Sukses

Pendiri WhatsApp Hengkang Gara-Gara Skandal Facebook

Alasan Jan Koum lengser tak lain karena sudah jengah dengan skandal penyalahgunaan puluhan juta data pengguna yang menimpa Facebook belum lama ini

Liputan6.com, Jakarta - Pendiri sekaligus CEO WhatsApp, Jan Koum, secara mengejutkan mengumumkan pengunduran dirinya. Apa alasan ia hengkang dari layanan pesan instan yang ia dirikan ini?

Menurut yang dilansir Gizmodo pada Selasa (1/5/2018), alasan Koum lengser tak lain karena sudah jengah dengan skandal penyalahgunaan puluhan juta data pengguna yang menimpa Facebook belum lama ini.

Koum mengaku menentang strategi Facebook dan upaya perusahaan memanfaatkan data pribadi pengguna WhatsApp, dan bahkan melemahkan keamanannya.

"Kira-kira, sudah hampir satu dekade sejak saya dan Brian Acton memulai WhatsApp. Saya pikir inilah (akhirnya), ini adalah perjalanan seru dan mengagumkan dengan orang-orang terbaik," tulis Koum di Facebook-nya. Brian Acton sendiri adalah rekan Koum, yang juga merupakan salah satu pendiri WhatsApp.

"Saatnya pergi, ini waktu saya untuk move on," lanjutnya. Sayang, Koum tak mengungkap kapan ia akan meninggalkan WhatsApp.

CEO sekaligus pendiri Facebook, Mark Zucerberg, juga menanggapi pengumuman hengkang Koum. Ia pun berkomentar di posting Koum dan mengucapkan terima kasih. "Yang pasti, saya akan merindukan kerja bersamamu," tulis Zuck, begitu karib disapa.

Sekadar kilas balik, Acton dan rekannya, Jan Koum, menjual WhatsApp kepada Facebook pada 2014 senilai US$ 22 miliar (setara dengan Rp 302 triliun).

Dalam kesepakatan aksi korporasi besar ini, Acton mengantongi US$ 3 miliar (Rp 41 triliun) dan kemudian memiliki nilai kekayaan bersih sebanyak US$ 5,5 miliar (Rp 75 triliun), demikian dikutip Forbes.

Saat diakuisisi, Acton masih tetap ada di WhatsApp selama hampir tiga tahun, sampai akhirnya ia keluar dari Facebook pada September 2017.

Setelah resign, ia menciptakan aplikasi pesan instan terenkripsi bernama Signal. Dan pada Februari lalu, Acton mendiirkan yayasan nonprofit Signal Foundation sebagai Executive Chairman dan berinvestasi sebanyak US$ 50 juta (Rp 680 miliar).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Serukan Hapus Facebook

Kasus kebocoran puluhan juta data pengguna Facebook memberikan dampak yang sangat berisiko bagi perusahaan. Pasalnya, banyak pihak menggaungkan tagar #deletefacebook karena khawatir bisa jadi data pribadi mereka yang jadi korban berikutnya.

Karena hal itu, saham Facebook pun anjlok 6,77 persen setelah informasi kebocoran tersebut beredar. Bahkan, nilai valuasi perusahaan pun turun hingga US$ 36 miliar (setara dengan Rp 495 triliun) seiring dengan kekhawatiran investor atas kasus kebocoran data yang menimpa Facebook.

Tak sampai di situ, seruan #deletefacebook juga dilontarkan oleh pendiri WhatsApp, Brian Acton. Ini jelas mengejutkan, mengingat WhatsApp adalah layanan pesan instan yang dimiliki Facebook.

Dilansir Market Watch, Rabu (21/3/2018), Acton menyampaikan pernyataan tersebut dalam Twitter-nya @brianacton. "Inilah waktunya, #deletefacebook," kicau pria tersebut.

Hingga berita ini naik, Acton tidak mengungkap alasan mengapa ia sampai mentwit pernyataan yang menghebohkan itu.

Laporan Market Watch, akun Facebook Acton masih aktif setelah beberapa jam cuitan itu ditayangkan, hingga akhirnya dinonaktifkan pada Selasa malam waktu Amerika Serikat.

3 dari 3 halaman

Parlemen Inggris Nilai Facebook Tidak Punya Moralitas

Anggota Parlemen Inggris mencecar Chief Technology Officer Facebook, Mike Schroepfer, saat memberikan keterangan soal skandal penyalahgunaan data pengguna.

Ia dicecar dengan berbagai pertanyaan, termasuk memberikan penilaian terhadap Facebook sebagai perusahaan yang tidak punya moralitas.

Anggota parlemen dari Partai Konservatif, Julian Knight, mengatakan kepada Schroepfer bahwa reaksi Facebook terkait skandal Cambrige Analytica, memperlihatkan pola perilaku, termasuk mengintimidasi jurnalis, mengancam institusi akademis dan berpotensi menghambat investigasi oleh otoritas hukum.

Julian juga menilai Facebook berusaha menghindari tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan masalah tersebut terhadap masyarakat.

"Saya menyampaikan kepada Anda hari ini, bahwa Facebook adalah zona tanpa moralitas yang merusak hak dasar privasi. Kalian bukan pihak tidak bersalah, yang disalahkan oleh orang-orang seperti Cambridge Analytica. Kalian adalah masalah. Perusahaan kalian adalah masalahnya," ungkap Julian, seperti dikutip dari The Guardian, Senin (30/4/2018).

Schroepfer dalam tanggapannya, menyatakan tidak setuju dengan penilaian itu. "Anda ingin kami bertanggung jawab, yang telah kami lakukan dalam beberapa kesempatan," tuturnya.

Ia juga menyampaikan permintaan maaf karena mengancam Guardian Media Group dengan tindakan hukum, sebelum artikel tentang penyalahgunaan data Facebook muncul di Observer pada bulan lalu.

Observer dalam laporannya, menuliskan bagaimana Cambridge Analytica membayar seorang peneliti untuk memanen jutaan data para pemilih Amerika Serikat (AS) di Facebook menggunakan aplikasi kuis.

Schroepfer mengatakan kepada anggota parlemen bahwa Facebook sepenuhnya meyakini jurnalis harus memiliki kebebasan untuk menginvestigasi semua masalah.

Namun, berdasarkan pemahamannya, 'mengirim' ancaman hukum sebelum berita dipublikasikan adalah praktik umum di Inggris untuk memastikan fakta yang disampaikan benar.

"Itu tidak benar. Saya akan mempertanyakan ini lagi, apakah Anda akan meminta maaf atas perilaku intimidasi ini," kata Julian menanggapi pernyataan Schroepfer.

"Saya minta maaf karena para jurnalis merasa kami berusaha mencegah kebenaran disampaikan. Saya minta maaf," ungkap Schroepfer.

(Jek/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.