Sukses

Mencari Solusi Praktik Kepemimpinan di Indonesia lewat Psikologi Kepemimpinan

Prof. Corina merekomendasikan psikologi kepemimpinan sebagai salah satu sarana bagi pemimpin untuk melihat asumsi dasar tentang kehidupan. Ada lima asumsi dasar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam psikologi kepemimpinan.

Liputan6.com, Jakarta Ada banyak masalah dalam praktik kepemimpinan di Indonesia. Masalah-masalah tersebut muncul karena kepemimpinan yang berkembang saat ini masih berorientasi pada leader centric yang menganggap pemimpin adalah segalanya dan mengesampingkan karyawannya.

Menurut Sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Indonesia (UI) Corina D.S. Riantoputra yang juga seorang psikolog, persoalan kepemimpinan meliputi passive leader (pemimpin pasif yang menerima gaji, namun enggan mengarahkan karyawannya), self-serving leaders (pemimpin yang fokus hanya pada dirinya sendiri), destructive leaders (pemimpin yang kasar dan merendahkan anggotanya), dan hubris leaders (pemimpin yang terlalu percaya diri dan mengambil keputusan yang membahayakan organisasinya).

"Kabar baiknya, saat ini paradigma tersebut telah bergeser menjadi leader-member centric yang mulai mengakui anggota organisasi juga penting," ujarnya dalam orasi ilmiah berjudul “Psikologi Kepemimpin: Esensi, Posisi, dan Filosofi”, dalam pengukuhannya sebagai guru besar UI di Balai Sidang UI, Kampus Depok, Jawa Barat, Sabtu (16/12/2023).

Oleh sebab itu, Prof. Corina merekomendasikan psikologi kepemimpinan sebagai salah satu sarana bagi pemimpin untuk melihat asumsi dasar tentang kehidupan.

Ada lima asumsi dasar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam psikologi kepemimpinan. Kelima asumsi tersebut adalah asumsi tentang diri (sebagai pemimpin), asumsi tentang kemampuan dan batas kemampuan diri, tujuan pemimpin, asumsi tentang hubungan pemimpin dan anggota organisasi, serta asumsi tentang konteks organisasi, termasuk di dalamnya budaya dan peraturan.

Identitas diri mengarahkan pemimpin untuk bergerak memahami siapa dirinya. Orang yang mendefinisikan dirinya sebagai pemimpin cenderung berinisiatif, mengemukakan pendapat yang berbeda, dan ikhlas mengerjakan tugas. Bagi perempuan pemimpin, sering kali ada konflik identitas antara dia sebagai perempuan dan sebagai leaders.

Prof. Corina menyebut harus ada sinergi antara dua identitas ini. Jika tidak ada sinergi, akan muncul konflik identitas yang dapat membebani.

“Riset saya pada pengusaha UMKM di Indonesia memperlihatkan bahwa semakin banyak konflik, perempuan akan semakin bekerja keras karena rasa bersalahnya. Semakin dia menunjukkan dia mampu, semakin tinggi konfliknya. Hal ini berdampak pada kesehatan mental yang terganggu. Anak-anaknya terganggu, suaminya di rumah pun terganggu,” kata Prof. Corina.

Selain memahami identitas dirinya, pemimpin harus mengetahui kemampuan dan batas kemampuan diri. Hal ini berkaitan erat dengan humility (kerendahan hati). Pemimpin yang rendah hati akan merasa nyaman dengan dirinya dan ingin belajar dari orang lain. Dalam hal ini, pemimpin dapat mengapresiasi kemampuan orang lain dan secara konklusif mampu membuat anggotanya merasa bermakna, aman untuk berbicara, dan tergerak untuk berinisiatif.

Sebelum memutuskan untuk menjadi pemimpin, seseorang perlu paham apa tujuan dan prinsip dasarnya. Tujuan memimpin bukan untuk kebutuhan pribadi, melainkan untuk membangun organisasi. Pemimpin harus menyadari bahwa ia dan anggota adalah satu tim.

“Sudah saatnya kita melupakan bahwa pemimpin memiliki followers, seolah-olah anggota organisasi adalah orang yang tidak mampu berpikir seperti kambing dicocok hidungnya. Anggota organisasi itu bermakna sehingga kita perlu membangun a sense of us atau penghayatan ke-kita-an di dalam organisasi,” tuturnya

Penelitian Prof. Corina mengenai Psikologi Kepemimpinan merupakan satu dari banyaknya penelitian yang dilakukan sebelumnya. Beberapa di antaranya adalah Psychological and Social Factors Important for an Individual’s Participation in Training Indonesia (2023); Employee Accountability in Indonesia: The Role of Formalization, Managerial Monitoring Behavior and Perceived Competence (2022); dan Investigating Work Engagement of Highly Educated Young Employees through Applying the Job Demands-Resources Model (2021).

Sebelum dikukuhkan sebagai; Guru Besar dalam Ilmu Psikologi, Fakultas Psikologi UI, Prof. Corina menamatkan pendidikan Sarjana Psikologi UI pada 1992; mendapat gelar Master of Commerce (in Organizational Study), University of New South Wales–Australia tahun 2000; dan memperoleh gelar Ph.D. (in Organizational Behavior) di University of New South Wales–Australia pada 2010.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini