Bola Ganjil: Keruntuhan Para Juara Domestik, Tidak Kesulitan Kuasai Divisi II

Seperti aspek lain dalam kehidupan, roda juga berputar di sepak bola. Klub tidak akan selalu meraih prestasi. Ada kalanya mereka berada di titik terendah. Beberapa bahkan merasakannya dalam jangka waktu singkat.

oleh Harley Ikhsan diperbarui 05 Jan 2023, 00:30 WIB
BOLA GANJIL (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Seperti aspek lain dalam kehidupan, roda juga berputar di sepak bola. Klub tidak akan selalu meraih prestasi. Ada kalanya mereka berada di titik terendah. Beberapa bahkan merasakannya dalam jangka waktu singkat.

FC Twente contohnya. Usai merasakan ekstasi karena menjuarai Eredivisie pada 2009/2010, mereka mengalami kemunduran pada beberapa tahun setelahnya. Vonis degradasi pun diterima musim 2017/2018.

Namun, pada dasarnya memiliki sumber daya berlimpah, The Tukkers tanpa kesulitan merajai Eerste Divisie 2018/2019 sehingga langsung naik ke kasta tertinggi.

Durasi sembilan tahun itu tergolong cepat. Namun, ada nama-nama tenar lain yang mengalami keruntuhan dan kebangkitan kilat.

Manchester United merasakannya dalam delapan tahun. Setan Merah juara Divisi I 1966/1967 sebelum menguasai Divisi II 1974/1975.

Atletico Madrid (1995/1996; 2001/2002) mencicipi pengalaman serupa dalam enam tahun, dengan Liverpool (1900/1901; 1904/1905) dan AC Milan (1978/1979; 1982/1983) mengalaminya selang waktu empat tahun.

 

2 dari 3 halaman

Akibat Juara Kontinental

bola ganjil (Liputan6.com/Abdillah)

Entente Sportive Setifienne merupakan kasus unik pada fenomena ini. Mereka menjadi juara Aljazair pada 1986/1987.

Sukses tersebut berbuah partisipasi di Liga Champions Afrika. Fokus El Kahla pun tertuju ke sana.

Kebijakan tersebut tidak salah. ES Setifienne menjadi juara kontinental untuk kali pertama sepanjang sejarah klub. Mereka unggul agregat 4-1 atas wakil Nigeria Iwuanyanwu Nationale di final.

Namun, prestasi tersebut berakibat fatal pada kinerja di liga domestik. Mereka hanya menempati peringkat 14 pada klasemen akhir.

Biasanya, posisi tersebut masih aman dari jeratan degradasi. Namun, Aljazair kebetulan tengah memangkas partisipan kasta tertinggi dari 18 menjadi 16 tim.

Klub yang tergusur pada musim tersebut pun bertambah, dari semula dua menjadi lima. ES Setifienne pun tertimpa sial karena berada di urutan terakhir yang turun derajat.

Pada akhirnya ES Setifienne terlalu tangguh untuk Divisi II Aljazair. Mereka menguasai kompetisi 1988/1989 untuk kembali ke level tertinggi.

 

3 dari 3 halaman

Cuma 2 Tahun

Ilustrasi sepak bola (Abdillah/Liputan6.com)

ES Setifienne bukan satu-satunya juara domestik yang harus turun kasta untuk kemudian menguasai Divisi II dalam jangka dua tahun.

Universidad Catolica (Chile), B71 (Kepulauan Faroe), dan FC Haka (Finlandia) juga menorehkan capaian serupa.

Infografis 5 Cara Cegah Covid-19 Saat Berolahraga di Gym. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya