Waspada Dampak AI ke Lapangan Kerja, Begini Ramalannya

Studi baru yang dilakukan oleh Masschusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa dampak teknologi Kecerdasan Buatan (AI) terhadap pasar tenaga kerja kemungkinan besar akan lebih lambat dibandingkan yang dikhawatirkan sebelumnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 24 Jan 2024, 07:00 WIB
Ilustrasi AI. (Foto: Unsplash/Mohamed Nohassi)

Liputan6.com, Jakarta Studi baru yang dilakukan oleh Masschusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa dampak teknologi Kecerdasan Buatan (AI) terhadap pasar tenaga kerja kemungkinan besar akan lebih lambat dibandingkan yang dikhawatirkan sebelumnya.

Hal ini memberikan implikasi yang penuh harapan bagi para pengambil kebijakan yang saat ini sedang mencari cara untuk mengimbangi dampak terburuk pasar tenaga kerja, yang terkait dengan peningkatan Kecerdasan Buatan baru-baru ini.

Dikutip dari CNN Business, Rabu (24/1/2024) para peneliti MIT menemukan bahwa sebagian besar pekerjaan yang sebelumnya diidentifikasi rentan terhadap AI tidak memiliki urgensi secara ekonomi bagi perusahaan untuk diotomatisasi saat ini.

Salah satu temuan penting, misalnya, adalah hanya sekitar 23 persen dari gaji yang dibayarkan kepada manusia untuk pekerjaan yang berpotensi diganti dengan AI akan lebih hemat biaya jika pengusaha menggantinya dengan mesin saat ini.

Meskipun hal ini dapat berubah seiring waktu, temuan keseluruhan menunjukkan bahwa gangguan pekerjaan akibat AI kemungkinan akan terjadi secara bertahap.

"Dalam banyak kasus, manusia merupakan cara yang lebih hemat biaya, dan cara yang lebih menarik secara ekonomi, untuk melakukan pekerjaan saat ini," ungkap Neil Thompson, salah satu penulis studi dan direktur proyek penelitian teknologi masa depan di Computer Science and Technology MIT.

"Apa yang kami lihat adalah meskipun terdapat potensi besar bagi AI untuk menggantikan tugas-tugas, hal ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat," tambah Thompson.

Dia juga menyoroti kekhawatiran mengenai potensi robot yang mengambil pekerjaan, namun"Sangat penting untuk memikirkan faktor ekonomi dari penerapan sistem ini'.

 

2 dari 4 halaman

metode Studi

Ilustrasi AI sebagai gambaran otak manusia. (Foto: Unsplash/Steve Johnson)

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada Senin (22/1) para peneliti di Lab Ilmu Komputer dan Kecerdasan Buatan MIT berusaha untuk mengukur pertanyaan apakah AI tidak hanya akan mengotomatiskan pekerjaan manusia, tetapi juga kapan hal ini bisa terjadi.

Dalam studi tersebut, Thompson dan timnya menganalisis sebagian besar pekerjaan yang sebelumnya diidentifikasi “terkena” AI, atau berisiko hilang karena AI, terutama di bidang visi komputer.

Para peneliti kemudian melihat upah yang dibayarkan kepada pekerja yang saat ini melakukan pekerjaan tersebut, dan menghitung berapa biaya yang mungkin dikeluarkan untuk menggunakan alat otomatis.

3 dari 4 halaman

Peneliti di MIT: Memperkerjakan Manusia di Sektor Ritel Lebih Untung Secara Ekonomi

Ilustrasi tools AI yang bisa digunakan untuk memudahkan proses pembuatan konten. (unsplash/Steve Johnson)

Salah satu contoh adalah pekerja ritel, yang saat ini mungkin bertanggung jawab untuk memeriksa inventaris secara visual atau memastikan bahwa harga yang tercantum di seluruh toko untuk suatu barang tertentu akurat.

Sebuah mesin yang dilatih dalam visi komputer secara teknis memang dapat melakukan pekerjaan ini, tetapi Thompson mengingatkan, lebih masuk akal secara ekonomi jika pemberi kerja membayar pekerja manusia untuk melakukannya.

"Ada alasan mengapa AI belum ada di mana-mana. Ada alasan ekonomi di balik hal itu," imbuhnya.

"Dan menurut saya ini seharusnya mengingatkan kita pada hal-hal yang telah kita lihat pada teknologi lain," tambahnya.

4 dari 4 halaman

Peringatan dari IMF

Ilustrasi kerjasama manusia dengan mesin kecerdasan buatan (AI). (Sumber Pixabay)

Pekan lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa hampir 40 persen pekerjaan di seluruh dunia dapat terkena dampak peningkatan AI dan tren ini kemungkinan akan memperdalam kesenjangan yang ada.

Dalam sebuah postingan blog pekan lalu yang memperingatkan proyeksi terbaru mereka, Ketua IMF Kristalina Georgieva menyerukan agar pemerintah berupaya membangun jaring pengaman sosial atau program pelatihan ulang untuk meredam dampak gangguan AI.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya