Sukses

Kebijakan Ketat Covid-19 Bikin Pengusaha Eropa Mulai Pikir Ulang Berbisnis di China

Para pengusaha dari Eropa sedang mengamati dan mempertimbangkan situasi di China, ketika kebijakan Covid-19 yang ketat menghambat bisnis mereka.

Liputan6.com, Jakarta - Para pengusaha dari Eropa di China sedang mengevaluasi kembali rencana pasar mereka setelah kebijakan Covid-19 di negara itu semakin ketat.

Hal itu diungkapkan langsung Presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China, Joerg Wuttke. "Untuk bisnis Eropa, kami berbicara tentang penyesuaian kembali pandangan kami tentang China selama enam bulan terakhir," kata Wuttke dikutip dari CNBC International, Rabu (21/9/2022). 

Dia menyebutkan bahwa lockdown Covid-19 dan ketidakpastian untuk bisnis telah mengubah China menjadi negara "tertutup" dan "sangat berbeda" yang mungkin mendorong perusahaan untuk meninggalkan negara itu.

"Saya telah berada di sini selama 40 tahun dan saya belum pernah melihat situasi yang seperti ini, di mana tiba-tiba pengambilan keputusan ideologis lebih penting daripada pengambilan keputusan ekonomi," ujar Wuttke, dalam sebuah briefing terkait laporan tahunan Kamar Dagang UE di China.

Sejauh ini, sebagian besar perusahaan Eropa belum meninggalkan China, namun sudah ada beberapa.

Tetapi Wuttke mengatakan bahwa Kamar Dagang UE tidak dapat mensurvei bisnis yang memutuskan untuk tidak memasuki China sama sekali.

Investasi asing langsung dari UE ke China turun 11,8 persen pada tahun 2020 dari tahun sebelumnya, menurut laporan Kamar Dagang UE.

"Sementara masih ada 'sekelompok perusahaan multinasional profil tinggi terpilih yang siap menghasilkan miliaran dolar,' tren penurunan FDI tidak mungkin berbalik sementara eksekutif Eropa sangat dibatasi untuk bepergian ke dan dari China untuk mengembangkan proyek potensial," demikian laporan Kamar Dagang UE.

Seperti diketahui, kebijakan ketat Covid-19 di China telah membatasi perjalanan internasional, dan aktivitas bisnis – terutama setelah lockdown dua bulan tahun ini di Shanghai.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kamar Dagang Uni Eropa Harapkan China Buka Perbatasan pada Awal 2023

Ekonomi China tumbuh hanya sebesar 2,5 persen pada paruh pertama tahun ini, jauh di bawah target resmi sekitar 5,5 persen. Beijing mengindikasikan pada akhir Juli 2022 bahwa negara itu mungkin tidak mencapai target pertumbuhan.

Sementara itu, pihak berwenang telah menunjukkan sedikit sinyal untuk memberhentikan apa yang disebut kebijakan dinamis nol-Covid-19. 

Hal itu salah satunya mengurangi waktu karantina bagi pelancong internasional dan domestik. Tetapi lockdown, baik di pulau wisata Hainan atau kota Chengdu, telah membuat ketidakpastian bisnis meningkat.

Wuttke mengatakan dia berharap China bisa membuka perbatasannya paling awal adalah akhir 2023, berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk memvaksinasi populasinya. 

Sementara itu, Presiden China Xi Jinping mengatakan awal bulan ini bahwa negara itu "terus menanggapi Covid-19 dan mempromosikan pembangunan ekonomi dan sosial dengan cara yang terkoordinasi dengan baik," menurut parafrase dari sambutannya yang dibagikan oleh Kementerian Luar Negeri China.

Sementara Xi Jinping mengatakan bahwa China telah memasuki tahap perkembangan baru, dia menyatakan bahwa "pintu keterbukaan dan kerja sama persahabatan China akan selalu terbuka untuk dunia,".

Pernyataan Jinping datang selama perjalanan pertamanya ke luar negeri sejak awal pandemi yaitu ke Kazakhstan dan Uzbekistan, di mana ia bertemu dengan para pemimpin beberapa negara. 

