Sukses

Lepaskan Ketergantungan Impor BBM, PPSDM KEBTKE Dorong Pengembangan BBN Biohidrokarbon

PPSDM KEBTKE Kementerian ESDM mengadakan webinar bertajuk “Menyongsong Era Biohidrokarbon di Indonesia”.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (PPSDM KEBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengadakan webinar bertajuk “Menyongsong Era Biohidrokarbon Di Indonesia”.

Adapun, pembicara yang hadir dalam acara webinar kali ini, di antaranya Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia ESDM Prahoro Yulijanto Nurtjahyo, VP Downstream Research Technology Innovation PT Pertamina Andianto Hidayat, Peneliti PPPTMGB Lemigas Kementerian ESDM Lies Aisyah, dan Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI)/ITB Tatang Hernas Soerawidjaja.

Saat ini Pemerintah aktif mendorong pengembangan BBN biohidrokarbon yang karakteristiknya sama atau bahkan lebih baik daripada senyawa hidrokarbon atau BBM berbasis fosil. BBN Biohidrokarbon yang ramah lingkungan dapat langsung digunakan sebagai substitusi BBM fosil tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan.

"BBN biohidrokarbon dapat dibedakan menjadi green-gasoline, green-diesel, dan bioavtur," Jelas Prahoro dalam keterangan tertulis, Rabu (4/11/2020).

Pemanfaatan energi fosil makin tahun akan makin dikurangi jumlahnya sejalan cadangan energi fosil kita yang semakin terbatas. Oleh karenanya, kita patut bangga bahwa Indonesia adalah negara pertama yang berhasil mengimplementasikan B30 dengan bahan baku utama bersumber dari kelapa sawit, imbuhnya.

"Besar harapan kami, melalui Webinar kali ini, dapat menambah wawasan kita dalam menyongsong era biohidrokarbon di Indonesia," ungkap dia.

Tatang menambahkan, Abad ke-20 adalah abad perekonomian hidrokarbon, minyak bumi, alias sumber daya hidrokarbon fosil, adalah penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia

Energi adalah darah atau oksigennya perekonomian dan minyak bumi adalah sumber daya utama energi di abad ke-20. Berkembang pesatnya pembangunan Indonesia di era Orde Baru (1967 – 1998) juga karena negara kita memanfaatkan minyak bumi sebagai basis pertumbuhan ekonomi. Di masa itu Indonesia adalah negara pengekspor netto minyak bumi.

Sejak 2004, Indonesia telah menjadi importir netto minyak bumi dan impornya melaju cepat dari tahun ke tahun.

"Mengapa Tuhan membuat Indonesia lebih cepat mengalami kekurangan minyak bumi? Jawaban saya adalah supaya bangsa Indonesia beralih fokus ke kekayaan nabati dan memanfaatkan sumber daya bahan bakar terbarukan tersebut sebaik-baiknya," tutur Tatang.

Indonesia dianugerahi kekayaan nabati luar biasa yang memungkinkannya menjadi pusat biohidrokarbon dunia dan negara maju di era perekonomian berbasis nabati (bio-based economy).

"Semoga naluri berinovasi anak-anak bangsa Indonesia memadai untuk mensumberdayakan kekayaan nabati luar biasa tersebut menjadi penggerak pertumbuhan tangguh dan pesat perekonomian negeri kit," lanjut dia. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kurangi Ketergantungan Impor

Pengembangan Bahan Bakar Nabati Energi dimaksudkan mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan untuk menggantikan bahan bakar minyak jenis solar dan bensin. Untuk bahan bakar minyak jenis minyak solar, telah disubstitusi sampai 30% (B30), kata Lies Aisyah Peneliti – PPPTMGB Lemigas Kementerian ESDM.

Kebijakan mandatori biodiesel dan pengembangan biohidrokarbon/green fuels mutlak dilakukan untuk mendorong ketahanan energi nasional, penghematan devisa negara dan pengurangan emisi CO2.

Penyusunan arah kebijakan biohidrokarbon dan perumusan standar dan mutu (spesifikasi) green fuel menjadi prioritas utama.

Produk hasil co-processing RU II Dumai (Co-processing 12,5 persen sawit untuk menghasilkan minyak solar) serta RU III Plaju (Co-processing 7,5 persen dan 15 persen sawit untuk menghasilkan bensin) memiliki karakteristik dan spesifikasi sesuai bahan bakar eksisting dan dapat dikomersialisasikan, ungkapnya.

Sementara itu, Andianto Hidayat, mengatakan bahwa Green Diesel Pertamina atau D100, sejak tahun 2010 mulai menjajaki teknologi pengolahan bahan baku nabati dari Palm Oil (CPO, RBDPO, UCO dan sejenisnya) menjadi bahan bakar berkualitas tinggi. RBDPO 100 persen dengan hydrogen dan katalis khusus menghasilkan produk Green Diesel D100.

Pertamina perlu dukungan dari pemerintah untuk membangun kilang pengolahan atau refinery untuk memproduksi green diesel, imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.