Sukses

Bukan Menyandera, Warga Riau Mengaku Hanya Tanyai Penyidik KLHK

Warga mengaku hanya ingin bertanya tentang kedatangan penyidik KLH yang diketahui sedang menyegel lahan terbakar diduga milik PT APSL.

Liputan6.com, Pekanbaru - Ketua Badan Pemberdayaan Desa (BPD) Bonai, Kabupaten Rokan Hulu, Jefriman membantah adanya penyanderaan terhadap tujuh penyidik kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) oleh puluhan warganya.

Menurut Jefriman, ia bersama warga hanya bertanya terkait kedatangan penyidik kehutanan tersebut yang belakangan diketahui menyegel lahan terbakar diduga milik PT APSL di desa tersebut.

PT APSL kini disorot setelah direktur perusahaan berfoto bersama dengan para pejabat Polda Riau sambil mengangkat gelas.

"Tidak ada penyanderaan seperti yang disebutkan Bu Menteri (Siti Nurbaya). Dan tidak ada pencabutan plang segel. Kami hanya bertanya maksud kedatangan mereka," kata Jefriman, Senin petang, 5 September 2016.

Dia menyebut, kejadian tersebut merupakan kesalahpahaman dan menyampaikan permohonan maaf kepada Siti Nurbaya. "Mungkin apa yang kami lakukan dinilai salah secara hukum, kami menyampaikan permohonan maaf," kata dia.

Menurut dia, aksi puluhan warga dilakukan secara spontan terkait penyegelan yang dilakukan Tim KLHK. Masyarakat bertanya apa maksud petugas dan hendak berdiskusi. Apalagi saat itu, para petugas tidak didampingi perwakilan pemerintah daerah.

"Spontan sebagai rasa tidak terima apa yang telah dilakukan. Karena biasanya, ada yang mendampingi dari pemerintah daerah," kata Jefriman.

Terkait adanya kontak fisik dan desakan masyarakat menghapus dokumentasi lahan terbakar di desa tersebut, Jefriman menyebutnya tidak benar sama sekali. "Tidak ada pemaksaan membongkar peralatan yang dibawa. Tapi mereka yang menawarkan, mereka menyebut kalau kami keberatan bisa dihapus," ucap Jefriman.

Terkait terbakarnya ratusan hektare lahan di desa tersebut, Jefriman menyebutnya bukanlah milik perusahaan, melainkan lahan yang sudah dikelola secara turun temurun. Posisi PT APSL, kata dia, hanya sebagai bentuk kerja sama antara masyarakat dengan perusahaan.

"Kami bekerja sama dengan perusahaan dan apa yang kami lakukan untuk menyambung hidup. Kami membangun kebun di lahan turun secara temurun. Hasilnya dibagi dua antara perusahaan dan masyarakat," ujar dia.

Dia menjelaskan, pengelolaan lahan sudah dilakukan sejak 2008. Sawit yang ditanam sudah produktif karena sudah berbuah. Dengan ini, dia menyebut tidak mungkin warga membakar dengan sengaja.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Gagal Panen

Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Melayu Terpadu, Ajirnarudin menyatakan kebakaran berasal dari areal perkebunan dan mengakibatkan petani gagal panen.

"Sawit sudah berumur 4 tahun, sudah berbuah. Namun musibah datang pada 22 Agustus 2016. Lahan seluas 3.300 hektar yang kami olah dimasuki api dari areal lain. Pertama api masuk dari timur, kemudian masuk dari barat," ujar Ajirnarudin.

"Kami kewalahan. Alat pemadam kebakaran disiapkan secara maksimal seperti pompa 10 buah. Ada yang pakai ember. Ada damkar juga yang bantu. Tapi kebakaran tak bisa dikendalikan, maka kebun kami terbakar," sambung dia.

Terkait kerja sama dengan PT APSL, dia menyebut masyarakat sengaja meminta perusahaan membangun perkebunan. Perusahaan ini tak datang sendiri untuk mengelola lahan milik masyarakat.

"Perusahaan tidak memiliki sejengkal pun tanah di tempat kami," ucap dia.

Hanya saja, dua tokoh masyarakat ini mengaku lahan yang diolahnya masuk ke hutan produksi terbatas atau milik negara. Keduanya mengaku melakukan hal ini hanya untuk menyambung hidup.

"Di tempat kami ada perusahaan minyak, setelah habis minyaknya, pergi begitu saja. Tak ada bantuan ke masyarakat. Ada juga dulu perusahaan dikasih izin pemerintah mengelola hutan, setelah kayu habis mereka pergi," kata Jefriman.

"Kami sadar apa yang kami lakukan salah. Sudah lama mengurus supaya lahan ini jadi milik masyarakat, bahkan sudah 10 tahun mengurusnya. Namun pemerintah tak pernah menyetujui, jadi apalagi yang harus kami lakukan untuk menyambung hidup," keluh dia.

Sementara itu, perwakilan PT APSL Novalina Sirait membantah perusahaan punya lahan di desa tersebut dan ada kebakaran di arealnya.

"Lahan atau izin perusahaan ada di Sontang. Bukan di Desa Bonai dan Pujud. Dengan demikian, lahan yang terbakar milik kelompok tani. Api berasal dari kebun orang dan sudah ada laporan polisinya," kata Nova.

"Dalam kasus ini, yang dirugikan masyarakat. Dan tidak mungkin masyarakat membakar sendiri lahannya, apalagi sudah mau panen. Oleh karena itu, kami minta aparat hukum mengusut pembakar sehingga apinya merambat ke kelompok tani," kata Nova.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.