Sukses

Suka Duka Intel Densus 88, Risiko Nyawa hingga Istri Minta Cerai

Tugas Densus 88 cukup krusial, mengintai, mendeteksi serta mendata potensi-potensi terorisme dan orang-orang yang diduga terpapar radikalisme.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam institusi kepolisian, Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Antiteror bak pasukan elite. Tugasnya cukup krusial, yakni mengintai, mendeteksi, serta mendata potensi-potensi terorisme dan orang-orang yang diduga terpapar radikalisme.

Salah satu bagian terberat dalam satuan khusus itu adalah tugas intelijen. Porsi intelijen dalam pemberantasan terorisme di dalam negeri cukup besar. Tak tanggung-tanggung, dari rangkaian penangkapan teroris, 75 persen merupakan peran intelijen.

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan peran intelijen cukup krusial. "Untuk memastikan benar-benar teroris," kata Setyo saat dikonfirmasi, Jakarta, Rabu, 23 Mei 2018. 

Menurut dia, intelijen Densus 88 Antiteror memiliki tugas yang berat. Itu karena, tim intelijen bekerja selama 7x24 jam penuh untuk mendapatkan data sebanyak mungkin dan pemantauan terhadap aktivitas terduga teroris.

Selain risiko nyawa, tuntutan pekerjaan yang berat itu juga berefek terhadap keluarga. Setyo mengungkapkan tak sedikit istri intel Densus 88 gerah. Mereka kerap minta cerai karena kelamaan ditinggal suami yang sibuk mengintai sel-sel teroris.

"Makanya banyak anggota Densus 88 yang mungkin istrinya minta cerai," guyon Setyo.

Setelah informasi akurat dari intelijen, anggota baru melakukan penindakan. Porsi penindakan hanya memiliki persentase 5 persen.

Adapun, 20 persen lainnya merupakan fungsi penyidikan untuk membuka informasi jaringan lainnya sampai pelimpahan ke Kejaksaan apabila berkas perkara sudah dirasa cukup.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kantongi Lingkar Teroris Indonesia

Jenderal bintang dua itu mengklaim, Polri sudah mengantongi orang-orang yang diduga terlibat dalam lingkaran terorisme di Indonesia.

Kendati demikian, Polri belum bisa melakukan tindakan represif menangkap langsung karena terbentur dengan UU Antiterorisme yang berlaku bersifat responsif, yang mana Polri baru bisa menangkap jika sudah munculnya pergerakan.

"Makanya di RUU yang baru kita harap sifatnya proaktif, kalau sudah ada bukti kuat, kita bisa lakukan penangkapan," Setyo menandaskan.

Reporter: Nur Habibie

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.