Sukses

Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS, Daya Beli Masyarakat Bakal Tergerus

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah tajam ke posisi 14.600.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah tajam. Bahkan rupiah saat ini berada di level 14.614 per dolar AS.

Pengamat Ekonomi ‎Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, ‎anjloknya rupiah akan berdampak pada inflasi akan naik dikontribusikan dari bahan pangan dan BBM nonsubsidi karena pengaruh biaya impor yang bengkak. 

"Ini bisa gerus daya beli masyarakat," ujar dia di Jakarta, Senin (13/8/2018).

Kemudian, pelemahan ini juga menimbulkan potensi gagal bayar utang luar negeri swasta. Terlebih masih ada pihak swasta yang belum melakukan lindung nilai (hedging) terhadap utang luar negerinya.

"Saat ini, tidak semua utang swasta di-hedging maka sangat sensitif ke selisih kurs," kata dia.

Dampak lagi dari depresiasi nilai tukar rupiah ini yaitu terhadap industri manufaktur. Hal itu akan membuat industri menahan ekspansinya naiknya biaya bahan baku dan barang modal yang masih diimpor.

"Ongkos logistik juga semakin mahal karena 90 persen kapal untuk ekspor impor pakai kapal asing yang hanya terima valas," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Krisis Turki Seret Rupiah ke Posisi 14.600 per Dolar AS

Sebelumnya, nilai tukar rupiah kembali merosot tajam hingga level 14.600 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin pekan ini. Tekanan terhadap rupiah disebut sebagai imbas dari krisis keuangan yang dialami oleh Turki.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebutkan ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi kondisi rupiah. Namun untuk kali ini yang mengambil andil cukup besar dalam pelemahan mata uang Garuda tersebut adalah krisis yang sedang terjadi di Turki.

"Kita setiap hari ini selalu ada berbagai faktor bisa saling mempengaruhi. Jadi pada minggu terakhir ini faktor yang berasal dari Turki," kata Sri Mulyani saat ditemui di JS Luwansa, Jakarta, Senin 13 Agustus 2018.

Dia mengungkapkan, dampak dari krisis Turki terjadi secara global. Hal itu disebabkan masalah krisis tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi melainkan pada sektor lainnya.

"Menjadi muncul secara global, karena tidak dari sisi magnitude-nya yang terjadi dinamika di Turki, tapi juga karena nature atau karakter persoalannya yang sebetulnya ada persoalan serius, mulai masalah currency-nya juga pengaruh terhadap ekonomi domestik, dan terutama juga dimensi politik dan security di sana," ujar dia.

Kendati demikian, Sri Mulyani menegaskan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2018. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia capai 5,2 persen pada kuartal II 2018. 

"Pertumbuhan ekonomi kita di kuartal II cukup kuat, dan itu dorong oleh konsumsi, kita tetap mengatakan investasi dan ekspor perlu di pacu, sedangkan current account defisit (CAD) mengalami peningkatan jadi 3 persen, ini masih lebih rendah jika dibandingkan situasi pada tappertantrum 2015 yang bisa di atas 4 persen,” tutur dia.

Akan tetapi, Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan selalu  mengedepankan aspek kehati-hatian menghadapi situasi ekonomi global.

"Kita perlu tetap hati-hati karena lingkungan yang kita hadapi sangat berbeda dengan 2015. Pada 2015 waktu itu quantitative easing masih terjadi dan kenaikan suku bunga belum dilakukan baru diungkapkan," ujar dia.

"Kalau sekarang suku bunga sudah naik secara global dan quantitative easing sudah mulai dikurangi, dan inilah yang menyebabkan tekanan lebih kuat terhadap berbagai mata uang di dunia,” tambah dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.