Hadapi 2 Peristiwa Besar, Masyarakat RI Harus Ubah Pola Pikir

Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa kelas satu dengan bergabung dalam TPP.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Nov 2015, 13:41 WIB
Ratusan peti kemas di area JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (22/10/2015). Mendag Thomas T. Lembong memproyeksikan, kinerja ekspor hingga akhir tahun akan turun 14% dan impor turun 17% secara year on year. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dihadapkan pada dua peristiwa bersejarah yang menuntut perubahan pola pikir masyarakat. Pertama adalah Trans Pacific Partnership (TPP) dan kedua, dikukuhkannya mata uang renminbi atau Yuan sebagai mata uang Internasional oleh International Moneter Fund (IMF).

Demikian diungkapkan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Lembong usai menghadiri Forum Indonesia Economic Forum di Hotel Shangrila Jakarta, Rabu (25/11/2015). "TPP dan Renminbi adalah dua peristiwa yang sangat dahsyat. Kita perlu mengubah pola pikir dan memanfaatkan momentum perkembangan bersejarah ini," tegasnya.

Menurut Lembong, TPP atau Kemitraan Trans-Pasifik mengubah secara total peta perdagangan dan peta geopolitis dunia. Hanya saja untuk memasuki babak tersebut, pemerintah Indonesia lebih dulu menggelar perjanjian perdagangan (trade agreement) dengan Uni Eropa.

Sedangkan peristiwa kedua, lanjutnya, mengenai pengumuman Renminbi atau Yuan China sebagai mata uang dunia ke-5, selain Dolar Amerika Serikat, Yen Jepang, Euro dan Poundsterling. Pengukuhan ini akan dilakukan oleh lembaga internasional, IMF pada 30 November 2015.

"Presiden mengimbau seluruh menteri benar-benar menanggapi secara serius peristiwa bersejarah ini. Karena tidak bisa terus menerus dengan business as usual saja," papar Lembong.


Sebelumnya, Lembong juga pernah mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa kelas satu dengan bergabung dalam Trans Pacific Partnership (TPP). Menurut dia, Masuknya Indonesia ke TPP sekaligus untuk menjaga daya saing produk Indonesia dan akses pasar ke negara-negara anggota TPP.

"Bergabung dengan TPP merupakan pilihan yang harus diambil Indonesia agar Indonesia dapat menjadi negara ‘first class’ atau tangguh. Kebijakan ini diambil karena negara-negara pesaing Indonesia, akan memiliki keunggulan akses pasar dibandingkan Indonesia ketika TPP masuk ke tahap implementasi," ujarnya.

Pernyataan Thomas ini pun mendapat sambutan baik Malaysia, Australia, dan Singapura yang merupakan negara-negara anggota TPP.

Rampungnya TPP memberikan tekanan bagi Regional Comprehensive Economic Partnership RCEP untuk segera menyelesaikan modalitas perundingannya. Perundingan RCEP yang seharusnya selesai pada akhir 2015 akhirnya diperpanjang sampai 2016.

Thomas menyatakan bahwa China, sebagai negara dengan perekonomian terbesar dalam RCEP, harus menunjukkan kepemimpinannya dan mengarahkan perundingan menjadi lebih ambisius.

China sebagai produsen terbesar di dunia dan mitra dagang utama bagi lebih dari 120 negara memberikan tekanan bagi negara mitra dagangnya, terutama terkait trade balance dan nilai mata uang.

"Di Indonesia, nilai impor dari China yang begitu besar menimbulkan sentimen negatif kepada perundingan perdagangan dengan negara tersebut," tandasnya. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya