Sukses

Penyebab Melonjaknya Kasus Kekerasan Anak di Tasikmalaya, Gawai Salah Satunya

Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kekerasan pada anak di kabupaten Tasikmalaya ujar dia, disebabkan salah dalam proses pola asuh terhadap anak, termasuk dampak pandemi yang menyebabkan anak lebih dekat dengan gawai daripada kasih sayang orang tua.

Liputan6.com, Tasikmalaya - Komisi Perlindungan Anak Daerah Kabupaten (KPAID) Tasikmalaya, Jawa Barat mencatat, kasus kekerasan anak di kota Santri Tasikmalaya, semakin mengkhawatirkan setiap tahunnya.

Tahun lalu, lembaga itu mencatat angka kekerasan pada anak mencapai 84 kasus. Dari jumlah itu sekitar 58 persen diantaranya merupakan kasus tindak pidana pencabulan.

“Sisanya berbagai kasus, seperti narkoba, sengketa anak, kekerasan pada anak dan lainnya,” ujar Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya, Ato Rinanto.

Menurutnya, pengungkapan kasus kekerasan kepada anak berasal dari pelaporan masyarakat, hasil investigasi yang dilembagakan KPAID hingga rekomendasi yang dilakukan lembaga terkait. “Bahkan ada pula yang langsung laporan korbannya,” kata dia.

Dari total 84 kasus kekerasan anak yang berhasil diungkap, sebanyak 62 persen diantaranya berhasil mendapatkan putusan tetap di meja pengadilan, sementara sisanya 38 persen masih dalam proses, termasuk mediasi hingga tidak sampai ke di meja pengadilan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Anak

Ato menyatakan, penyelesaian kasus kekerasan pada anak bukanlah perkara mudah, tak ayal dalam penyelesaian kasus pencabulan bisa menghabiskan beberapa bulan proses.

“Di tahun 2022 ini saja sampai hari ini itu sudah ada 16 kasus,” ujar dia.

Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kekerasan pada anak di kabupaten Tasikmalaya ujar dia, disebabkan salah dalam proses pola asuh terhadap anak, termasuk dampak pandemi yang menyebabkan anak lebih dekat dengan gawai daripada kasih sayang orangtua.

“Banyak siswa termasuk anak-anak yang memegang hape tidak diawasi salama 1,5 tahun ini,” kata dia.

Untuk menekan kekhawatiran meningkatnya kasus kekerasan anak, dibutuhkan sinergitas sosial melalui pencegahan dari hulu hingga hilir, sehingga ancaman kekerasan pada anak bisa dihindari sejak dini.

“Tentunya juga dengan diimbangi oleh fasilitas pelaporan mudah cepat terkait kekerasan pada anak ini,” ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.