Sukses

Mau Industri Maju, RI Harus Bangun 2.000 Pabrik per Tahun

Industri manufaktur nasional terperosok selama 10 tahun terakhir lantaran terlena pada ekspor komoditas atau bahan mentah

Liputan6.com, Jakarta - Industri manufaktur nasional terperosok selama 10 tahun terakhir lantaran terlena pada ekspor komoditas atau bahan mentah. Untuk kembali meningkatkan peranan industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia harus membangun lebih dari 2.000 pabrik.

Menteri Perindustrian era Orde Baru, Hartarto Sastrosoenarto usai diskusi yang diselenggarakan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), menyarankan agar pemerintah saat ini mengejar ketertinggalan dengan membangun industri manufaktur dan industri hilirisasi untuk mengolah sumber daya alam yang berlimpah.

"Pemerintah sekarang harus bisa membangun lebih dari 2.000 pabrik setiap tahun. Kalau tidak, resources kita mau diapain, kan harus diolah baru diekspor. Negara ini besar lho," ujarnya saat ditemui di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (6/4/2016).

 

Hartarto mengatakan, pemerintahan saat ini harus kembali mengulang kesuksesan industri manufaktur saat Orde Baru. Ketika itu, Kementerian Perindustrian di bawah kepemimpinannya telah membangun 2.000 pabrik per tahun.

"Walhasil, peranan industri manufaktur terhadap PDB kala itu naik pesat dari 11 persen menjadi 22,4 persen. Tapi sekarang malah turun," ucapnya.

Sementara itu, Anggota KEIN Hariyadi Sukamdani mengatakan, industri manufaktur di Indonesia selama satu dekade mengalami gangguan besar, seperti masalah perburuhan dan infrastruktur. Bekasi dan Karawang, sambungnya, merupakan dua daerah yang memiliki intensitas industri sangat tinggi.

"Tapi infrastruktur tidak selesai, Pelabuhan Cilamaya yang menjadi harapan pengusaha untuk mengangkut barang dengan cepat justru dibatalkan dibangun disitu, malah tidak jelas. Ini kan namanya tidak mendukung industri," tegas Hariyadi.

Anggota KEIN itu juga menambahkan, pengusaha kerap kesulitan memperoleh bahan baku sehingga menghambat industri nasional maju. Permasalahan klasik tersebut, diakui Hariyadi tidak pernah selesai dan ini akan mengganjal perkembangan industri manufaktur di Tanah Air.

"Yang paling hancur-hancuran industri padat karya. 10 tahun lalu ekspor tekstil kita US$ 7 miliar, sedangkan Vietnam US$ 2 miliar. Tapi sekarang Vietnam sudah US$ 28,5 miliar. Kita masih bergantung ekspor CPO yang cuma US$ 21 miliar. Jadi kalau permasalahan tidak selesai, sampai kapanpun industri kita akan seperti ini terus," papar Hariyadi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini