Sukses

HEADLINE: Peringatan Hari Antikorupsi International, Pekerjaan Rumah Indonesia?

Sebagai gambaran di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2021, ada 1.291 kasus korupsi yang ditangani lembaga tersebut.

Liputan6.com, Jakarta 9 Desember telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Antikorupsi Internasional, untuk meningkatkan kesadaran korupsi guna memerangi dan mencegahnya. Semua negara berikrar memberantas kejahatan yang merusak hajat hidup orang banyak tersebut, termasuk Indonesia.

"Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi" tema yang diangkat Indonesia dalam memperingati Hari Antikorupsi Internasional. Hal ini dirasa penting, karena masih banyak yang melakukan perbuatan tersebut.

Sebagai gambaran di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2021, ada 1.291 kasus korupsi yang ditangani lembaga tersebut.

"KPK tidak pernah lelah untuk memberantas korupsi, hal ini terbukti selama berdirinya KPK telah menangani 1.291 kasus," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021, Kamis (9/12/2021).

Dia mengatakan, dari jumlah tersebut, sebanyak 22 gubernur dijadikan tersangka. Sementara bupati dan wali kota 133 orang yang dijerat. 281 anggota legislatif dibekuk dan lebih dari 300 pihak swasta dimintai pertanggungjawaban oleh KPK.

"Karena itu, mari kita bangkitkan budaya antikorupsi," kata Firli.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengingatkan kembali bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan membutuhkan penanganan yang ekstra.

"Korupsi merupakan extraordinary crime yang mempunyai dampak luar biasa, oleh sebab itu, harus ditangani dengan extraordinary juga," kata Jokowi pada peringatan Hakordia, Kamis (9/12/2021).

Jokowi lantas membeberkan data kasus korupsi yang telah ditangani aparat hukum Indonesia. Menurutnya jumlah sudah cukup tinggi. Dilihat dari jumlah kasus yang ditangani aparat hukum jumlahnya juga termasuk tinggi.

Meski demikian Jokowi mengingatkan aparat tidak jumawa.

"Aparat penegak hukum termasuk KPK jangan berpuas diri, karena penilaian masyarakat terhadap upaya pemberantas korupsi masih diniliai belum baik. Semua harus sadar mengenai ini," tegas Jokowi.

Dia menyampaikan bahwa pemberantasan korupsi berada di peringkat kedua masalah yang harus diselesaikan. Sementara peringkat pertama adalah penciptaan lapangan kerja dan ketiga adalah kebutuhan pokok.

Namun, kata Jokowi, korupsi sangat mempengaruhi pada indikator lainnya.

"Korupsi bisa ganggu lapangan kerja, korupsi juga bisa menaikkan harga kebutuhan pokok. Kalau dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara ranking indeks persepsi korupsi kita 2021 juga masih perlu kita perbaiki lagi," kata Jokowi.

Sebagai catatan, dia pun menyinggung bahwa Indonesia berada di bawah Malaysia. "Ini di Asia, bukan di Asia Tenggara. Ini dari 180 negara, Singapura sekali lagi ranking ketiga, Brunei Darussalam ranking 35, Malaysia ranking 57, dan Indonesia masih di ranking 102. Ini yang memerlukan kerja keras kita untuk memperbaiki indeks persepsi korupsi kita bersama-sama," kata Jokowi.

Meski di tingkat Asia tertinggal jauh, Jokowi menyebut masih ada kabar gembira di lingkup nasional. Jokowi menyebut adanya peningkatan dalam indeks perilaku antikorupsi masyarakat.

"Tapi ada perkembangan yang menggembirakan, sebagaimana ini data BPS mengenai indeks perilaku antikorupsi di masyarakat yang terus naik dan membaik. Tahun 2019 berada di angka 3,7, tahun 2020 di angka 3,84, tahun 2021 di angka 3,88, artinya semakin tahun semakin membaik," terang dia.

 

 

Jokowi menyebutkan, pemberantasan korupsi tidak boleh identik dengan penangkapan. Melainkan harus lebih fokus pada pencegahan. "Pemberantasan korupsi tidak boleh terus-terusan identik dengan penangkapan, pemberantasan korupsi harus mengobati akar masalah, pencegahanan merupakan langkah yang lebih fundamental dan kalau korupsi bisa kita cegah, kepentingan rakyat dapat terselamatkan," kata dia.

Jokowi juga menyebut penindakan korupsi bukan hanya untuk memberikan efek jera, tapi juga yang tak kalah penting adalah untuk menyelamatkan uang dan aset negara.

"Penindakan sangat penting untuk dilakukan secara tegas dan tidak pandang bulu. Bukan hanya untuk memberikan efek Jera kepada pelaku dan memberikan efek menakutkan, deterrence effect kepada yang berbuat, tetapi penindakan juga sangat penting untuk menyelamatkan uang negara dan mengembalikan kerugian negara," kata dia.

Karena itu, dia meminta para buron koruptor yang kabur ke luar negeri agar terus dikejar dan diadili. "Buron-buron pelaku korupsi bisa dikejar baik di dalam maupun luar negeri, aset yang disembunyikan oleh para mafia, mafia migas, mafia pelabuhan, mafia obat, mafia daging, mafia tanah bisa terus dikejar dan pelakunya bisa diadili," kata Jokowi, Kamis (9/12/2021).

Sebagai bentuk keseriusan pemerintah mengejar para buron, Indonesia, kata Jokowi, memiliki beberapa kerja sama internasional untuk pengembalian aset tindak pidana.

"Treaty on mutual legal assistance, sudah kita sepakati dengan swiss dan rusia, mereka siap membantu penelusuran, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana di luar negeri," ujar dia.

Jokowi juga menegaskan pemerintah terus mendorong agar Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana segera ditetapkan.

"Pemerintah terus mendorong segera ditetapkannya undang-undang perampasan aset tindak pidana. Ini juga penting sekali kita terus dorong dan kita harapkan tahun depan Insyaallah ini bisa selesai agar penegakan hukum yang berkeadilan bisa terwujud secara profesional dan akuntabel untuk meningkatkan kesejahateraan rakyat," ujar Jokowi.

Masih Banyak PR

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menyebut, Indonesia masih sangat suram pemberatasan korupsinya, bahkan dia menyebut setahun ke belakang terasa semakin mundur.

"Indeks persepsi korupsi menjadi gambaran, alih-alih Indonesia menjadi semakin bersih, malah bisa sebaliknya," kata Zaenur kepada Liputan6.com, Kamis (9/12/2021).

Dia juga melihat komitmen pemerintah setahun ini tidak terasa kuat, terlebih soal RUU Perampasan Aset hasil kejahatan yang tidak ada kemajuan. "Padahal RUU itu dapat menjadi pengubah permainan karena dapat menjadi instrumen perampas harta kekayaan penyelenggara negara yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya dengan menggunakan metode pembutian berbalik," jelas Zaenur.

Namun, soal penindakan, dinilainya KPK masih buruk. Menurutnya, tak ada satupun kasus strategis, terlebih mengeluarkan SP3 untuk BLBI.

"Saya harus fair, kolega KPK yakni Kejaksaan justru menunjukkan prestasi yang lebih baik, kenapa? Karena Kejaksaan memproses kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri yang sangat besar kerugiannnya terhadap negara," ungkap Zaenur.

Selain itu, dia juga melihat KPK terlalu banyak masalah setahun terakhir, seperti kasus pelanggaran etik dari pimpinan KPK Lili Pantauli, yang dinilainya sudah masuk ranah pidana. "Sayangnya, lagi-lagi penegak hukum buntu saat berhadapan dengan person yang berasal dari lingkungan institusi penegak hukum itu sendiri," kata Zaenur.

Mahkamah Agung (MA) pun menjadi sorotannya. Dia menduga dengan perginya almarhum Artidjo Alkostar, membuat lembaga tersebut acap mengeluarkan putusan yang terkesan menaruh kasus korupsi sebagai kejahatan biasa.

"PK juga banyak yang dikabulkan MA. Jadi ini ada inkonsistensi dan ini menunjukkan perubahan cara pandang MA terhadap korupsi yang dinilai bukan sebuah kejahatan luar biasa. Jadi ini kekalahan besar dalam perang melawan korupsi," kata Zaenur.

Dia juga melihat Presiden Jokowi belum memiliki komitmen pemberantasan korupsi yang tegas. Hal ini terlihat dari sikapnya dalam kasus TWK KPK.

"Alih-alih presiden mendukung indenpendensi KPK malah justru tidak berbuat apa-apa ketika TWK dilakukan penuh dengan maladministrasi sesuai dengan rekomendasi Ombudsman dan banyak pelanggaran HAM sesuai dengan temuan Komnas HAM," kata Zaenur.

Karena itu, dia berharap Presiden segera mengusulkan DPR membahas RUU Perampasan Aset Hasil Kejahatan dan juga memperbaiki ketentuan mengenai LHKPN yang disertai sanksi.

"Serta UU Pembatasan Transaksi Tunai yang bisa menjadi indikator memang negara memiliki komitmen pemberantasan korupsi," kata dia.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia mengatakan, sejumlah survei terbaru yang telah dirilis berbagai lembaga telah menggambarkan situasi pemberantasan korupsi di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan.

Misalnya, Indeks Perilaku Antikorupsi 2021 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Temuannya menunjukkan adanya peningkatan praktik suap-menyuap yang dilakukan masyarakat saat mengakses pelayanan publik.

"Sedangkan dari sisi negara, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia juga anjlok, baik skor maupun peringkatnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Bahkan, lembaga survei Indikator memberikan peringatan serius atas fenomena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," kata Kurnia, Kamis (9/12/2021).

Menurut dia, temuan-temuan di atas sebenarnya bukan hal mengejutkan lagi. Sebab, satu tahun terakhir masyarakat dapat secara jelas melihat agenda pemberantasan korupsi semakin dikesampingkan oleh negara.

"Bagaimana tidak, dari aspek penegakan hukum saja, kebijakan atau keputusan yang diambil justru semakin tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang sungguh-sungguh. Misalnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengujian materi UU KPK, penghapusan syarat memperketat remisi bagi pelaku korupsi oleh Mahkamah Agung, hingga vonis ringan atas kasus korupsi yang melibatkan pejabat politik," jelas Kurnia.

Dia juga menyebutkan, agenda penguatan KPK sebagaimana disampaikan oleh Presiden jauh panggang dari api. Kebijakan politik revisi UU KPK, terpilihnya komisioner KPK bermasalah, pemecatan puluhan pegawai lembaga antirasuah secara ugal-ugalan melalui Tes Wawasan Kebangsaan mencerminkan bukti pelemahan anti-korupsi, alih-alih penguatan.

"Celakanya, Presiden tidak mengambil tindakan berarti, meskipun rekomendasi lembaga negara seperti Ombudsman dan Komnas HAM yang menemukan praktik pelanggaran serius atas TWK KPK .Bisa dikatakan, Presiden gagal menjadi panglima besar dalam agenda pemberantasan korupsi," kata Kurnia.

Meredupnya kebijakan politik untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi, kata dia, dapat dipotret dari politik legislasi nasional. Sejumlah regulasi penting seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak pernah dimasukkan dalam program legislasi nasional prioritas.

"Merosotnya upaya pemberantasan korupsi berimbas pada semakin buruknya pengelolaan etika pejabat publik. Praktik rangkap jabatan publik, menyatunya kepentingan politik dan bisnis, seperti konflik kepentingan pejabat dalam bisnis PCR dan obat-obatan dalam penanganan pandemi Covid-19 menjadi bukti konkret melemahnya tata kelola pemerintahan," ungkap Kurnia.

Dia menyebut, momentum Hari Antikorupsi Dunia ini patut kita rayakan dengan kesedihan. Pada saat yang sama, masyarakat perlu menyadari bahwa menyandarkan harapan tinggi pada negara untuk memberantas korupsi akan jatuh pada mimpi belaka.

"Karena korupsi selalu mengorbankan kita sebagai warga masyarakat, momentum hari Antikorupsi Dunia ini dapat menjadi titik balik perlawanan masyarakat terhadap korupsi. Mari perkuat suara kita, mari kita perkuat peran kita untuk melawan korupsi," kata Kurnia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Berjuang Bersama

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang membasminya butuh keterlibatan aktif dari seluruh elemen bangsa.

"Penindakan dan pencegahan saat ini terus diperkuat oleh Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum, tetapi tanpa keterlibatan masyarakat mustahil Indonesia akan bebas dari korupsi, it takes two to tango," kata Irfan kepada Liputan6.com, Kamis (9/12/2021).

Menurut dia, pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan yakni. menjadikan antikorupsi sebagai sebuah gerakan budaya anti korupsi yang hidup di tengah masyarakat, sehingga peran dari pendidik, tokoh agama, tokoh masyarakt untuk menegakan norma sosial harus dikedepankan.

"Misalnya budaya jujur, budaya berani melapor jika ada oknum pemerintah yang pungli, pemerintah pun harus menyediakan kanal pelaporan, dan menjatuhkan sanksi tegas sehingga ada mekanisme pengawasan yang komprehensif," kata Irfan.

Dia pun menyebut, baik KPK, Polri, dan Kejaksaan sudah bekerja baik dengan mengungkap kasus besar. Mulai penuntasan kasus BLBI, Jiwasraya, Asabri, dan banyaknya aset yang disita ratusan triliun rupiah.

"Apalagi jika tindak pidana korupsi ini dibarengi dengan tindak pidana pencucian uang yang membutuhkan pembuktian yang lebih kompleks untuk pengembalian aset (asset recovery) yang tentu tidak mudah. Oleh karena itu sebagai catatan, koordinasi dan supervisi diantara ketiganya harus semakin diperkuat dengan KPK sebagai ujung tombaknya," kata Irfan.

Dia pun menyampaikan pesan Presiden Jokowi di momen Hari Antikorupsi Internasional, bahwa korupsi ini kejahatan luar biasa, penindakan saja tidak akan cukup, harus dibarengi dengan pencegahan yang memperkuat sistem sebelum terjadi kerugian negara.

"Serta pendidikan dan edukasi sehingga pemberantasan korupsi ini melibatkan seluruh stakeholder dan menjadi sebuah gerakan budaya. Presiden menyampaikan dalam konteks itu," kata Irfan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.