Sukses

Pengenaan Pajak Karbon Dilakukan Bertahap Lewat Kajian Ekonomi, Sosial, dan Politis

Konsumsi energi ke depan perlu memperhatikan emisi karbon, sehingga kebijakan Pemerintah mengarah pada pemberian insentif bagi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, harga komoditas enegeri di dunia tengah bergejolak. Harga minyak bumi, gas dan juga batu bara tengah melambung. Di beberapa belahan dunia pun mengalami krisis energi seperti Inggris dan China.

Naik dan turun tajam harga energi ini sangat berpengaruh ke Indonesia. Pemerintah harus memperbaiki investasi agar bisa meningkatkan daya saing investasi di sektor energi dengan memberikan berbagai insentif. Hal itu akan meningkatkan penerimaan negara yang dapat dipergunakan sebagai modal pembangunan nasional.

"Pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi guna meningkatkan daya saing investasi di sektor energi melalui berbagai insentif," kata Airlangga dalam acara Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) International Energy Conference, Jakarta, Kamis (7/10/2021).

Dia menjelaskan krisis energi di Inggris diakibatkan terjadinya 'perfect storm'. Artinya kondisi musim panas yang sangat panas dan kemungkinan akan dilanjutkan dengan musim dingin yang sangat dingin menjelang akhir tahun ini di Eropa.

Lalu terjadi keterbatasan pasokan dari Rusia sebagai salah satu pemasok utama bagi Eropa, dan investasi infrastruktur penyimpanan (storage) gas yang terkendala. Dalam konteks Eropa, aturan emisi CO2 yang semakin ketat juga menyebabkan harga karbon menjadi sangat tinggi.

Di sisi lain, pulihnya ekonomi di China menyebabkan permintaan energi yang tinggi dan telah membuat harga batubara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah melebihi USD 230 per ton di awal Oktober 2021. Akibat keterbatasan pasokan gas di Eropa, banyak pasokan yang tadinya untuk tujuan pasar Asia beralih ke Eropa. Sehingga harga di Asia, yang direpresentasikan oleh harga spot LNG meningkat sangat tinggi mencapai lebih dari USS 25 per mmbtu.

Sementara itu, saat ini dunia sedang memasuki masa transisi energi sejak adanya Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang ditindaklanjuti oleh pernyataan dari berbagai negara yang akan berada pada posisi net-zero emission (NZE) di 2050. Kebijakan pemulihan ekonomi Indonesia, lanjut Airlangga, dilandasi keinginan kuat untuk menjaga kelompok rentan agar tidak terdampak secara drastis dari pandemi Covid-19 ini.

"Kita telah meningkatkan anggaran untuk menjaga kelompok ini termasuk di dalamnya adalah UMKM. Semua ini tentunya membutuhkan anggaran yang cukup besar, di tengah penerimaan pajak yang menurun akibat pembatasan kegiatan ekonomi," ucapnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Insentif untuk Energi Bersih

Meski demikian, Pemerintah tidak melupakan aspirasi jangka panjang, contohnya dalam menangani masalah pemanasan global akibat perubahan iklim. Hal ini akan berdampak pada keharusan semua negara untuk melakukan transisi energi.

Konsumsi energi ke depan perlu memperhatikan emisi karbon, sehingga kebijakan Pemerintah mengarah pada pemberian insentif bagi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan. Lalu, di saat yang sama juga membuat kebijaksanaan disinsentif, bahkan menghentikan atau moratorium penggunaan energi fosil, khususnya yang beremisi karbon relatif lebih tinggi.

Pembangunan ke depan diarahkan untuk mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, target penurunan emisi, dan kapasitas daya dukung sumber daya alam. Pemerintah akan membuat kebijakan yang mengakomodasi nilai ekonomi karbon yang implementasinya akan dilakukan secara bertahap.

Pengenaan pajak karbon tidak serta merta akan dilakukan. Namun akan dilakukan secara bertahap melalui kajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politis. Pembahasan serta kajian ini akan melibatkan berbagai kalangan, termasuk sektor swasta. Tantangan multidimensi yang dihadapi kali ini perlu ditanggapi secara seksama dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.

"Pemerintah tidak bisa bergerak sendirian. Sektor swasta, akademisi serta organisasi wadah pemikir (think-tank), dan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat, perlu bahu-membahu berkontribusi mendukung Pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang berorientasi jangka panjang, tetapi tak lupa mengatasi tantangan jangka pendek saat ini," tutur Airlangga

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.