Sukses

Menyingkap Misteri Batu Keramat di Pendopo Blora

Lokasi misteri itu tepat persis di pintu masuk belakang bangunan Pendopo Blora.

Liputan6.com, Blora - Pendopo Blora menyisakan sejarah yang mendalam. Pada tahun 2019 ini, terhitung sejak dibangun tahun 1891, sudah 128 tahun Pendopo Blora menjadi simbol pemerintah Kabupaten Blora. Di balik kewibawaannya, gedung yang menjadi rumah dinas Bupati Blora ini ternyata menyimpan sebuah misteri.

Lokasi misteri itu tepat persis di pintu masuk belakang bangunan Pendopo Blora. Dari pantauan di lokasi, tempat tersebut tidak ditutup suatu tekel atau keramik.

Usut punya usut, Kasubbag Rumah Tangga Setda Blora Sukardji menceritakan misteri tentang titik tempat batu yang diletakkan oleh Raden Mas (R.M.) Soedjoed Koesoemaningrat atau lebih dikenal dengan sebutan nama Ndoro Sumo.

"Dulu, ketika batu yang tampak ini dipahat oleh para pekerja itu tidak bisa, karena setiap dilakukan keluar percikan api," ungkapnya kepada Liputan6.com.

Sukardji mengatakan, selaku pihak yang sudah lama bertugas di Pendopo Blora, dirinya mengetahui banyak pekerja  yang memahat batu tersebut sakit kemudian meninggal.

"Banyak, dulunya pekerja yang melakukan itu sakit kemudian meninggal," ceritanya.

Sukardji tidak menyebutkan siapa saja yang pernah berusaha menutup dan memahat batu tersebut, tetapi dia memastikan misteri itu dulu kerap terjadi.

"Itu alasannya mengapa sampai sekarang, titik lokasi batu yang diletakkan Ndoro Sumo ini tidak ditutup tekel atau keramik," Sukardji memungkasi. 

Pendopo yang terletak di utara alun-alun Kabupaten Blora, menurut catatan sejarah yang terarsip di keluarga keturunan Bupati Blora pertama versi Keraton Surakarta, Raden Tumenggung (RT) Djajeng Tirtonoto, merupakan milik Ndoro Sumo, yaitu putra pertama dari Bupati Tjokronegoro III.

Pada 3 agustus 1891, Ndoro Sumo-lah yang meletakkan batu pertama kali Pendopo Blora. Kala itu, Ndoro Sumo masih berumur 8 tahun dan mendapatkan kehormatan tersebut lantaran digadang-gadang akan menggantikan ayahandanya kelak di kemudian hari.

Ndoro Sumo lahir pada tanggal 3 Juni 1883 dan menjadi titik awal sejarah bagaimana keturunan dari Raden Tumenggung (RT) Djajeng Tirtonoto tidak lagi menduduki jabatan sebagai Bupati Blora.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ndoro Sumo Menolak Jadi Bupati Blora

Dalam catatan tersebut, dikisahkan setelah Tjokronegoro III wafat, Ndoro Sumo menolak menggantikan posisi ayahandanya menjadi Bupati Blora. Penolakan itu dengan alasan karena dia tidak mau bekerja sama dengan kolonial Belanda pada masa itu.

Jabatan Bupati Blora selanjutnya diserahkan kepada Kandjeng Said Abdoel Kadir Jaelani. Masa kepemimpinannya selama 14 tahun, yaitu dari tahun 1912 sampai tahun 1926.

Pada awal kepemimpinannya menjadi Bupati Blora, Kandjeng Said belum memiliki rumah sendiri. Maka pada saat itu, Kandjeng Said pinjam pendopo milik Ndoro Sumo untuk ditempati.

Peminjaman pendopo oleh Bupati Blora Kandjeng Said hanya berlangsung 2 tahun. Tepatnya pada tahun 1914 setelah Bupati Kandjeng Said punya rumah sendiri, kemudian pindah ke rumahnya di daerah Jetis Blora.

Kepindahan Kandjeng Said dari pendopo Blora kala itu, tidak dikembalikan ke pemiliknya langsung yaitu Ndoro Sumo. Usai kejadian tersebut, pendopo kemudian ditempati dan dikuasai oleh Kolonial Belanda.

Pada masa-masa itu, Ndoro Sumo berkali-kali mengupayakan agar pendopo dikembalikan kepadanya. Namun, upayanya gagal dan tidak membuahkan hasil.

Catatan tersebut menunjukkan Ndoro Sumo merupakan tokoh sentral peletak batu Pendopo Blora. Menyingkap sejarahnya, pendopo tersebut awalnya adalah milik RT Djajeng Tirtonoto.

Tahun 1767, saat pemerintahan Blora yang tadinya masih terbagi 2 yaitu daerah 'Kanoman' dan daerah 'Kasepuhan', disatukan RT Djajeng Tirtonoto dengan membuka lahan untuk dijadikan pusat kota yang tadinya masih berupa semak belukar, lalu dibangun tempat pribadi (Pendopo Kabupaten), alun-alun, dan magersari.

Awal pembangunan Pendopo Kabupetan masih terbuat dari papan kayu. Selanjutnya, kepemimpinan dan aset diserahkan kepada putra beliau RT Prawirayudha, turun lagi ke putra RT Prawirayudha yaitu RT Tirtonegoro.

Pada masa (1837-1838) ini, pendopo peninggalan tersebut dirombak menjadi bangunan tembok dengan biaya pribadi RT Tirtonegoro. Selanjutnya, pendopo diturunkan ke putranya Raden Mas Adipati Aryo (R.M.A.A.) Tjokronegoro I, lanjut ke RMAA. Tjokronegoro II, lanjut ke RMAA Tjokronegoro III dan turun ke 6 dari RT Djajeng Tirtonoto adalah RM Soedjoed Koesoemaningrat (Ndoro Sumo). 

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.