Sukses

Mereka yang Menolak Wacana Penyerahan Pj Kepala Daerah ke TNI-Polri

Pro kontra bermuculan terkait adanya wacana Pejabat atau Pj Kepala Daerah diisi oleh TNI-Polri jelang Pilkada 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Pro kontra bermuculan terkait adanya wacana Pejabat atau Pj Kepala Daerah diisi oleh TNI-Polri jelang Pilkada 2024.

Salah satunya dari Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah. Menurut dia, adanya Pj Kepala Daerah diisi oleh TNI-Polri jelang Pilkada 2024, bisa saja dilakukan untuk wilayah rawan konflik.

"Ya kalau di daerah konflik kayak Papua itu kan banyak tuh, itu diambil dari TNI-Polri aja. Tapi kalau daerahnya seperti Jakarta, kan gak perlu TNI-Polri," ujar Trubus kepada Liputan6.com, Senin 27 September 2021.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti menilai, wacana Pj Kepala Daerah diisi oleh TNI-Polri perlu disikapi serius, sebab penempatan kedua instansi aparat tersebut cenderung melemahkan indeks demokrasi.

"Menempatkan perwira TNI/polisi sebagai Pj kepala daerah akan menambah merosotnya penilaian demokrasi. Sayangnya, poin kemerosotan tersebut malah disumbang oleh Kemendagri yang sejatinya merupakan pengawal demokrasi di lingkaran pemerintah," kata Ray dalam keterangan tertulis diterima, Selasa (28/9/2021).

Berikut deretan tanggapan berbagai pihak terkait wacana Pj Kepala Daerah diisi oleh TNI-Polri jelang Pilkada 2024 dihimpun Liputan6.com:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Pengamat Kebijakan Publik

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, wacana adanya Pejabat atau Pj Kepala Daerah diisi oleh TNI-Polri jelang Pilkada 2024, bisa saja dilakukan untuk wilayah rawan konflik.

Sebagai informasi, akan ada 101 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada 2022. Sementara itu, sebanyak 171 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2023.

"Ya kalau di daerah konflik kayak Papua itu kan banyak tuh, itu diambil dari TNI-Polri aja. Tapi kalau daerahnya seperti Jakarta, kan gak perlu TNI-Polri," kata dia kepada Liputan6.com, Senin 27 September 2021.

Selain itu, dia menilai TNI-Polri bisa mengisi posisi Pj Kepala daerah yang memiliki birokrasi lemah.

Misalnya, kepala daerah di wilayah itu terjerat kasus korupsi, pemerintah daerah tak berjalan maksimal, dan sekretaris daerah (sekda) tak bekerja optimal.

"Kalau birokrasinya lemah, diisi aja oleh TNI-Polri gitu. Tapi tidak semua TNI-Polri masuk semua disitu, hanya yang sifatnya mendesak," jelas Trubus.

Dia mengaku kurang setuju dengan rencana perwira tinggi TNI-Polri menjadi Pj Kepala Daerah. Trubus juga menyatakan, juga tak sepakat jika solusinya adalah memperpanjang masa jabatan kepala daerah hingga Pilkada 2024 untuk mengisi kekosongan jabatan.

Jika usulan jabatan diperpanjang, dikhawatirkan akan muncul terjadi banyak abuse of power, penyalahgunaan wewenang, hingga potensi korupsi.

"Karena kan banyak dari partai politik juga. Jadi mereka memanfaatkan 2024, rakusnya nanti kesana kemari," terang dia.

Trubus menyarankan pemerintah menunjuk sekretaris daerah (Sekda) menjadi Kepala Daerah untuk mengisi kekosongan jabatan menjelang Pilkada 2024. Hal ini dinilai lebih baik dibandingkan perwira tinggi TNI-Polri yang menjadi Pj Kepala Daerah.

"Menurut saya, lebih baik pemerintah mengangkat saja Sekdanya. Karena Sekda yang tahu persis kondisi birokrasi internal luarnya," kata Trubus.

Dia khawatir diisinya Pj Kepala Daerah oleh perwira TNI-Polri jelang Pilkada 2024 akan memunculkan dwifungsi ABRI yang telah dihapus pascareformasi.

Trubus menyebut hal ini membuat TNI-Polri tak boleh lagi terlibat di sektor-sektor sipil, apalagi menjadi kepala daerah.

"Dwifungsi ABRI kan sudah dihapus, jadi enggak boleh ada sektor-sektor, termasuk dalam hal ini Pj, apalagi gubernur bupati itu di tangan mereka," jelas dia.

 

3 dari 6 halaman

2. Lingkar Madani (LIMA) Indonesia

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti menyorot rencana Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang akan menunjuk perwira TNI dan Polisi untuk duduk sebagai Pj kepala daerah tahun 2022-2023. Menurut Ray, hal tersebut perlu disikapi serius, sebab penempatan kedua instansi aparat tersebut cenderung melemahkan indeks demokrasi.

"Menempatkan perwira TNI/polisi sebagai Pj kepala daerah akan menambah merosotnya penilaian demokrasi. Sayangnya, poin kemerosotan tersebut malah disumbang oleh Kemendagri yang sejatinya merupakan pengawal demokrasi di lingkaran pemerintah," kata Ray dalam keterangan tertulis diterima, Selasa (28/9/2021).

Ray mengatakan, penempatan TNI dan Polri sebagai Pj pernah dilakukan pada tahun 2018. Namun, pada pokok persoalan bukanlah soal sudah pernah atau tidak. Melainkan, tentang desain sistem demokrasi dalam penempatan keduanya adalah kelazim di era orde baru.

"Jadi bukan sekedar boleh atau tidak boleh, tapi harus didasarkan juga atas desain sistem demokrasi Indonesia. Apakah penempatan memang bagian dari tujuan desain dan sistem demokrasi kita yang lebih baik; partisipatif, terbuka, professional dan madani? Apakah cara ini akan menjadikan institusi khususnya TNI/Polisi akan lebih professional dalam bidangnya masing-masing? Berdasar poin itulah sejatinya Kemendagri melihat cara hubungan dan kerja institusional kelembagaan negara," jelas Ray.

Ray menyarankan, jika penempatan TNI Polri bersifat administratif belaka, sebaiknya jabatan diserahkan kepada sipil, dan keamanan kepada polisi serta pertahanan kepada TNI. Sebab, pelompatan kewenangan dengan zig zag ala orde baru sebenarnya bertentangan dengan prinsip pengelolaan dan desain setiap kewenangan lembaga negara era reformasi yang kita harapakan.

"TNI dan tentu saja Polri harus profesional merupakan salah satu poin penting dari amanah reformasi. Jadi, cara baca Kemendagri dalam mengelola hubungan institusi lembaga negara dengan sekedar berdasarkan boleh tidaknya dalam UU tidak mencerminkan salah satu filosofi penting Kemendagri: mewadahi dan mendorong proses demokrasi di tingkat lokal dan nasional," kritik Ray.

"Oleh karena itu, rencana penunjukan perwira TNI/Polisi untuk menjadi Pj Kepala Daerah sudah semestinya untuk ditinjau ulang dan semestinya tidak dilaksanakan," Ray memungkasi.

 

4 dari 6 halaman

3. Partai Demokrat

Kementerian Dalam Negeri (kemendagri) membuka opsi menjadikan perwira TNI atau Polri mengisi posisi Pj pelaksana tugas (plt) atau pelaksana harian (plh) kepala daerah menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 202Menanggapi hal itu, Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, meminta Pemerintah tidak menunjuk TNI-Polri menjadi penjabat (Pj) kepala daerah.

"Opsi penunjukan Pj kepala daerah dari TNI-Polri harus dikaji secara mendalam," tegas Anwar Hafid dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/9/2021).

Dia mengingatkan bahwa mekanisme penunjukan pj kepala daerah sudah diatur dalam Pasal Pasal 201 ayat 9-11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan penjabat gubernur, bupati, dan wali kota berasal dari kalangan aparatur sipil negara (ASN).

Sementara, TNI-Polri sendiri tidak masuk dalam kategori ASN, sehingga jika mereka ditunjuk sebagai Plt kepala daerah, justru nantinya dapat memunculkan atau menghidupkan kembali dwi fungsi TNI-Polri.

"Sudah ada aturannya di Undang-Undang Pilkada, kami mengingatkan Kemendagri sebagainya dalam melakukan penunjukan Pj/Plt kepala daerah sebaiknya berasal dari pejabat sipil yang memenuhi syarat," tegas Anwar Hafid.

 

5 dari 6 halaman

4. Komisi II DPR RI

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mengingatkan pemerintah untuk memikirkan ulang wacana penunjukan TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah untuk menggantikan pejabat yang habis masa jabatan pada 2022 dan 2023.

"Kita harapkan jangan diseret TNI/Polri untuk mengisi kekosongan jabatan. Karena itu jabatan politis, bukan jabatan karier. Kenapa terjadi reformasi? Salah satunya karenanya dwifungsi ABRI karena zaman Orba pemerintah menerapkan dwifungsi ABRI,” kata Guspardi saat dikonfirmasi, Selasa (28/9/2021).

Guspadi meminta semua pihak mengambil pelajaran dari reformasi. Dia menegaskan masih banyak aparatur sipil negara (ASN) setingkat Dirjen di berbagai Kementerian yang bisa mengisi kursi kepala daerah.

"ASN kan banyak Dirjen di Kemendagri. Kalau seandainya tidak memenubi jumlahnya baru masuk ke Kementerian lain, kenapa jadi TNI/Porli di mana ranahnya itu? Nah kalau Dirjen itu kan jabatan karier, sedangkan Pj itu jabatan politis, dalam UU diatur kalau gubernur masa jabatan habis maka pltnya eselon I di Kementerian,” ucap dia.

Oleh karena itu ia menilai tak ada alasan kekurangan Dirjen untuk mengisi kursi Pj Gubernur.

“Jadi sebetulnya tidak kekurangan, jadi bisa dari KemnePANRB kan banyak Kementerian yang ada,” katanya.

Selain itu, ia meminta pemerintah menjaga citra Presiden Joko Widodo dengan tidak meninggalkan kesan buruk di akhir masa tugasnya.

“Jangan merusak juga citra presiden, karena nanti ada anggapam presiden menarik TNI/Polri untuk berpolitik. Kan Pj itu kan ada Pilkada dia akan diseret Parpol. Jangan dikorban dan jangan diseret TNI/Polri,” tegasnya.

“Presiden Jokowi bisaabuktikan di akhiri masa jabatannya.Jadikan sejarah guru berharaga dan jadikan legacy Jokowi untuk akhir masa jabatan presiden dengan apresiasi,” pungkasnya.

 

(Cindy Violeta Layan)

6 dari 6 halaman

Deretan Kepala Daerah Habis Masa Jabatan di 2022 dan 2023

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.