Sukses

China Beri Sinyal Pertumbuhan Ekonomi Negaranya Meleset dari Target

China mengisyaratkan pertumbuhan ekonominya tidak akan mencapai target 5,5 persen. Hal itu diungkapkan dalam pertemuan Politbiro.

Liputan6.com, Jakarta - China mengisyaratkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi negaranya tidak akan mencapai target 5,5 persen di 2022 ini.

Itu dampak pembatasan ketat untuk meredam wabah baru Covid-19 membebani ekonomi negara itu.

Dilansir dari BBC, Senin (1/8/2022) Politbiro, badan pembuat kebijakan utama Partai Komunis China mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi dalam kisaran yang wajar.

Namun, dalam pernyataan itu, tidak disebutkan target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen seperti yang telah ditetapkan sebelumnya.

Politbiro yang beranggotakan 25 orang, yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping, mengatakan para pemimpinnya akan "berusaha untuk mencapai hasil terbaik".

Badan itu juga menyerukan provinsi-provinsi di China untuk bekerja keras memenuhi masing-masing target pertumbuhan ekonomi mereka.

Menurut analis, kurangnya penyebutan PDB penting, meskipun para ekonom sebelumnya memperkirakan akan sulit bagi China untuk mencapai target 5,5 persen.

"Target pertumbuhan 5,5 persen tidak lagi menjadi keharusan bagi China," kata Iris Pang, kepala ekonom China di ING Bank, kepada kantor berita Wall Street Journal.

Mereka juga menambahkan bahwa China mendesak provinsi yang lebih besar untuk memulihkan ekonomi yang terdampak lockdown.

"Beijing meminta provinsi yang posisinya relatif baik harus berusaha untuk mencapai target ekonomi dan sosial untuk tahun ini," ujar analis Nomura Ting Lu, Jing Wang dan Harrington Zhang dalam sebuah catatan.

"Kami pikir Beijing menyarankan bahwa target pertumbuhan PDB untuk provinsi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, terutama bagi mereka yang terpukul oleh varian Omicron dan lockdown, bisa lebih fleksibel,," tambah mereka.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Lockdown Covid-19 Kelar, Kegiatan Pabrik di China Masih Terkontraksi di Juli 2022

Aktivitas pabrik di China berkontraksi secara tak terduga pada Juli 2022 setelah bangkit kembali dari lockdown Covid-19.

Dilansir dari CNBC International, Senin (1/8/2022) indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) China turun menjadi 49,0 pada Juli 2022 dari 50,2 pada Juni 2022, di bawah 50 poin yang memisahkan kontraksi dari pertumbuhan, kata Biro Statistik Nasional (NBS).

Adapun PMI non-manufaktur China yang juga  turun menjadi 53,8 pada Juli 2022 dari 54,7 pada bulan Juni. PMI komposit resmi, yang mencakup manufaktur dan jasa, juga turun menjadi 52,5 dari 54,1.

"Tingkat kemakmuran ekonomi di China telah turun, fondasi untuk pemulihan masih membutuhkan konsolidasi,' kata ahli statistik senior NBS Zhao Qinghe dalam sebuah pernyataan.

Dia menyebut, kontraksi yang belanjut di industri peleburan minyak, batu bara dan logam adalah salah satu faktor utama yang menurunkan PMI manufaktur China di bulan Juli.

Penurunan ini juga menandai angka terendah PMI China dalam tiga bulan, dengan sub-indeks untuk output, pesanan baru dan ketenagakerjaan semuanya berkontraksi.

Selama pandemi Covid-19, pabrik-pabrik di China telah melihat tingginya harga bahan baku, yang menekan margin keuntungan, karena prospek ekspor dihantui kekhawatiran resesi global.

Catatan penelitian oleh kepala ekonom dan kepala penelitian di Jones Lang Lasalle Inc, Bruce Pang mengatakan bahwa pemulihan ekonomi China terhambat karena permintaan konsumen yang melemah.

"Pertumbuhan di kuartal tiga mungkin menghadapi tantangan yang lebih besar dari yang diharapkan, karena pemulihannya lambat dan rapuh," bebernya.

3 dari 4 halaman

Lockdown Covid-19 Berdampak pada 41 Persen Perusahaan China di Juli 2022

Pembuat kebijakan di China dilaporkan tengah bersiap untuk PDB yang tidak akan mencapai target 5,5 persen tahun ini, media pemerintah melaporkan setelah pertemuan tingkat tinggi Partai Komunis China.

Setelah sempat rebound pada bulan Juni, pemulihan di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu tersendat karena wabah Covid-19 menyebabkan pengetatan pembatasan aktivitas di beberapa kota, sementara pasar properti yang dulunya kuat sedang menghadapi krisis.

Menurut World Economics, lockdown Covid-19 berdampak pada 41 persen perusahaan China pada bulan Juli, meskipun indeks kepercayaan bisnis manufaktur naik secara signifikan dari 50,2 pada Juni menjadi 51,7 pada Juli.

Salah satunya adalah di kota pelabuhan Tianjin, yang merupakan lokasi beroperasinya pabrik-pabrik kendaraan udara dan darat seperti Boeing dan Volkswagen.

Daerah lain di sekitar Tianjin juga memperketat pembatasan bulan ini untuk meredam wabah baru Covid-19.

4 dari 4 halaman

IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi

China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.

Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara. 

"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).

"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.

Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.

Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.

Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.

Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.

Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.

"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.

"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.Joe Biden Akhiri Isolasi COVID-19.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.