Sukses

OJK: Bunga KPR Sudah Turun

Suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) bukan menjadi masalah utama bagi masyarakat yang ingin membeli rumah.

Liputan6.com, Jakarta - Suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) bukan menjadi masalah utama bagi masyarakat yang ingin membeli rumah. Masalah utama dari masyarakat saat membeli rumah lebih kepada daya beli atau pendapatan yang rendah.

"Bahwa suku bunga ini penting iya, tapi sebenarnya bukan menjadi kendala utama masyarakat," kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dalam diskusi Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional Melalui Sektor Perumahan, Senin (28/12/2020).

Besaran bunga KPR sendiri selalu diturunkan perbankan dari tahun ke tahun. Pada 2014 lalu misalnya. Suku bunga kredit pada waktu itu rata-rata di perbankan mencapai 12,92 persen. Sementara itu, pada Oktober 2020 menjadi hanya sebesar 9,81 persen.

Bahkan, Wimboh melanjutkan, jika disandingkan dengan kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia, suku bunga kredit perbankan masih sangat rendah. Sebab, saat BI rate naik pada 2018, bunga kredit tidak ikut naik.

Pada 2018, BI rate tercatat naik menjadi 6 persen dari 2017 sebesar 4,25 persen. Sementara itu bunga kredit bank pada 2018 sebesar 10,83 persen sedangkan pada 2017 sebesar 11,3 persen.

"Kita minta meski BI rate naik saat itu pernah menjadi 6 persen, bunga kredit kita tahan tidak boleh naik dan akhirnya BI rate berangsur-angsur turun jadi 3,75 sehingga ini kita yakin bunga kredit turun," tutur Wimboh.

OJK terus mendorong supaya bunga kredit perbankan terus mengalami penurunan. Apalagi, saat ini likuiditas mereka juga lebih dari cukup.

"Karena pemerintah dan BI melakukan kebijakan yang akomodatif tentang likuiditas sehingga kalau likuiditas melimpah ini suku bunga turun dan cost juga akan turun," tegas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemerintah Bakal Tambah Insentif Sektor Perumahan di 2021

Sebelumnya, 2021 menjadi tahun penuh harapan dan optimisme dalam proses pemulihan ekonomi, tidak hanya di Indonesia tapi juga secara global. Semua sektor diharapkan dapat pulih dan memberikan kontribusi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi termasuk sektor properti/perumahan.

Untuk memacu sektor tersebut diperlukan dukungan seluruh stakeholders di antaranya adalah Pemerintah, Jasa Keuangan dan Perbankan, Pengembang dan juga sektor pendukung lain yang menjadi ekosistem di sektor ini.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI Andin Hadiyanto menyampaikan dalam paparannya pada saat HUT KPR-BTN ke-44 pekan lalu di Jakarta,  pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 diproyeksikan dapat mencapai 5 persen. Angka itu jauh membaik dibandingkan tahun 2020 yang diperkirakan mengalami kontraksi sebesar -1,7 persen hingga -0,6 persen.

Andin menilai sektor properti/perumahan sangat berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena Pemerintah juga meyakini sektor tersebut sangat strategis, sehingga menjadi perhatian dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), 

“Karena sektor properti sangat strategis, melekat di berbagai dimensi, tidak hanya dimensi ekonomi, tapi juga dimensi sosial, keuangan dan juga fiskal. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi backlog perumahan nasional, jadi akan banyak tambahan rumah yang bisa diakses masyarakat, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” kata Andin, pada Senin 14 Desember 2020.

Andin menilai dibutuhkan intervensi langsung dari Pemerintah untuk MBR. Sebab, angka backlog kepemilikan rumah sebesar 11,4 juta orang. Sementara backlog keterhuniaan adalah sebesar 7,6 juta orang.

Intervensi yang dilakukan Pemerintah mencakup sejumlah aspek diantaranya mendorong supply side dengan mengusahakan ketersediaan rumah, meningkatkan akses pembiayaan, harga rumah yang terjangkau dan program berkelanjutan.

Untuk itu, Kementerian Keuangan menurut Andin sudah memberikan sejumlah insentif fiskal dan alokasi anggaran belanja seperti Subsidi Selisih Bunga (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Dana Alokasi Khusus Fisik (DAKF) serta dana bergulir Fasilitas Pembiayaan. 

Dukungan Pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat nilainya. Pada tahun 2020, dana bergulir FLPP Rp 9 triliun,  SBUM Rp 600 miliar dan  SSB Rp 3,87 triliun. Sedangkan PMN untuk SMF Rp 1,75 triliun, PEN Perumahan Rp 1,3 triliun dan DAKF Rp1,42 triliun.

"Pada tahun 2021, alokasi tersebut bertambah, yakni dana bergulir FLPP menjadi Rp 16,62 triliun, SBUM menjadi Rp 630 miliar dan SSB menjadi Rp 5,97 triliun. Sedangkan PMN untuk SMF menjadi Rp 2,25 triliun dan DAKF menjadi Rp1 triliun,” kata Andin.

Dengan dukungan Pemerintah tersebut, Andin optimistis para pelaku sektor properti/perumahan dapat diakselerasi dengan baik.  Perbankan khususnya dapat memaksimalkan perannya menjadi penyalur dana pemerintah baik  anggaran subsidi maupun Dana PEN yang sudah dialirkan sejak Juni lalu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.