Sukses

Rendo Bangku, Sulaman Para Perempuan Koto Gadang yang Naikkan Prestise

Penyebutan rendo bangku berasal dari alat kerja yang digunakan, yaitu bangku atau meja kecil yang dijadikan sebagai alas merenda.

Liputan6.com, Padang - Koto Gadang merupakan sebuah nagari kecil di dekat Ngarai Sianok, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Tak hanya asri, Koto Gadang juga terkenal dengan kekayaan budaya dan kualitas sumber daya manusianya.

Salah satu kerajinan khas Koto Gadang adalah kerajinan perak. Mengutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, kerajinan ini juga populer dengan sebutan sulaman dan renda (rendo bangku).

Tak hanya populer di masyarakat setempat, kerajinan ini juga populer hingga ke mancanegara. Kerajinan tangan dengan hasil indah dan halus ini dibuat dengan menggunakan alat tradisional dan tenaga manusia. Kesenian perak umumnya dilakukan oleh para pria, sedangkan sulam dan renda dikerjakan para wanita.

Penyebutan rendo bangku berasal dari alat kerja yang digunakan, yaitu bangku atau meja kecil yang dijadikan sebagai alas merenda. Adapun beberapa alat yang digunakan dalam kerajinan ini, di antaranya bangku, penggulung renda, kelos (penggulung benang), pola motif, jarum pentul, pengait, dan gunting. Untuk bahan utama pembuatan renda adalah benang emas.

Renda merupakan kerajinan yang terbentuk dari jalinan benang yang dibentuk menjadi hiasan pada sisi-sisi selendang. Untuk membuat satu renda diperlukan waktu sekitar empat hari.

Proses pembuatan renda pun dilakukan bertahap, mulai dari membuat pola, menggulung benang, memindahkan, membuat renda, dan memasang renda pada selendang. Renda yang dipasang ke kedua ujung selendang disebut dengan rendo ujung, sementara renda yang dilekatkan di sisi-sisi selendang disebut dengan rendo tapi.

Motif renda juga bermacam-macam bergantung kreativitas para perenda. Namun, umumnya motif renda berupa tumbuh-tumbuhan, seperti bunga matahari, mawar, hingga melati.

Bagi masyarakat Koto Gadang, kerajinan rendo sangat penting karena lekat dengan adat-istiadat. Hasil rendo umumnya dijadikan pelengkap dan hiasan pakaian adat, seperti selendang bagi perempuan dan kain baterawai bagi laki-laki yang baru menikah.

Selain itu, kerajinan ini juga digunakan untuk hiasan tingkuluak yang ditempatkan pada sisi-sisi dan ujungnya. Rendo juga menjadi simbol prestise bagi seseorang.

Bahkan, di masa dulu, setiap anak perempuan yang lahir sudah disiapkan selendang dengan rendo. Sementara itu, di masa sekarang renda tidak lagi terbatas pada pakaian adat saja karena beberapa produk renda sudah digunakan untuk berbagai peralatan rumah tangga, seperti taplak meja, seprai, alas gelas, dan sebagainya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tidak Lepas dari Yayasan

Sementara, munculnya kerajinan rendo bangku tidak lepas dari keberadaan Yayasan Amai Setia yang didirikan oleh Rohana Kuddus. Yayasan ini berdiri sejak 11 Februari 1911.

Awalnya, yayasan ini dimaksudkan sebagai tempat berkumpul para perempuan Koto Gadang sekaligus sebagai wadah mengatasi ketertinggalan pendidikan perempuan. Menurut Rohana Kuddus, ketertinggalan pendidikan ditengarai menjadi salah satu penyebab ketertindasan perempuan pada masa itu.

Yayasan Amai Setia pun didirikan untuk menjembatani akses pada pendidikan. Melalui yayasan ini, para perempuan Koto Gadang mulai belajar membaca, menulis, dan menghitung (calistung).

Mereka juga diajarkan berbagai keterampilan, seperti meyulam dan merenda. Hal tersebut sangat membantu mendorong berkontribusi mereka dalam menopang ekonomi keluarga. Dari sanalah, kesenian rendo bangku lahir dan masih berkembang hingga saat ini di Koto Gadang, Sumatra Barat.

(Resla Aknaita Chak)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.