Sukses

Bendung Impor, Industri Tekstil Minta Pemerintah Terapkan Safeguard

Pelaku IKM garmen merasa produknya tidak dapat bersaing dengan barang jadi impor yang belum di kenakan bea masuk tambahan.

Liputan6.com, Jakarta - Satu tahun belakangan ini, semua sektor usaha di dalam negeri dipaksakan harus bisa menyesuaikan Pandemi Covid-19, yang masih belum usai hingga saat ini. Salah satunya industri tekstil.

Hal demikian membuat banyak sekali sektor industri di Indonesia kian terpuruk dan berakibat banyaknya jumlah tenaga kerja yang mau tidak mau harus kehilangan lapangan pekerjaannya.

Sekjen Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI) Widia Erlangga mengatakan, dua hal utama yang seakan membuat keadaan iklim usaha para pelaku IKM malah semakin tidak menentu.

Pertama, kelangkaan bahan baku yang selama ini kebanyakan dipasok oleh bahan baku impor juga bahan baku yang di produksi oleh industri TPT lokal, Safeguards bahan baku sesuai aturan Pemerintah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.161/PMK 010/2019, PMK No.162/PMK.010/2019 dan PMK No.163/ PMK.010/2019 terkait Pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) atau Safeguards terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada November 2019.

"Sudah sangat jelas berimbas kepada kelangkaan bahan baku impor dipasar domestik, sedangakan kapasitas produksi dari para industri tekstil lokal saat ini pun menurun secara signifikan dan tidak dapat memenuhi demand atau permintaan di pasar domestik," ungkap dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (24/3/2021).

Kedua, yang menyulitkan bagi IKM garmen adalah gempuran barang jadi impor dari China dan Thailand yang saat ini sangat banyak sekali dan amatlah mudah di dapatkan di pasar domestik.

Sejauh ini para pelaku IKM garmen merasa produk mereka tidak dapat bersaing dengan barang jadi impor yang belum di kenakan bea masuk tambahan seperti bahan baku impor, ditambah banyak pihak yang beralih untuk mengimpor produk barang jadi karena dinilai lebih mudah dan ekonomis dibandingkan dengan memproduksi di dalam negeri sendiri.

Hal lain yaoti meningkatnya impor barang jadi kerudung atau scarf (HS.Code 621430 : kerudung/scarf) pada 2017 hingga tahun 2019. Jika di akumulasi secara total, Indonesia menerima impor kerudung/scraft yang berasal dari 5 negara yaitu China, Turki, Malaysia, India dan Pakistan di tahun 2017 sebesar 8,6 juta Kg atau sebanyak 84,1 juta Pcs, dan pada tahun 2018 menjadi sebesar 12,9 juta Kg atau sebanyak 125,2 juta Pcs. Kemudian pada tahun 2019 sebesar 10,9 juta Kg atau sebanyak 105,6 juta Pcs.

Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan dalam tiga tahun terakhir terjadi pengingkatan nilai impor barang jadi berupa kerudung atau scarf tersebut.

"Hal ini menunjukkan bahwa safeguard untuk barang jadi garmen harus segera di realisasikan. Karena dapat terlihat angka impor yang masuk ke Indonesia untuk barang jadi kerudung/scarf saja, jumlahnya begitu besar. Kerudung dijadikan sebagai contoh dikarenakan IKM yang memproduksi kerudung jumlahnya sangat banyak di beberapa daerah di Indonesia," ungkap dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dampak ke IKM

Widia menjelaskan, jika produk kerudung tidak di berlakukan safeguard maka salah satu yang paling terkena dampaknya adalah para IKM Cicalengka yang terancam dapat menutup usahanya, terlebih lagi daerah Cicalengka terkenal sebagai salah satu kawasan IKM atau sentra produsen kerudung terbesar di Jawa Barat.

Kemudian, jika merujuk kepada gambaran tentang kapasitas kemampuan produksi IKM kerudung di Cicalengka, rata-rata mampu memproduksi kerudung sebanyak 2.000 kodi atau 40.000 pcs perbulannya per IKM,.

Sehingga jika di kalkulasikan dengan jumlah total IKM kerudung Cicalengka sebanyak 500 pelaku IKM di daerah tersebut, para pelaku IKM kerudung di Cicalengka mampu memproduksi sebanyak 240.000.000 pcs kerudung per tahun. Paling tidak sudah dapat mewakili sebagian besar kebutuhan kerudung di pasar domestik yang mana saat ini masih didominasi juga oleh kerudung/scraf impor.

"Para pelaku IKM garmen yang diwakili oleh APIKMI meminta penjelasan kepada Pemerintah khususnya, Kementrian Perdagangan dan Kementrian Perindustrian, terkait jika bahan baku diberlakukan bea masuk pengamanan akan tetapi barang jadi garmen impor tidak diberlakukan, apa yang menjadi pertimbangannya? Karena secara bisnis akan lebih menguntungkan Impor barang jadi dan secara langsung dapat membunuh industri IKM garmen," kata dia.

Widia menyatakan, menjadi harapan para pelaku industri agar proses produksi pelaku IKM garmen/konveksi kembali stabil dan harga jual yang ditawarkan ke konsumen tetap kompetitif. Pemerintah harus bertindak cepat, untuk menerbitkan kebijakan safeguards barang jadi impor, agar situasi saat ini tidak dijadikan sebagai celah oleh segelintir pihak yang memanfaatkan keadaan.

Kebijakan tersebut dapat meringankan para pelaku IKM sektor konveksi atapun garmen dan barang barang produksi lokal baik dari para pelaku IKM ataupun industri dalam negeri dapat menjadi primadona di pasar domestik negerinya sendiri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.