Jadi Klaster Baru Covid-19, 29 Perusahaan di Jakarta Terpaksa Tutup

Sebanyak 29 perusahaan di Jakarta terpaksa ditutup terpaksa karena menjadi klaster baru persebaran covid-19.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 06 Agu 2020, 12:50 WIB
Pegawai pulang kerja berjalan di trotoar Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Pemerintah memberi kelonggaran bergerak bagi warga berusia di bawah 45 tahun untuk mengurangi angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi virus corona COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 29 perusahaan di Jakarta terpaksa ditutup terpaksa karena menjadi klaster baru persebaran covid-19. Hal ini disampaikan Ketua Kadin DKI Jakarta, Diana Dewi dalam Webinar Keterbukaan Informasi publik 2020: UMKM Melejit, Ekonomi Bangkit, Kamis (6/8/2020).

“Ada 29 perusahaan yang tutup di Jakarta karena sebagai klaster baru,” kata dia,

Sebelumnya, Diana membeberkan tantangan yang dihadapi dunia usaha di tengah pandemi. Ia mengaku fase paling berat dunia usaha yakni ketika diberlakukannya PSBB. Dimana transaksi yang terjadi mulai turun drastis, baik cash flow perusahaan maupun distribusi produk.

“Merujuk pada peraturan Menkes, kita harus mau tidak mau melaksanakan PSBB, dan ini dalam rangka penanganan covid dan bisa cepat keluar. Kita ketahui ada penurunan omzet UMK, dari hasil survei LIPI, selama pandemi 94 persen mengalami penurunan penjualan, lebih dari 75 persen dialami usaha rumahan,” kata Diana.

Situasi seperti ini memang sulit. Dimana untuk menjamin kelangsungan operasional perusahaan dan pekerja, perusahan harus tetap beroperasi. Namun di saat yang sama, operasional ini rentan terancam paparan covid-19.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Stimulus

Sejumlah orang berjalan di trotoar pada saat jam pulang kantor di Kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pemerintah sebelumnya telah menggunakan stimulus untuk sektor usaha. Namun dalam pelaksanaannya tak mulus.

“Kami masih dapat laporan mereka belum mendapatkan subsidi itu, akses agak sulit, terutama memang pelaku ekonomi yang kemarin tidak dapat akses perbankan, ini yang menjadi PR dari kami,” kata Diana.

“Kami berharap ada penyederhanaan agar para pelapukan dan pekerja dapat menjaga daya konsumsi,” sambung dia.

Kedepannya, Diana berharap pendistribusian anggaran agar transparan dan tepat sasaran. Hal ini supaya aktivitas ekonomi riil tetap terjaga.

3 dari 4 halaman

Ombudsman: Ganjil Genap Bisa Timbulkan Klaster Baru Covid-19 Transportasi Umum

Pegawai pulang kerja berjalan di trotoar Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Pemerintah memberi kelonggaran bergerak bagi warga berusia di bawah 45 tahun untuk mengurangi angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi virus corona COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho menilai Pemprov DKI terburu-buru menerapkan aturan ganjil genap di tengah lonjakan kasus Covid-19.

"Ganjil genap di tengah kenaikan angka Covid-19 di Jakarta merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan tidak memiliki perspektif yang utuh tentang kebencanaan," kata Teguh dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).

Dia khawatir penerapan sistem ganjil genap justru akan memunculkan klaster baru Covid-19 yakni klaster transportasi umum, lantaran orang kantor tidak bisa menggunakan kendaraan pribadi.

"Kebijakan Dishub DKI yang memberlakukan ganjil genap jelas mendorong munculnya cluster transmisi Covid-19 ke transportasi publik," ucapnya. 

4 dari 4 halaman

Batasi Mobilitas Warga

Warga bersepeda setelah jam kerja di jalur khusus sepeda kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (14/7/2020). Jam operasional dari Senin sampai Jumat pagi harinya jam 06.00 – 08.00 WIB, kemudian untuk sore dari jam 16.00 – 18.00 WIB. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Teguh menyarankan, apabila Pemprov DKI ingin membatasi mobilitas warga, maka harus ada pembatasan waktu kerja di perkantoran di Ibu Kota.

"Yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta. Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta yang bekerja di Jakarta," ujarnya.

Ia juga mengingatkan agar Pemprov DKI tegas mengawasi aktivitas perkantoran yang melanggar protokol kesehatan Covid-19. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya