Sukses

Cara AS dan Eropa Hadang Produk Sawit RI

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia merasa eksistensi produk turunan dari kelapa sawit RI menjadi ancaman bagi Amerika Serikat dan Eropa.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia merasa eksistensi produk turunan dari kelapa sawit RI menjadi ancaman bagi Amerika Serikat dan Eropa.

Hal itu dibuktikan dengan adanya intervensi yang dilakukan dua kawasan itu terkait kebijakan kelapa sawit di Indonesia, karena dianggap mengganggu pengelolaan perkebunan nabati seperti kedelai dan minyak bunga matahari milik negara-negara di kawasan tersebut.

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gus Dalhari Harahap mengungkapkan dua kawasan tersebut berencana menerapkan Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) dan High Conservation Value (HCV). Padahal Indonesia telah menerapkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang wajib ke seluruh perusahaan kelapa sawit di Tanah Air.

"Kelapa sawit di Indonesia areal lahannya kecil namun produktivitasnya tinggi, sedangkan minyak nabati lainnya itu di Eropa dan Amerika, lahannya luas tapi produktivitas rendah, bahkan sering rugi," ujar Gus Dalhari Harahap dalam keterangannya, Rabu (9/11/2016).

Negara-negara di Eropa dan Amerika itu, ucap Dalhari, ingin harga produksi minyak kedelai maupun bunga mataharinya tetap mahal di level perdagangan global. Selain itu juga terjadi keseimbangan harga antara minyak kelapa sawit dengan kedelai dan bunga matahari.

Pendapat lain dikemukakan Dalhari, kampanye negatif juga dilakukan negara-negara kawasan Eropa dan Amerika untuk menggusur bisnis kelapa sawit Indonesia di level global.

"Ada saja yang mereka gulirkan isunya, soal lingkungan hidup, kebakaran hutan, efek rumah kaca, tidak berkelanjutan dan lainnya, padahal selama ini petani kelapa sawit Indonesia tidak mengganggu alam. Perkebunan kelapa sawit amat memperhatikan keberlanjutan lingkungan," ujar Dalhari.

Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) merilis, ekspor kelapa sawit Indonesia pada Januari hingga Agustus 2016 mampu menembus ke 26 negara dengan jumlah mencapai 28 juta ton. Kondisi tersebut mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun 2015, yaitu 13 negara saja. (Yas)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini