Sukses

Ikan Pari Jawa Punah, Spesies Ikan Pertama di Dunia yang Punah Akibat Aktivitas Manusia

Ikan pari Jawa diketahui hanya dari satu spesimen yang diambil pada 1862 di pasar ikan di Jakarta, yang kini telah secara resmi dinyatakan punah.

Liputan6.com, Jakarta - Ikan pari Jawa diketahui hanya dari satu spesimen yang diambil pada 1862 di pasar ikan di Jakarta, yang kini telah secara resmi dinyatakan punah.

Ikan pari Jawa punah tersebut menurut Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) saat KTT iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).

"Hilangnya salah satu kerabat ikan pari menandai kepunahan pertama spesies ikan laut akibat aktivitas manusia," ujar Kepala Unit Daftar Merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Craig Hilton-Taylor mengutip Radio Free Asia.

Kemudian menurut Ketua Penilai Julia Constance, kandidat PhD di Universitas Charles Darwin, Australia, penangkapan secara intensif dan tidak diatur, ditambah dengan adanya degradasi habitat pesisir akibat industrialisasi merupakan faktor utama yang menyebabkan kepunahan ikan pari Jawa.

Catatan baru tersebut membuat ikan pari Jawa ditambahkan ke Daftar Merah IUCN. Daftar tersebut merupakan sumber terlengkap di dunia untuk menilai risiko kepunahan dan status spesies hewan, jamur, serta tumbuhan.

Laporan tersebut memberi data penting mengenai wilayah jelajah, populasi, habitat, ancaman, dan tindakan konservasi fauna untuk pengambilan keputusan dan perubahan kebijakan.

"Perubahan iklim merupakan ancaman terhadap keanekaragaman kehidupan di planet kita. Hari ini, kami membawa bukti dampak perubahan iklim pada rusaknya spesies," kata Direktur Jenderal IUCN Gretel Aguilar.

"Jumlah spesies dalam Daftar Merah telah meningkat dari 150.388 jadi 157.190," jelas dia.

Menurut IUCN, sebanyak 44.016, hampir 2.000 lebih banyak dari penghitungan sebelumnya, dianggap berisiko punah.

Selain ikan pari Jawa, spesies lain dalam daftar yang diperbarui termasuk penyu hijau, yang dikategorikan sebagai "terancam punah" di Pasifik Selatan Tengah dan "rentan" di Pasifik Timur.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Daftar Merah yang Diperbarui

Eksistensi penyu hijau juga terancam, terutama karena peningkatan suhu laut, peningkatan permukaan air yang menggenangi sarangnya, berkurangnya makanan, serta karena penyu hijau dewasa sering menjadi korban industri sebagai tangkapan sampingan.

Daftar Merah yang diperbarui juga menyoroti keberhasilan upaya konservasi, seperti yang terlihat pada kijang bertanduk pedang, yang telah berkembang dari 'punah di alam liar' jadi 'terancam punah' karena keberhasilan reintroduksi di Chad.

Begitu pula dengan kijang saiga yang sebelumnya 'sangat terancam punah' telah meningkat jadi 'hampir terancam punah' setelah populasinya meningkat sebesar 1.100 persen hanya dalam tujuh tahun, terutama di Kazakhstan karena tindakan anti-perburuan liar yang ketat.

Meski begitu, kedua spesies ini yaitu penyu hijau dan kijang, masih menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin besar di wilayah masing-masing.

Kijang yang menghadapi peningkatan kekeringan di wilayah Sahel di Afrika dan antelop yang mengalami 'kematian massal' pada 2015 silam akibat suhu serta kelembapan ekstrem.

Secara global, seperempat spesies ikan air tawar beresiko punah karena pemanasan suhu, penangkapan berlebihan, dan polusi, menurut penilaian ikan air tawar global pertama yang dilakukan IUCN, yang termasuk dalam pembaruan Daftar Merah.

 

3 dari 4 halaman

Dampak Perubahan Iklim

Kemudian, penilaian tersebut mencakup ikan lele raksasa Mekong yang sulit ditangkap. Populasi ikan lele raksasa Mekong berada di bawah tekanan karena pembangunan bendungan dan penangkapan berlebihan di wilayah Mekong Bawah juga salmon Atlantik yang populasinya mengalami penurunan sebesar 23 persen antara tahun 2006 dan 2020.

Perubahan iklim berdampak pada setidaknya 17 persen spesies ikan air tawar yang terancam punah, yang menyebabkan penurunan permukaan air, intrusi air laut ke sungai karena kenaikan permukaan laut, dan perubahan musim.

"Perubahan iklim berinteraksi dengan ancaman-ancaman lain, dan biasanya ancaman-ancaman lain itulah yang mendorong spesies semakin terancam punah dan membuat mereka punah, bukan perubahan iklim itu sendiri," ucap Kepala Unit Daftar Merah IUCN Craig Hilton-Taylor.

Ancaman-ancaman tersebut juga termasuk polusi yang berdampak pada 57 persen ikan air tawar terancam punah, 45 persen karena bendungan dan pengambilan air berdampak, 25 persen akibat penangkapan ikan berlebihan, serta spesies invasif dan penyakit yang merugikan 33 persen populasi ikan air tawar.

"Ikan air tawar merupakan lebih dari separuh spesies ikan yang dikenal di dunia, suatu keanekaragaman yang tidak dapat dipahami mengingat ekosistem air tawar hanya mencakup satu persen dari habitat perairan," terang salah satu ketua kelompok spesialis ikan air tawar IUCN Kathy Hughes.

 

4 dari 4 halaman

Ancaman Keberlangsungan Hidup Ikan Air Tawar

Menurut Hughes, spesies beragam tersebut merupakan bagian integral dari ekosistem dan penting bagi ketahanannya. Hal ini penting bagi miliaran orang yang bergantung pada ekosistem air tawar dan jutaan orang yang bergantung pada perikanan.

Penilaian ikan air tawar dikembangkan dengan masukan dari lebih dari seribu ilmuwan dari seluruh dunia dan kombinasi lebih dari 100 lokakarya secara langsung dan online. IUCN saat ini sedang menilai spesies air tawar di China, kata Hilton-Taylor pada RFA.

"Apa yang kami temukan adalah ada dampak besar terhadap ikan air tawar akibat bendungan di sungai, dan beberapa spesies dalam pembaruan ini mengalami penurunan status karena dampak (bendungan) terhadap aliran air seperti Tiga Ngarai," ucap Hughes.

Ia memilih Baiji, seekor lumba-lumba Sungai China yang terdaftar sebagai lumba-lumba yang terancam punah sejak 1996 karena apa yang terjadi pada sistem sungai tersebut.

"Status Baiji, yang dikenal sebagai Dewi Yangtze, tidak berubah, meski 'mungkin punah' karena tidak ada yang pernah melihatnya dalam waktu yang lama," kata Hilton-Taylor.

"Kami hanya belum menyatakannya punah," katanya, seraya menambahkan bahwa berbagai upaya survei, termasuk visual dan akustik, gagal menemukan satu ekor lumba-lumba sungai dalam dua dekade terakhir. "Tidak ada tanda apapun. Sedih sekali," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.