Sukses

Lockdown Covid-19 di China Lumpuhkan Permintaan Kobalt, Nikel, hingga Lithium

Gelombang baru Covid-19 yang memicu lockdown sejumlah kota melumpuhkan permintaan untuk kobalt, nikel, lithium di China.

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang baru Covid-19 melumpuhkan permintaan untuk kobalt, nikel, lithium di China, ketika lockdown di sejumlah kota menggangu transportasi dan memotong manufaktur baterai. 

Hal itu diungkapkan oleh lembaga penelitian yang didukung negara, Antaike.

Dilansir dari Channel News Asia, Rabu (11/5/2022) pabrik mobil di seluruh China telah mengurangi atau bahkan menangguhkan produksi, ketika kota-kota di seluruh negeri berjuang untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. 

"Ada dampak yang relatif besar pada permintaan, sebagian karena penurunan pesanan baterai dan pembatasan transportasi domestik," kata lembaga penelitian itu.

Hal ini dikarenakan, pembatasan pergerakan truk juga menjadi salah satu upaya di China untuk meredam risiko Covid-19.

Menurut  Antaike, beberapa produsen bahan baterai telah memangkas produksi sebesar 15-40 persen, dan ini sangat mengurangi permintaan input mereka.

Produksi untuk bahan lain juga menurun. Output kobalt olahan pada April 2022 turun 7 persen yang semula 9.700 ton pada Maret 2022, dengan kobalt sulfat yang semula 5.473 ton, turun 4,8 persen.

"Jika dampaknya berlangsung lama ... itu akan mempengaruhi produksi kobalt, dan produsen secara progresif akan mengalami kerugian sambil menutupi biaya tinggi," ungkap Antaike.

Produksi katoda nikel bulan lalu turun 5,9 persen dari Maret 2022 sebesar 11.953 ton, kata Antaike, tetapi ini sebagian besar karena pekerjaan pemeliharaan oleh beberapa produsen.

Meskipun ada kesulitan saat ini, konsultan mengharapkan permintaan mineral pulih karena aktivitas pabrik akan kembali secara bertahap dan sebagian besar produsen kendaraan mempertahankan target produksi tahunan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Lockdown Covid-19 di China Bikin Kekayaan Bos Baterai Kendaraan Listrik Anjlok

Pimpinan raksasa baterai China Kontemporer Amperex Technology (CATL), yakni Robin Zeng, mengumpulkan kekayaan USD 45 miliar karena perusahaannya memasok banyak produk ke pasar kendaraan listrik yang sedang booming.

Tetapi dalam sebulan, lonjakan biaya dan lockdown terkait Covid-19 di China telah membuat hampir sepertiga kekayaan miliarder itu menurun.

Dilansir dari Forbes, Rabu (11/5/2022) kekayaan Zeng (53) turun 27 persen atau USD 12,2 miliar - menjadi USD 32,6 miliar. 

Penurunan kekayaan ini terjadi ketika saham CATL yang terdaftar di Shenzhen, di mana Zeng memiliki 24,4 persen saham, anjlok beruntun karena diperas oleh meroketnya biaya bahan baku menyusul lockdown Covid-19 di sejumlah kota di China.

Untuk Ningde, CATL dan perusahaan pembuat baterai di China lainnya, pertanyaan utama saat ini adalah bagaimana mengamankan cukup lithium, yang merupakan elemen penting membuat baterai isi ulang untuk kendaraan listrik.

Indeks harga lithium telah naik 130 persen dalam lima bulan pertama tahun ini, setelah melonjak 280 persen tahun lalu, menurut penyedia data Benchmark Mineral Intelligence.

 

3 dari 3 halaman

Lockdown Covid-19 di China Ancam Bisnis Starbucks hingga Microsoft

Merek-merek internasional mengungkapkan dampak dari kebijakan nol Covid-19 di China, di mana puluhan juta orang menghadapi lockdown, membuat hampir semua bisnis besar terganggu.

Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah kota di China, termasuk pusat keuangan Shanghai, telah dilockdown saat pihak berwenang berupaya menekan gelombang baru Covid-19.

Dilansir dari CNN Business, Rabu (11/5/2022) industri mulai dari Big Tech hingga barang-barang konsumen, lockdown berkepanjangan menghancurkan baik penawaran maupun permintaan — membuat para eksekutif pusing lagi.

Ditambah lagi, banyak perusahaan dari negara Barat yang baru saja mengalami kerugian jutaan, atau miliaran dolar akibat perang di Ukraina, yang menyebabkan eksodus perusahaan besar-besaran dari Rusia.

Beberapa perusahaan besar Amerika yang beroperasi di China telah menunda membuat perkiraan pendapatan mereka karena melihat hambatan akibat lockdown di negara itu.

Starbucks pekan lalu menangguhkan panduan keuangan selama enam bulan ke depan, dengan CEO Howard Schultz menyebutnya "satu-satunya tindakan yang bertanggung jawab."

"Situasi di China belum pernah terjadi sebelumnya," ungkap Schultz kepada analis pada panggilan pendapatan.

"Kondisi di China sedemikian rupa sulit sehingga kami hampir tidak memiliki kemampuan untuk memprediksi kinerja kami di China pada paruh pertama tahun ini," jelasnya.

China merupakan pasar terbesar kedua Starbucks.

Kering, pemilik Gucci dan Bottega Veneta, mengatakan bulan lalu bahwa pihaknya juga merasakan dampak lockdown di China, dengan penurunan tajam dalam penjualan, penutupan toko, hingga tantangan logistik.

"Situasinya mudah-mudahan sementara," kata Chief Financial Officer Kering, Jean-Marc Duplaix.

Adapun Microsoft, yang juga mengungkapkan pemberhentian produksi di China telah berdampak pada pasokannya untuk laptop Surface dan konsol Xbox, dan berpotensi "berdampak besar" pada kinerja kuartalannya, dengan sebagian besar produksi pembuat PC dilakukan di negara tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.