Sukses

KPK Kebut Penyidikan Korupsi Pengadaan Helikopter AW 101

KPK mengapresiasi putusan PN Jaksel yang menolak permohonan praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW 101.

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang menolak permohonan praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW 101.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan pihaknya sejak awal yakin seluruh proses penyidikan kasus sesuai dengan mekanisme aturan hukum. Maka dari itu, Ali menyebut KPK akan mengebut penyidikan kasus ini.

"Putusan (praperadilan) ini menjadi momentum bagi KPK untuk mempercepat proses penyidikan perkara dimaksud dengan segera melengkapi alat bukti dan pemberkasan perkara agar segera dapat dilimpahkan ke persidangan," kata Ali dalam keterangannya, Selasa (22/3/2022).

Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101. Jhon Irfan merupakan tersangka dalam kasus ini namun belum diumumkan oleh KPK.

"Mengadili, menolak permohonan praperadilan dari pemohon (Jhon Irfan) untuk seluruhnya," ujar hakim tunggal Nazar Effriandi dalam amar putusannya, Selasa (22/3/2022).

Ini kali kedua hakim praperadilan PN Jaksel menolak praperadilan Jhon Irfan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Putusan Praperadilan

Pada putusannya, hakim menilai penetapan tersangka terhadap Jhon Irfan oleh KPK sudah sesuai aturan.

Terkait dengan mekanisme KPK dapat menghentikan penyidikan suatu kasus yang sudah berjalan dua tahun, yang dipermasalahkan Jhon Irfan, menurut hakim hal tersebut tetap menjadi kewenangan KPK.

Pasalnya, dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 diselipkan kata dapat. Yakni KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan tidak selesai paling lama dua tahun. Lagipula, menurut hakim, hal tersebut bukan objek praperadilan.

Sementara terkait dengan petitum tidak adanya tersangka dari unsur penyelenggara negara dalam kasus ini, menurut hakim, permohonan tersebut juga harus ditolak lantaran masuk dalam ranah teknis.

Hakim juga menolak permohonan Jhon Irfan yang mempermasalahkan penyitaan dan pemblokiran aset oleh KPK dalam kasus ini. Jhon Irfan mempermasalahkan lantaran yang disita KPK adalah aset pribadi bukan milik PT Diratama Jaya Mandiri.

Diketahui, KPK dan TNI membongkar dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 oleh TNI AU. Dalam kasus ini, KPK menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.

PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah membuat kontrak langsung dengan produsen Heli AW-101 senilai Rp514 miliar. Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar.

Dalam kasus ini Puspom TNI juga menetapkan beberapa tersangka lain. Mereka adalah Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy selaku pejabat pembuat komitmen atau kepala staf pengadaan TNI AU 2016-2017, Letnan Kolonel TNI AU (Adm) berinisial WW selaku pejabat pemegang kas, Pembantu Letnan Dua berinisial SS selaku staf Pekas, Kolonel FTS selaku kepala Unit Layanan Pengadaan dan Marsekal Muda TNI SB selaku asisten perencana kepala staf Angkatan Udara.

Selain menetapkan sebagai tersangka, KPK dan TNI juga menyita sejumlah uang sebesar Rp7,3 miliar dari WW. Puspom TNI bahkan sudah memblokir rekening PT Diratama Jaya Mandiri sebesar Rp139 miliar.

Namun belakangan TNI menghentikan penyidikan terhadap mereka. TNI beralasan tak memiliki bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan kasus tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.