Sukses

Impor Minyak Dijegal Uni Eropa, Bagaimana Rusia Merespon?

Rusia adalah produsen minyak terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Arab Saudi.

Liputan6.com, Jakarta - Uni Eropa mengumumkan telah menyetujui larangan parsial terhadap impor minyak dari Rusia, pada Senin, 30 Mei 2022 lalu. Ini jadi langkah besar lainnya dalam kecaman tehadap invasi di Ukraina.

Pertanyaan seputar bagaimana Rusia menanggapi sanksi Uni Eropa terhadap minyak hasil produksinya pun bermunculan. 

Sebagai informasi, Rusia adalah produsen minyak terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Arab Saudi, dan pengekspor minyak mentah terbesar kedua setelah Arab Saudi, menurut Badan Energi Internasional.

Dilansir dari CNBC International, Kamis (2/6/2022) pengamat menyebut, Rusia dapat menanggapi sanksi Eropa terhadap minyaknya dengan mencari pembeli lain atau memotong produksi untuk menjaga harga tetap tinggi.

Langkah tersebut tentu bisa berdampak ekonomi global - kecuali OPEC ikut terlibat.

“Seperti yang dia katakan kemarin, #Rusia akan menemukan importir lain," kata Ulyanov di Twitter, merujuk pada Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

"Respons Rusia jelas akan diawasi dengan cermat," ujar Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets, dalam sebuah catatan pada Selasa (31/5/2022).

"Apakah barel itu menemukan tujuan di India, China, dan Turki dapat bergantung pada apakah UE pada akhirnya memilih untuk menargetkan layanan pengiriman dan asuransi dan apakah AS memilih untuk menjatuhkan sanksi sekunder serupa Iran," tulis Croft dari RBC.

Adapun pendapat dari Hossein Askari, seorang profesor di George Washington University School of Business, yang mengatakan bahwa "Apa yang terjadi sekarang akan mengubah perdagangan migas ke depannya. Harga minyak tidak akan turun dalam waktu dekat dan dampak sanksi terhadap Rusia akan terasa selama beberapa tahun".

"AS seharusnya menggunakan sanksi pendahuluan yang kuat terhadap Rusia dan lebih keras dengan produsen minyak OPEC untuk meningkatkan produksi minyak," pungkasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

India dan China Semakin Pertambah Pembelian Minyak dari Rusia

Rusia kini sudah memiliki dua kemungkinan pembeli untuk minyak mentahnya : China dan India. Negara-negara ini telah membeli minyak Rusia dan pengamat industri mengatakan bahwa pembelian tersebut tampaknya akan terus berlanjut.

Sementara India secara tradisional mengimpor sangat sedikit minyak mentah dari Rusia – hanya antara 2 persen hingga 5 persen per tahun, menurut pengamat pasar – pembeliannya telah melonjak dalam beberapa bulan terakhir.

India membeli 11 juta barel minyak Rusia pada Maret 2022 dan angka itu melonjak menjadi 27 juta pada April 2022 dan 21 juta pada Mei, menurut data dari perusahaan data komoditas Kpler.

Angka itu sangat kontras dengan 12 juta barel yang dibeli India dari Rusia sepanjang tahun 2021.

Begitu juga China, yang juga sudah menjadi pembeli tunggal terbesar minyak Rusia tetapi pembelian minyaknya juga melonjak.

Dari bulan Maret hingga Mei 2022, China dilaporkan sudah membeli 14,5 juta barel — peningkatan tiga kali lipat dari periode yang sama tahun lalu, menurut data Kpler.

3 dari 3 halaman

Pemotongan Produksi

Rusia juga disebut bisa memangkas produksi dan ekspor minyak mentahnya untuk meredam pukulan terhadap keuangannya - imbas sanksi ekonomi dari Barat atas invasi di Ukraina.

Pada Minggu kemarin (29/5), wakil presiden perusahaan minyak Rusia Lukoil, Leonid Fedun, mengatakan negara itu harus memangkas produksi minyak hingga 30 persen untuk mendorong harga lebih tinggi dan menghindari penjualan barel dengan harga diskon.

"Para pejabat di Washington telah menyatakan keprihatinannya bahwa Moskow mungkin bergerak untuk membatalkan penutupan akhir tahun yang teratur dengan memangkas ekspor selama musim panas, guna menimbulkan kerugian ekonomi maksimum di Eropa dan menguji tekad kolektif negara-negara anggota untuk mempertahankan Ukraina," kata Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets.

Menurutnya, mengingat persediaan "sangat rendah" dan kelangkaan kapasitas penyulingan, penghentian minyak Rusia dapat memiliki dampak ekonomi yang sangat merusak musim panas ini.

Senada, Edward Gardner, ekonom komoditas di Capital Economics dalam catatannya juga menyebutkan "Untuk Rusia, kami pikir dampak dari volume ekspor yang lebih rendah tahun ini sebagian besar akan diimbangi oleh harga yang lebih tinggi".

Dia memperkirakan produksi dan ekspor minyak Rusia bisa turun sekitar 20 persen pada akhir tahun 2022.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.