Sukses

Nurhadi, Buronan KPK Senilai iPhone 11

Nurhadi buron bersama dua tersangka lainnya, Rezky Herbiono yang merupakan menantu Nurhadi, serta Direkut PT MIT Hiendra Soenjoto.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasukkan nama mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi dalam daftar pencarian orang (DPO) atau buron. Nurhadi diburu sebagai tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar.

Nurhadi buron bersama dua tersangka lainnya, Rezky Herbiono yang merupakan menantu Nurhadi, serta Direkut PT MIT Hiendra Soenjoto. Mereka dijadikan buron lantaran tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan tim penyidik KPK sebagai tersangka.

Nurhadi cs dijerat sebagai tersangka pada, Senin 16 Desember 2019. Saat itu Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang menyampaikan penetapan tersangka terhadap Nurhadi cs.

Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan perkara dari operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus pengaturan perkara di Mahkamah Agung pada 2016 lalu.

Ketika itu, KPK melakukan OTT yang menjerat Edy Nasution selaku Panitera PN Jakarta Pusat, dan pegawai PT Artha Pratama Doddy Aryanto Supeno. Dalam perjalanannya, KPK juga menjerat Eddy Sindoro yang merupakan mantan Presiden Komisaris Lippo Group.

Eddy Sindoro dijerat KPK pada 21 November 2016. Eddy Sindoro sempat melarikan diri ke luar negeri. Dia menyerahkan diri pada Oktober 2018, dan kini telah divonis bersalah dalam kasus ini.

Semasa KPK merampungkan berkas Eddy Sindoro, Nurhadi dan istrinya, Tin Zuraida yang merupakan Staf Ahli Bidang Politik dan Hukum Kementerian PANRB sempat beberapa kali diperiksa sebagai saksi.

Pemanggilan Nurhadi saat itu berkaitan dengan dugaan penemuan aliran uang yang mencurigakan. Sepanjang 2004-2009, aliran uang yang masuk di rekening Tin mencapai Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar. Sedangkan periode 2010-2011, ada belasan kali uang masuk ke rekening Tin dengan nilai Rp 500 juta.

Nurhadi juga terdeteksi pernah memindahkan uang Rp 1 miliar ke rekening Tin. Tin juga pernah menerima Rp 6 miliar melaui setoran tunai pada 2010-2013.

Tak hanya aliran uang yang mencurigakan, saat KPK menggeledah kediaman Nurhadi di Hang Lekiu, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada April 2016. Tim lembaga antirasuah menemukan uang sebesar Rp 1,7 miliar dalam enam pecahan mata uang asing.

Sebagian uang tersebut ditemukan tim KPK di toilet. Tin saat itu akan membuang uang-uang tersebut ke toilet untuk menghilangkan barang bukti. Tak hanya itu, Tin juga merobek, membasahi hingga membuang beberapa dokumen ke tong sampah.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dicegah ke Luar Negeri

KPK kemudian meminta pihak Imigrasi Kemenkumham untuk mencegah Nurhadi ke luar negeri. Tiga tahun berselang, November 2019, KPK akhirnya menjerat Nurhadi sebagai tersangka suap dan gratifikasi sebesar Rp 46 miliar.

Tak terima dijerat KPK, Nurhadi mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada Desember 2019. Nurhadi tak sendiri, dia mengajukan gugatan praperadilan bersama menantunya, Rezky Herbiono dan Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto.

Namun pada 21 Januari 2020, hakim tunggal PN Jaksel Akhmad Jaini menolak gugatan yang dilayangkan Nurhadi cs.

Tak patah arang, Nurhadi kembali mengajukan gugatan praperadilan yang kedua. Masih melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, Nurhadi mengajukan gugatan praperadilan yang kedua pada 5 Februari 2020. Sidang perdana gugatan praperadilan ini rencananya akan digelar pada 24 Februari 2020 mendatang.

Di tengah pengajuan gugatan praperadilan, KPK terus berupaya memanggil dan memeriksa Nurhadi cs. Namun permintaan tim penyidik KPK tak diindahkan oleh Nurhadi cs.

KPK pun menerbitkan surat Daftar Pencarian Orang (DPO) dan surat perintah penangkapan untuk Nurhadi cs. Dalam proses penerbitan DPO, KPK telah mengirimkan surat pada Kapolri pada Selasa, 11 Februari 2020 untuk meminta bantuan pencarian dan penangkapan terhadap para tersangka tersebut.

Penerbitan surat DPO dilakukan setelah sebelumnya KPK telah memanggil para tersangka secara patut. Namun ketiganya tidak hadir memenuhi panggilan tersebut.

"Sesuai ketentuan pasal 112 ayat (2) KUHAP, tekait dengan hal tersebut, selain mencari, KPK juga menerbitkan surat perintah penangkapan," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.

Pasal 112 ayat 2 berbunyi setiap orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

3 dari 3 halaman

Sayembara iPhone 11

Menjadi buronan KPK, Nurhadi dihargai dengan iPhone 11. Adalah Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) yang menggelar sayembara tersebut. MAKI siap memberikan hadiah iPhone 11 untuk mereka yang mengetahui keberadaan Nurhadi.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tak merasa tersindir atas sayembara yang digelar MAKI.

"Enggak (tersindir) lah. KPK itu sangat terbatas SDM dan jaringannya, karena itu kami sangat terbuka atas segala keterbatasan tersebut kepada partisipasi masyarakat," ujar Nurul Ghufron saat dikonfirmasi, Senin (17/2/2020).

Nurul Ghufron justru berterimakasih kepada MAKI yang membuat sayembara tersebut. Menurut Nurul Ghufron, partisipasi masyarakat akan mempermudah penegak hukum menangkap buronan tersebut.

Penetapan status DPO terhadap Nurhadi dipertanyakan Maqdir Ismail. Menurut Maqdir, KPK berlebihan menetapkan Nurhadi sebagai buron. Menurut Maqdir, Nurhadi ada di Jakarta.

Pernyataan yang dilontarkan Maqdir pun langsung disambut Ali Fikri. Ali meminta Maqdir mendatangi markas antirasuah dan memberitahukan kepada tim lembaga antirasuah soal keberadaan Nurhadi.

Selain itu, Ali Fikri juga mengingatkan kepada para pihak yang menyembunyikan keberadaan buronan dapat dijerat dengan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Soal penjeratan Pasal 21 UU Tipikor, KPK pernah menjerat advokat Fredrich Yunadi dan Lucas.

Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

Status DPO terhadap Nurhadi juga dipertanyakan aktivis Hukum dan HAM Haris Azhar. Haris menduga penyematan status DPO terhadap tersangka korupsi hanya formalitas saja.

Haris berpandangan bahwa KPK era Firli Bahuri dengan gampangnya menerbitkan surat DPO tanpa menyeret sang buron ke markas antirasuah. Haris mengatakan, berdasarkan informasi yang dia terima, Nurhadi berada di sebuah apartemen dengan pengawasan yang ketat.

"Kalau informasi yang saya coba kumpulkan, maksudnya bukan informasi yang resmi dikeluarkan KPK ya, KPK sendiri tahu bahwa Nurhadi dan menantunya itu ada di mana. Di tempat tinggalnya di salah satu apartemen mewah di Jakarta," kata Haris.

Menurut Haris, di apartemen mewah tersebut Nurhadi tinggal dan bersembunyi. Jika informasi tersebut benar, Haris menyesali KPK tak berani untuk menangkap Nurhadi.

"KPK enggak berani datang untuk ngambil Nurhadi, karena cek lapangan ternyata dapat proteksi yang cukup serius, sangat mewah proteksinya. Artinya apartemen itu enggak gampang diakses oleh publik, lalu ada juga tambahannya dilindungi oleh, apa namanya pasukan yang sangat luar biasa itu," kata Haris.

Haris meyakini pihak lembaga antirasuah mengetahui keberadaan Nurhadi, hanya saja KPK tak berani eksekusi. Menurut Haris, KPK era Firli menerbitkan surat DPO hanya formalitas semata.

"DPO formalitas, karena KPK enggak berani tangkep Nurhadi dan menantunya. Jadi kan lucu. Inilah bukti bahwa KPK tambah hari tambah keropos ya, dengan UU baru dan pimpinan Baru," kata dia.

KPK menetapkan Nurhadi sebagai tersangka karena yang bersangkutan melalui Rezky Herbiono, diduga telah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai Rp 46 miliar.

Tercatat ada tiga perkara sumber suap dan gratifikasi Nurhadi, pertama perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, kedua sengketa saham di PT MIT, dan ketiga gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan.

Diketahui Rezky selaku menantu Nurhadi diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Direkut PT MIT Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu. Cek itu diterima saat mengurus perkara PT MIT vs PT KBN.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.