia melarang ekspor wol mereka, bahan baku tekstil. mereka melarang itu untuk apa? Hilirisasi terjadi," ungkapnya.

"Di abad 19-20 Amerika itu menerapkan pajak impor yang sangat luar biasa sekali untuk menjaga pasar domestik, tujuannya? Hilirisasi," ujar Bahlil.

Langkah serupa pun pernah dilakukan China dan Finlandia dalam proses hilirisasi industri, dimana kedua negara tersebut lebih mengutamakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) seraya melarang masuknya produk luar ke pasar domestik.

"Kita di Indonesia? Baru mengelola sumber daya kita, bangun hilirisasi, orang sudah ribut sama kita. Saya bilang, apa urusannya negara kami kalian atur-atur," seru Bahlil.

"Di situ saya katakan tidak boleh ada satu negara yang merasa berhak dan berkuasa dibandingkan negara lain dalam G20. Tolong hargai tentang apa yang dilakukan masing-masing negara. Negara kita ini jangan mau diatur-atur. Maksud saya jangan kita merasa kita lemah gitu," tandasnya.

3 dari 3 halaman

Indonesia dan Eropa Belum Sepakat Soal Harga Karbon, Menteri Bahlil Sebut Biang Keroknya

Program transisi energi masih menemui hambatan, salah satunya terkait kesepakatan harga perdagangan karbon antara Indonesia dan sejumlah negara maju, khususnya Uni Eropa.

Adapun perdagangan karbon merupakan salah satu alat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli kredit karbon, dimana satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, hingga kini Eropa masih belum mau menyetujui perjanjian Paris Agreement, dimana masih terdapat perbedaan klausul harga karbon yang jauh dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Harga karbon di Indonesia, termasuk negara berkembang lainnya hanya dipatok USD 10 per ton emisi CO2. Sedangkan di negara Eropa telah mencapai USD 100 per ton emisi CO2.

"Jadi harga karbon itu dibuat seolah-olah tidak adil dengan pandangan saya, karena Eropa itu maunya mereka lebih tinggi dibandingkan dengan karbon yang asalnya dari negara berkembang seperti Indonesia," keluh Bahlil, seperti dikutip Rabu (26/10/2022).

Alasannya, sambung Bahlil, Eropa menilai proses penanaman pohon untuk menyerap karbon di tanahnya lebih sulit dibandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia, yang masih punya banyak lahan hijau.

"Saya katakan ini tidak adil. Beberapa alasan mereka sampaikan, karena cara untuk mendapatkan karbon di Eropa lebih susah dibandingkan dengan cara di Indonesia. Contoh, kita tanpa harus menanam kembali, sebagian wilayah kita masih hutan itu dapat karbon, dan mereka sudah tidak punya hutan kan," bebernya.

"Terus saya bilang, loh kenapa kalian sudah tebang duluan di awal, masa kalian membuat sama dengan kita. Jadi itu saya menganggap enggak fair," tegas Bahlil.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.