Sukses

Pemerintah Waspadai Neraca Perdagangan RI

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir tetap mengajak masyarakat untuk tetap optimis terhadap ekonomi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mewaspadai neraca perdagangan Indonesia. Pasalnya kinerja ekspor tengah menurun sebagai dampak dari kondisi ekonomi global.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, salah satu komoditas yang tengah menurun ekspornya yaitu minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

‎"Yang perlu diwaspadai neraca perdagangan, kalau defisit transaksi berjalan sudah biasa. Akibat volume perdagangan menurun, ekspor kita menurun meski. Contohnya ekspor CPO, sampai Juli mengalami penurunan, padahal itu sumber (ekspor) utama kita," ujar dia dalam Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Senin (10/9/2018).

Sementara itu, lanjut Iskandar, impor justru naik. Namun demikian, kenaikan impor tersebut merupakan konsekuensi ekonomi yang terus tumbuh.

"Memang betul kalau pertumbuhan ekonomi tinggi akan mendorong impor tinggi. Tapi karena ekonomi global penuh ketidakpastian, ini mempengaruhi ke kita. Ini mengakibatkan nilai tukar kita mengalami tekanan," kata dia.

Meski demikian, Iskandar tetap mengajak masyarakat untuk tetap optimis terhadap ekonomi Indonesia. Dengan demikian, investor akan lebih percaya terhadap ekonomi Indonesia sehingga banyak modal yang masuk ke dalam negeri.

"Ini karena Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga, maka dana balik ke AS. Maka mata uang negara lain juga mengalami pelemahan. Tapi investasi tetap kita dorong dengan memberikan insentif fiskal," tandas dia.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perkuat Devisa, Pemerintah Usul Hapus Aturan Pungutan Ekspor Sawit

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengusulkan kepada pemerintah untuk menghapus pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya. 

Ekonom INDEF, Bhima Yudistira mengatakan, penghapusan ini diusulkan karena memiliki potensi penambahan devisa negara.

"Karena devisa dari ekspor kelapa sawit ini penyumbang devisa paling tinggi. Jadi pungutan USD 50 per ton minyak sawit dan USD 30 per ton untuk produk turunannya itu dihapus saja," kata Bhima di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (8/9/2018).

Di kesempatan yang sama, dalam rangka mengurangi defisit neraca transaksi berjalan dan perdagangan, pemerintah harus konsiten mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM).

Bhima mencatat, saat ini impor BBM menjadi penyumbang kebutuhan dolar Amerika Serikat paling besar. Dengan demikian dengan mampu mengurangi impor diharapkan mampu menekan defisit transaksi berjalan dan perdagangan yang akan membantu penguatan rupiah.

"B20 sudah cukup baik. Ketergantungan minyak harus dikurangi dengan mempercepat konversi gas dan percepat peningkatan penggunaan energi baru terbarukan," Bhima menambahkan.

Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat menjelang akhir pekan ini. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah menguat tujuh poin ke posisi 14.884 per dolar AS pada 7 September 2018 dari periode Kamis 6 September 2018 di kisaran 14.891 per dolar AS.

Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg,rupiah menguat ke posisi 14.820 per dolar AS. Bahkan saat pembukaan, rupiah menguat 25 poin dari 14.893 pada penutupan kemarin ke posisi 14.868 per dolar AS. Rupiah pun bergerak di kisaran 14.820-14.907 per dolar AS sepanjang Jumat pekan ini. (Yas)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini