Sukses

IHSG Tumbang Terimbas Krisis Turki dan Rupiah

Sebanyak 366 saham melemah sehingga menyeret IHSG ke zona merah. 52 saham menguat dan 88 saham diam di tempat.

Liputan6.com, Jakarta Keterpurukan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berlanjut hingga penutupan perdagangan pada hari ini. IHSG terpuruk terimbas krisis Turki dan rupiah yang tertekan.

Pada penutupan perdagangan saham, Senin (13/8/2018), IHSG anjlok 3,55 persen atau 215,9 poin ke posisi 5.861,24. Indeks saham LQ45 juga melemah 4,14 persen ke posisi 923,226. Seluruh indeks saham acuan memerah.

Sebanyak 366 saham melemah sehingga menyeret IHSG ke zona merah. 52 saham menguat dan 88 saham diam di tempat.

Pada penutupan perdagangan saham, IHSG sempat berada di level tertinggi 6.034,56 dan terendah 5.861,24.

Transaksi perdagangan saham cukup ramai. Total frekuensi perdagangan saham 369.821 kali dengan volume perdagangan saham 8,7 miliar saham.

Nilai transaksi harian saham Rp 7,5 triliun. Investor asing jual saham Rp 853,133 miliar di pasar regular. Posisi dolar Amerika Serikat (AS) di posisi Rp 14.611.

Seluruh sektor saham kompak tertekan. Sektor saham pertambangan melemah 4,98 persen, dan catatkan penurunan terbesar. Disusul sektor saham keuangan tergelincir 4,16 persen dan sektor saham industri dasar melemah 4,03 persen.

Saham-saham yang mampu menguat di tengah tekanan IHSG antara lain saham GLOB naik 20,88 persen ke posisi 220 per saham, saham JECL menguat 11,25 persen ke posisi 6.675 per saham, dan saham CTTH mendaki 10,71persen ke posisi 933 per saham.

Sedangkan saham-saham yang tertekan antara lain saham BYAN merosot 16,67 persen ke posisi 16.500 per saham, saham MAYA susut 13,97 persen ke posisi 3.510 per saham, dan saham MTLA melemah 12,20 persen ke posisi 360 per saham.

Analis PT Binaartha Sekuritas, Nafan Aji pada sesi siang menuturkan, pelemahan IHSG dipengaruhi faktor eksternal yaitu krisis keuangan Turki.

Hal itu timbul akibat penerapan kenaikan tarif baja dan aluminium dari Turki serta tidak adanya langkah pencegahan dari otoritas Turki yang sebabkan terjadinya depresiasi lira yang begitu signifikan terhadap dolar Amerika Serikat.

"Keadaan tersebut juga mempengaruhi depresiasi rupiah yang begitu signifikan karena sempat senth level 14.699 per dolar AS. Di sisi lain, adapun sentimen positif dari dalam negeri masih minim,” ujar Nafan saat dihubungi Liputan6.com.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bursa Asia Melemah Imbas Krisis Turki

Bursa saham Asia tergelincir pada perdagangan saham awal pekan ini. Bahkan euro capai posisi terendah dalam satu tahun.

Hal itu lantaran mata uang Turki lira melemah berimbas ke mata uang Afrika Selatan rand dan mendorong permintaan aset investasi yang aman antara lain dolar Amerika Serikat, frans Swiss dan yen Jepang.

Krisis Turki pun menyeret indeks saham MSCI Asia Pasifik di luar Jepang turun 1,3 persen ke posisi terendah dalam lima minggu. Indeks saham Jepang Nikkei melemah 1,6 persen dan indeks saham acuan lainnya di bursa Asia tertekan.

Indeks saham S&P 500 futures melemah 0,4 persen. Imbal hasil surat berharga Amerika Serikat (AS) bertenor 10 tahun turun ke posisi 2,85 persen.

Indeks saham unggulan di China pun merosot 1,4 persen. Indeks saham Hong Kong Hang Seng tergelincir 1,6 persen seiring dolar Hong Kong juga tertekan.

Euro pun melemah, diikuti lira Turkis berada di posisi terendah di kisaran 7,2400. Lira sedikit dapat dukungan saat Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak mengatakan sedang susun rencana aksi untuk meredakan kekhawatiran investor. Pengawas perbankan pun batasi transaksi swap.

Mata uang Lira jatuh pada kekhawatiran atas Presiden Turki Tayyip Erdogan yang meningkatkan kontrol ekonomi dan memburuknya hubungan dengan Amerika Serikat (AS).

"Lira yang tertekan yang dimulai pada Mei sekarang terlihat pasti mendorong ekonomi Turki ke dalam resesi dan mungkin memicu krisis perbankan,” ujar Ekonom Capital Economics, Andrew Kenningham.

Ia menambahkan, hal tersebut akan menjadi pukulan bagi aset emerging market atau negara berkembang.

Kenningham mencat, produk domestik bruto (PDB) tahunan Turki sekitar USD 900 miliar atau hanya satu persen dari ekonomi global dan sedikit lebih kecil dari Belanda.

"Pasar saham Turki kurang dari dua persen dari ukuran pasar Inggris. Hanya 20 persen dipegang non-residen. Meski demikian, masalah Turki adalah angin lebih lanjut untuk euro dan bukan kabar baik untuk aset negara berkembang,” ujar dia.

Terhadap dolar Amerika Serikat, euro sentuh posisi titik terendah sejak Juli 2017 di posisi USD 1,13700. Dolar Amerika Serikat (AS) melemah terhadap yen ke posisi 110,21. Akan tetapi, sedikit menguat terhadap sejumlah mata uang ke posisi 96,43.

Peso Argentina dan rand Afrika Selatan juga melemah terhadap dolar AS. “Risiko penularan terjadi di bank-bank Spanyol, Italia dan Prancis yang terkena utang mata uang asing Turki, Argentina, dan Afrika Selatan,” tulis analis ANZ.

Di pasar komoditas, harga emas berada di posisi USD 1.208,21 per ounce. Sedangkan harga minyak Brent susut 14 sen menjadi USD 72,67 per barel. Sementara itu, minyak mentah AS naik dua sen menjadi USD 67,65.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Saham adalah hak yang dimiliki orang (pemegang saham) terhadap perusahaan berkat penyerahan bagian modal sehingga dianggap berbagai dalam pe

    Saham

  • IHSG