Sukses

HEADLINE: Kabut Asap Tampar Wajah Indonesia, Apa Solusi Konkretnya?

Akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahat, Presiden Jokowi sampai dibuat malu. Strategi pemadaman hingga pencegahan mulai digenjot pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Jokowi kembali dibuat geram. Masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) jadi penyebabnya. Indonesia lagi-lagi diprotes karena mengimpor kabut asap ke Singapura dan Malaysia. Bukan kali pertama terjadi.

Jokowi mengaku malu dengan dua negara tetangga itu. Ia mengatakan, masalah kabut asap kebakaran itu menjadi headline pemberitaan di Malaysia dan Singapura.

"Saya kadang-kadang malu. Minggu ini saya mau ke Malaysia dan Singapura. Tapi, saya tahu minggu kemarin sudah jadi headline, jadi HL, jerebu masuk lagi ke negara tetangga kita. Saya cek jerebu ini apa, ternyata asap (kabut)," kata Jokowi di saat memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 2019, di Istana Negara, Jakarta, Selasa 6 Agustus 2019.

Jelas saja orang nomor satu di Indonesia itu geram, sebab ratusan titik api atau hotspot sudah bermunculan di beberapa provinsi. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada (12/8/2019), hotspot terbanyak berada di Kalimantan Barat dengan 605 titik, disusul Kalimantan Tengah dengan 163 titik dan Riau 29 titik. 

Selain itu, di Kalimatan Utara terdapat 23 titik api, Kalimantan Timur 20 titik, Sumatera Selatan 19 titik, Bangka Belitung, 14 titik, Kalimantan selatan 14 titik, dan Jambi 3 titik api.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Riau, Riko Kurniawan menyebut, ada tiga penyebab terjadinya karhutla. Pertama, adalah lambatnya pemulihan dan perlindungan lahan gambut.

Kedua, tata kelola lahan gambut yang tidak berjalan baik dan yang ketiga tidak tegasnya penindakan hukum terhadap para pelaku karhutla.

"Tiga faktor ini ditambah dengan faktor cuaca kering dan panjang, klop lah mengulang kesalahan masa lalu," ucap Riko.

Untuk mencegah kebakaran meluas, Riko meminta pemerintah melakukan langkah konkret. Bukan hanya upaya pemadaman ratusan titik api saja, tetapi juga merawat lahan gambut.

"Karena 2 tahun lalu lebih banyak anggaran kita untuk pemadaman api, bukan pada pemulihan gambut," Riko menyarankan.

Riko juga meminta, pemerintah melakukan audit kepada korporasi dan perorangan pemilik lahan yang pernah terbakar pada 2015 silam. Dari situ, pemerintah bisa membina mereka untuk mengelola lahan gambut.

"Jika mereka tidak mau, ya disita saja (lahannya). Bagaimana mereka membuat rancangan atau pengelolaan lahan gambut dengan cara tidak merusak lahan gambut," terang Riko.

Infografis Infografis Karhutla dan Kabut Asap Kepung Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)

Di sisi lain, Direktur Walhi Kalimantan Barat, Anton P Widjaya menganggap, pemerintah kurang tegas dalam menindak korporasi yang terlibat karhutla. Ia mencontohkan, Gubernur Kalimantan Barat hanya memberikan sanksi pencabutan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kepada perusahaan yang membiarkan lahannya terbakar.

"Tapi yang sebenarnya itu yang dicabut jangan amdal, zaman sekarang itu KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), status syarat izin yang lebih komprehensif. Di Walhi ya kami rekomendasinya izinnya yang dicabut, minimal diciutkan," terang Anton kepada Liputan6.com di Jakarta.

Menurut Anton, koorporasi selalu berkelit ketika kebakaran terjadi di lahan mereka. Mereka mengaku tidak bisa mengawasi lahan yang luasnya bisa mencapat 10 ribu bahkan 100 ribu hektare.

Padahal, Pemerintah Daerah sudah memberi kewenangan kepada korporasi untuk melakukan pengawasan terhadap lahan milik mereka. Seharusnya, pemerintah mengambil tindakan tegas dengan mengurangi jumlah lahan milik korporasi.

"Contohnya satu perusahaan punya 10 ribu hektare, tetapi kemampuan mengelolanya hanya 6 ribu hektare. Itu kemudian diciutkan sebatas kemampuan mereka mengelola itu. Dengan begitu, maka bisa didorong agar perusahaan menjaga konsesinya dengan baik," ucap dia.

Selain itu, Anton juga menyarankan, pemerintah untuk mengambil pengelolaan lahan gambut milik korporasi. Tujuannya, pemerintah bisa dengan mudah melakukan pengawasan dan mencegah terjadinya kebakaran di lahan gambut.

"Misalkan perusahaan punya 10 ribu hektare, tapi di dalamnya ada 2 ribu hektare lahan gambut. Konteks penciutan itu adalah mengeluarkan gambut itu dari konsesinya," terang Anton.

Untuk antisipasi jangka panjangnya, Anton berharap, pemerintah bisa menghentikan seluruh izin investasi baru yang diajukan korporasi. Ia berpandangan, pelaku utama yang membakar hutan dan lahan adalah korporasi, bukan masyarakat sekitar.

"Karena 50-60 persen titik apinya ada di dalam area konsesi kok. Masyarakat memang membakar, tetapi kan regulasinya membolehkan di bawah 2 hektare," kata dia.

Anton juga menyarankan, sebaiknya lahan gambut tidak lagi masuk dalam konsesi perusahaan. Sebab lahan gambut rawan terbakar. "Karena kalau tidak sengaja dibakar pun ini kawasan yang rawan terbakar. Dikeluarkan menjadi wilayah yang dilindungi, kan selalu kebakaran di lahan gambut," tambah dia.

Bagi Walhi, karhutla merupakan kejahatan lingkungan yang serius. Sebab, masyarakat yang paling dirugikan karena mereka kehilangan sumber daya alam (SDA). "Berapa keanekaragaman hayati juga punah. Jadi tidak hanya menghitung yang kasat mata saja, kebakaran itu memberikan dampak yang bahkan ratusan hingga ribuan tahun terjadi kerugian," tutur Anton.

Walhi juga mengkritik langkah Presiden Jokowi yang akan mencopot Pangdam dan Kapolda jika tidak berhasil menangani karhutla.

Menurut Anton, pemecatan terhadap Pangdam dan Kapolda bukan langkah konkret untuk mengatasi karhutla.

"Apa konkretnya kalau dia (Presiden) mau pecat Pangdam? Memang semudah itu memindahkan Kapolda," kata Anton.

Seharusnya, Presiden Jokowi memaksimalkan peran dan tupoksi penegak hukum. Contohnya, polisi harus lebih galak dan tanpa ampun menindak korporasi yang terbukti melanggar. Bila perlu menyeret mereka hingga meja hijau dan diberi hukuman berat.

"Yang lemah ini kan penegakan hukum terhadap korporasi atau perusahaan yang memang melakukan pelanggaran. Masalahnya tidak pernah ditindak secara tegas. Maka yang terjadi adalah pengulangan," tutup Anton.

 

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Upaya Pemerintah

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mulai merespons masalah karhutla. Lembaga yang dipimpin Siti Nurbaya ini sudah memberikan peringatan keras bagi korporasi, yang area konsesinya terdeteksi citra satelit terdapat titik panas atau hotspot.

KLHK juga tidak akan segan menyeret ke pengadilan, seperti yang pernah dilakukan di tahun 2017-2018 lalu.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menerangkan, sudah ada 56 korporasi yang sudah diberi peringatan keras. Puluhan perusahaan itu terindikasi membiarkan kebakaran terjadi di lahan mereka.

"Ada 56 korporasi se-Indonesia yang kita berikan peringatan, karena terindikasi adanya titik panas. Seperti di Riau, Kalbar dan Kalteng. Ya sebagian besar peringatan yang kami keluarkan ada di Sumatera dan Kalimantan," ujar Ridho saat dikonfirmasi merdeka.com, Jumat 9 Agustus 2019.

KLHK saat ini terus memantau kejadian karhutla di Sumatera dan Kalimantan. Pemantauan dilakukan untuk kepentingan penyelidikan dugaan kesengajaan membakar lahan di musim kemarau.

Ridho memastikan, tim Gakkum KLHK tidak hanya gertak sambal untuk menindak pelaku pembakar lahan. "Sekarang ini ada lokasi yang sudah disegel oleh tim Gakkum KLHK, untuk dilakukan penegakan hukum. Satu pelaku sudah kita tetapkan tersangka. Pelaku karhutla harus ditindak tegas dan dihukum seberat-beratnya, agar ada efek jera," lanjut Ridho.

Sementara hingga 11 Agustus 2019, Polri sudah menangani 68 kasus terkait karhutla. Rinciannya Polda Riau menangani 29 kasus, Polda Jambi 4 kasus, Polda Kalimantan Barat 14 kasus, dan Kalimantan Tengah 22 kasus.

"Sampai dengan hari ini laporan yang saya terima dari seluruh 6 Polda, baru satu (perusahaan) yang sudah terbukti, yaitu PT S unsur kesengajaan melakukan pembakaran. Sementara ini, dugaan kuat karena kelalaiannya," ungkap Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin (12/8/2019).

Dedi memastikan bahwa pihaknya akan memberi sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terbukti terlibat dalam kasus karhutla, termasuk korporasi.

"Bila proses persidangan terbukti bersalah akan diberi pidana, mulai dari direksi sampai tingkat karyawan. Baru sanksi lain akan diberikan, seperti sanksi administrasi luas area yang izinnya ada di perusahaan tersebut," ucap Dedi.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo turut bereaksi dengan maraknya kasus karhutla. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak diam dalam menangani kasus tersebut.

"Pemerintah tidak berarti mendiamkan kasus ini karena ada pihak-pihak yang mengatakan kenapa dibiarkan, bahkan ada yang menggugat sebagainya," kata Prasetyo di kompleks Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Jumat 9 Agustus 2019.

Prasetyo mengajak, masyarakat untuk melihat secara jernih dan adil, bahwa pemerintah tidak mendiamkan kasus-kasus Karhutla yang terjadi selama ini.

"Sudah banyak kasus yang kita tangani, bahkan ada beberapa perusahaan dikenakan pidana denda ganti rugi dan sebagainya, itu sudah kita lakukan," kata Prasetyo.

Di pihak lain, Plt Kepala Pusdatinmas BNPB, Agus Wibowo mengatakan, BNPB bersama Polri dan TNI terus berupaya memadamkan api di beberapa lokasi titik api.

Menurut Agus, petugas di lapangan cukup kesulitan memadamkan api di lahan gambut. Kobaran api tak hanya terdapat di permukaan tanah saja, melainkan di bawah tanahnya.

"Jadi kalau gambut itu kan tebal, kalau di atas sudah padam, tapi di bawah apinya masih nyala," kata Agus saat dihubungi Liputan6.com, Senin (12/8/2019).

Saat ini, BNPB tengah fokus memadamkan titik api di provinsi Riau dan Kalimantan Barat. Sebab, dua provinsi ini tercatat paling banyak terdapat titik api.

"Jadi kami gunakan pasukan gabungan, tadi itu patroli supaya tidak terjadi kebakaran," tutup Agus.

 

 

3 dari 3 halaman

Ganggu Negara Tetangga

Seorang aktivis sosial di Malaysia, Datuk Seri Ang Lai Soon mengatakan bahwa pekerjaan untuk mengatasi persoalan kabut asap lintas batas di Asia Tenggara, bukan hanya urusan satu negara saja, melainkan tugas bagi para anggota ASEAN.

Hal itu disampaikannya ketika persoalan kabut asap dari wilayah Indonesia kembali menjadi momok bagi negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

"Negara-negara ASEAN harus bertemu untuk menyelesaikan kabut lintas batas dan polusi asap yang menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan orang-orang di kawasan ini," kata Soon dalam sebuah pernyataan tertulis di Kuching, seperti dikutip dari Malay Mail, Senin (12/8/2019).

Soon menambahkan bahwa negara-negara ASEAN perlu lebih serius menangani masalah kabut asap karhutla.

"Kami tentu ingin negara-negara ASEAN terlibat untuk bertemu dan berbicara, tetapi sikap tegas harus diambil. Masalah polusi yang berulang ini harus diselesaikan sekali dan untuk semua."

"Tindakan definitif, tindakan yang akan menghasilkan hasil yang memuaskan dan efektif adalah semua yang diminta warga negara yang terkena dampak ini. Tidak lebih dan tidak kurang," lanjutnya.

Sementara itu, seperti dilaporkan The Strait Times pada 6 Agustus 2019, Malaysia dikabarkan akan meminta negara-negara anggota ASEAN untuk mengambil langkah-langkah proaktif untuk menghindari kabut asap lintas batas selama pertemuan dua hari di Brunei mulai Selasa 6 Agustus.

Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Energi, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Lingkungan, dan Perubahan Iklim Malaysia mengatakan, Negeri Jiran ingin upaya bersama dilakukan sesuai dengan Perjanjian ASEAN tentang kabut asap lintas-batas yang diratifikasi oleh negara-negara anggota.

Wakil Menteri Isnaraissah Munirah Majilis, yang akan memimpin delegasi Malaysia ke Kelompok Kerja Teknis ke-21, dan pertemuan Komite Pengarah Sub-Regional Antar-Menteri untuk Polusi Kabut Asap di Brunei, akan menyerahkan laporan tentang langkah-langkah yang diambil untuk menghindari kebakaran dan kabut asap.

"Malaysia juga akan mengaktifkan Rencana Aksi Nasional baru untuk Pembakaran Terbuka dan menyempurnakan Rencana Aksi Nasional untuk Kabut Asap yang telah ada," kata kementerian itu pada hari Senin pekan lalu.

Pertemuan tahunan yang melibatkan Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura dan Thailand akan membahas langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi masalah polusi lintas batas.

Otoritas di Malaysia dan Singapura telah mengeluarkan imbauan mengenai datangnya kabut asap dari Indonesia sejak awal Agustus 2019. Pihak berwenang juga menyarankan agar warga di Negeri Jiran dan Negeri Singa membatasi diri untuk beraktivitas di luar ruang, serta selalu siap sedia masker penutup hidung dan mulut jika keluar rumah.

Direktur Jenderal Departemen Meteorologi Malaysia, Jailan Simon mengatakan, kabut asap juga akan berdampak pada cuaca di Penang, Selangor, Kuala Lumpur, Negeri Sembilan, dan Putrajaya di semenanjung, serta Kuching, Serian, dan Samarahan di Sarawak.

"Sejauh ini, 30 hingga 40 titik api telah terdeteksi di Sumatera dan kabut asap berada pada tingkat sedang, tetapi kami sedang memantau untuk melihat apakah titik api akan meningkat menjadi 100," kata Jailan seperti dikutip dari Channel News Asia, Sabtu 3 Agustus 2019.

"Bulan ini, kami memperkirakan cuaca kering dan kabut akan berlangsung selama lima hari. Kami menyarankan orang-orang untuk mengurangi kegiatan di luar ruangan dan menghindari pembakaran terbuka," katanya kepada kantor berita Bernama.

Jailan mengatakan bahwa departemennya kini bekerja sama dengan pemerintah Indonesia melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk mendapatkan informasi terbaru tentang kebakaran hutan dan berharap mereka dapat dikendalikan dengan cepat.

Data yang dikeluarkan oleh Departemen Lingkungan Hidup Malaysia menunjukkan bahwa Indeks Pencemar Udara (API) berada pada tingkat yang tidak sehat di negara bagian Pahang (104) dan Johan Setia di Klang, Selangor (107).

Singapura Juga Demikian

Sementara itu, dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis 1 Agustus 2019, Layanan Meteorologi Singapura (MSS) mengatakan bahwa dalam beberapa hari terakhir, titik api dengan gumpalan asap telah diamati di Sumatera dan Kalimantan selatan.

Tergantung pada arah angin yang berlaku dan lokasi kebakaran, Singapura kemungkinan akan mengalami kabut asap sesekali selama dua minggu pertama Agustus, kata MSS.

Kementerian Kesehatan Malaysia telah memperingatkan anggota masyarakat untuk mengurangi kegiatan fisik di luar ruangan.

"Tutup semua jendela rumah dan jaga kebersihan rumah serta kurangi polusi udara dalam ruangan dengan tidak merokok," Direktur jenderal kesehatan, Dr Noor Hisham Abdullah.

Dr Noor Hisham juga menyarankan orang untuk minum banyak air dan untuk mencari perawatan segera jika mereka merasa tidak sehat.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.