3 dari 4 halaman

Ketika Kebijakan Ketat Covid-19 Membebani Keuangan Kota-kota di China

Pengetatan pembatasan terkait Covid-19 di China disebut sebut menguras biaya yang besar bagi pemerintah lokal, menimbulkan ancaman baru bagi ekonomi dan investor obligasi.

Dilansir dari Bloomberg, Senin (19/9/2022) Provinsi Jilin di China telah memperingatkan masalah yang semakin terlihat antara pengeluaran dan pendapatan.

Departemen keuangan provinsi Jilin dalam laporan pelaksanaan anggaran semester pertamanya mengungkapkan, keuangan di hampir setengah dari 60 pemerintah tingkat daerah dan distrik sangat ketat sehingga mereka terkena "risiko operasional."

31 wilayah provinsi di China, kecuali Shanghai, mencatat defisit dalam tujuh bulan pertama tahun ini.

Pejabat kesehatan China bulan ini mengumumkan serangkaian tindakan yang akan dilakukan hingga akhir Oktober, termasuk meminta masing-masing pemerintah daerah untuk menggelar tes Covid-19 secara rutin, terlepas dari tingkat infeksi. 

Adapun lockdown yang diberlakukan di berbagai kota, salah satunya di Chengdu, kota terbesar keenam di China dengan 21 juta penduduk.

Kondisi ini membuat pemerintah kota di China berusaha memotong pengeluaran sebisa mungkin. Pegawai pemerintah di wilayah pesisir mengalami pemotongan pendapatan karena bonus dan subsidi dihapus, menurut laporan media lokal.

Ditambah lagi, perusahaan tes Covid-19 juga tengah kesulitan menerima pembayaran dari layanan, dengan beberapa memperingatkan meningkatnya risiko kredit macet.

"Jika pendapatan fiskal tidak dapat pulih pada paruh kedua tahun ini, pengeluaran harus dikurangi karena defisit anggaran tidak dapat dilampaui," kata Ding Shuang, kepala ekonom untuk China dan Asia Utara di Standard Chartered Plc.

"Pengeluaran fiskal yang lebih lambat daripada paruh pertama tahun ini tentu akan menjadi hambatan bagi perekonomian," ungkapnya.

4 dari 4 halaman

Ekonomi Terdampak Covid-19, Anak Muda di China Kurangi ke Salon hingga Beli Kopi Strabucks

Anak muda di China mulai mengubah gaya hidup mereka menjadi serba hemat untuk menyesuaikan situasi ekonomi yang terdampak pandemi covid-19.

Seperti diketahui, kebijakan nol-Covid-19 di China, termasuk lockdown ketat, pembatasan perjalanan, dan aturan tes massal, telah berdampak besar pada aktivitas ekonomi negara itu.

Kini, banyak anak muda berusia 20 hingga 30 tahun di China memotong pengeluaran dan menyimpan uang sebisa mungkin, ketika lockdown Covid-19 mendorong angka pengangguran anak muda serta pasar properti yang goyah.

Salah satu warga yang melakukan perubahan gaya hidup itu adalah Doris Fu.

Perempuan berusia 39 tahun yang bekerja sebagai konsultan pemasaran di Shanghai itu mengungkapkan mulai mengurangi bepergian ke salon dan membeli kopi di Strabucks, juga membeli kosmetik dengan harga murah guna berhemat.

Saya tidak lagi memiliki manikur, saya tidak menata rambut saya lagi. Saya telah pergi ke China untuk semua kosmetik saya," kata Doris Fu, seperti dikutip dari The Straits Times, Selasa (20/9/2022).

"Sebelumnya saya menonton dua film setiap bulan, tetapi saya belum pernah ke bioskop lagi sejak pandemi," ungkapnya.

Survei triwulanan terbaru oleh People's Bank of China (PBOC), bank sentral China menunjukkan hampir 60 persen  60 persen orang sekarang cenderung untuk menabung lebih banyak, daripada mengkonsumsi atau berinvestasi. 

Tiga tahun lalu, angka itu baru mencapai 45 persen.

Selain itu, rumah tangga di China secara keseluruhan menambah tabungan hingga 10,8 triliun yuan dalam delapan bulan pertama tahun ini, naik dari 6,4 triliun yuan pada periode yang sama tahun lalu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.